Selain cinta dari ayahnya dan Mama Melisa, Nurdewi tak pernah mengenal cinta lain. Sejauh pengetahuannya, berdasarkan buku-buku fiksi yang pernah dia baca, ada debar perasaan yang pula adalah cinta. Namun anehnya, Nurdewi tidak pernah merasakan cinta seperti yang tertulis di buku-buku fiksi itu. Atau mungkin itu hanya karena dia tak pernah bertemu laki-laki seusianya selama hidup, bisa saja. Padahal dengan kecantikannya yang biadab itu, dia bisa saja mendapatkan sepuluh atau bahkan lebih laki-laki hanya dalam sekali kedipan mata. Kendati demikian, Nurdewi memang tak ramah pada lawan jenis. Pernah waktu itu, seorang laki-laki biasa yang bekerja di toko roti mencoba mendekatinya. Nurdewi hanya memberikan sorot tak suka pada laki-laki itu ketika merayunya dengan segenap kemampuan.
Nurdewi memang sering menongkrong di toko roti milik orang Belanda yang tak jauh dari persimpangan. Dia menghabiskan waktu dari siang hingga sore hari hanya untuk melihat kendaraan berlalu-lalang melalui jendela lebar toko itu. Selain menjual roti, para pekerja di toko itu juga terpaksa menjual kopi atau teh karena Nurdewi sering memintanya. Laki-laki bercodet di bawah matanya itu kerap mengambil kesempatan memberikan Nurdewi kedipan nakal. Dan Nurdewi hanya merespons dengan menarik sudut kanan bibir serta sebelah alisnya. Sungguh Nurdewi merinding dan merasa jijik dibuatnya.
Si laki-laki bercodet mengenakan celemek putih itu berpura-pura membersihkan meja-meja yang sebetulnya tidak kotor. Padahal tak ada pelanggan selain Nurdewi di tokonya sejak pagi. Lagi pula, meskipun toko itu kerap ramai, jarang ada pelanggan yang makan di tempat.
“Namanya siapa, Neng?” tanya lelaki bercodet itu, masih berpura-pura mengelap meja mengilap di sebelah tempat Nurdewi duduk. Bola mata Nurdewi bergerak ke sudut tampak tak suka. “Sudah lama sekali Neng jadi pelanggan tetap toko roti ini, tapi Abang tidak tahu nama Neng. Agar lebih enak bicaranya, bagaimana kalau Neng kasih tahu nama Neng?”
Garis bibir Nurdewi bergerak-gerak. Dia mendengkus kasar. “Nurdewi,” jawabnya uring-uringan.
“Namanya cantik amat, Neng. Nurdewi, kira-kira artinya apa, ya?” Lelaki bercodet melanjutkan godaan mautnya yang sama sekali tak mempan itu. Nurdewi beranjak bangkit sambil meletakkan selembar uang di meja.
“Saya tidak tahu,” kata Nurdewi datar. “Saya sudah kenyang. Mungkin ini terakhir kali saya jadi pelanggan.”
Tanpa pertimbangan lebih lanjut, Nurdewi berjalan cepat menuju pintu. Si lelaki bercodet hanya bisa menatap dengan sorot membelalak. Di saat itulah dia menyadari bahwa godaan mautnya justru membuat toko rotinya kehilangan satu pelanggan berharga.
Setelah mendapat tatapan jijik dari Nurdewi beberapa hari lalu, lelaki bercodet justru makin terpacu untuk menggoda Nurdewi. Gadis cantik dan manis berlesung pipit seperti Nurdewi tak banyak jumlahnya. Si lelaki bercodet tak pernah menemukan gadis anggun seperti Nurdewi di tempat-tempat pelacuran yang pernah dia kunjungi. Mungkin hanya ada satu di tempat pelacuran Keluar Puas. Itu pun tidak bisa dia sewa barang lima menit pun. Sebab wanita itu sudah lama tidak melayani pelanggan. Wanita itu tak lain adalah Mama Melisa. Dan si lelaki bercodet seolah menemukan kembali Mama Melisa dalam usia remaja. Itu sungguh sebuah anugerah, rezeki, atau apa pun sebutannya. Si lelaki bercodet tidak peduli namanya apa. Yang jelas, dia sudah mengatur sebuah rencana agar bisa mendapatkan Nurdewi dan menikmati tubuh sintalnya.
Memang gila. Gadis itu sangat subur di usia sangat remaja. Jika bisa disebutkan, mungkin tak hanya lelaki bercodet yang pernah punya niat buruk terhadap Nurdewi. Namun si pedagang bakso di pinggir jalan, laki-laki tua penjual ketoprak di sebelah persimpangan, pak tua topeng monyet, bocah penjual gulali, dan sederet tua bangka pencari barang rongsokan di emperan. Mereka semua itu pernah mengkhayalkan bercinta dengan Nurdewi sampai membuat diri mereka ngaceng di depan pelanggan. Sekian banyak laki-laki yang pernah ngaceng karena Nurdewi itu, hanya si lelaki bercodet yang punya tekad membara tak padam. Sudah enam bulan lamanya dia mengamati Nurdewi, tapi dia tak pernah punya keberanian menyapa gadis itu. Sekalinya punya keberanian, Nurdewi justru menghancurkan harapannya.