Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #7

Bagian 2 (4)

Nurdewi duduk di sofa merah memanjang bersama Mama Melisa. Beberapa lelaki berdatangan, lalu duduk di tempat yang tersisa. Sementara lainnya berkerumun berdiri. Tiap-tiap sorot itu menatap ke Nurdewi dan betapa cantiknya dia. Tak sedikit lelaki yang langsung berwajah merah padam. Yang ngaceng makin ngaceng. Sungguh kecantikan biadab Nurdewi menjadi sebuah pemujaan bagi para lelaki. Mama Melisa senang melihat itu. Dia jadi sama tak sabarnya dengan Nurdewi. Bahkan saking ajaibnya kehadiran Nurdewi di tempat itu, pelanggan yang akan dilayani Nirmala menunda waktu bercintanya. Nurdewi menyita perhatian semua orang, termasuk pelacur-pelacur lama yang sudah Mama Melisa pekerjakan. Ada yang menampakkan raut skeptis, ada pula yang bersyukur karena kehadiran Nurdewi, mereka jadi bisa mengistirahatkan lubang sanggamanya untuk diganyang pelanggan masing-masing.

Nurdewi melongok ke kiri dan kanan. Di tempat itu ada meja bar, berbotol-botol minuman, bufet tempat minuman ditata dengan rapi, rak untuk berpuluh-puluh gelas, serta kursi bundar tinggi sebagai tempat duduk. Di bagian lainnya, ada pintu menuju ruangan lain. Tentunya, Nurdewi menebak ruangan apa itu. Tepat sekali! Itu adalah pintu menuju bilik kamar bagi pelanggan yang sudah memesan satu atau lebih perempuan dan ingin segera bercinta. Itulah mengapa bangunan Keluar Puas sangat luas. Di dalamnya terdapat puluhan ruangan bak hotel berbintang. Sebab Mama Melisa tidak ingin para anak perempuannya dibawa keluar. Selama ini, tak ada yang berani melakukannya. Jika pelanggan berkeras, maka akibatnya adalah dibedil sampai mampus oleh para pengawal Mama Melisa.

Meskipun terbilang kejam membeli gadis desa dan mempekerjakan mereka sebagai pelacur, tapi Mama Melisa menyayangi gadis-gadis itu lebih dari menyayangi putri sendiri. Mama Melisa tak pernah sembarangan dalam merawat mereka, semata-mata bukan karena mereka akan menjadi pelacur cantik yang bakal membuat ngaceng laki-laki di tempat pelacuran, tetapi Mama Melisa memang suka sekali merias para anak gadisnya sehingga terlihat cantik nan anggun.

“Namanya Nurdewi. Dia putriku yang paling muda. Beberapa tahun lagi dia akan menjadi gadis paling laris di tempat pelacuran ini,” kata Mama Melisa berpidato.

Seolah-olah kecewa, para lelaki mendengkus kasar. Tak jarang pula ada yang pergi setelah mendengar pidato singkat Mama Melisa itu. Kendati demikian, ada juga yang bertanya biadab. “Kenapa tidak sekarang? Kalau dia jadi pelacur sekarang, dia akan jadi gadis paling laris. Kami semua rela mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya untuk keperawanan Nurdewi.”

Manakala argumen itu dilontarkan lelaki sipit berkulit putih yang juga adalah pelanggan Nirmala, Mama Melisa memberikan komando ke para penjaganya dengan entakan kepala. Lelaki keparat itu pun dibawa orang-orang Mama Melisa bertubuh kekar keluar untuk dibikin babak belur. Si lelaki sungguh sial, tapi sebaliknya, Nirmala punya keuntungan besar karena tak jadi melayaninya. Begitulah Mama Melisa menyayangi para anak perempuannya. Siapa pun yang berani menyinggung atau menyakiti, maka mampus tak bisa ditoleransi.

Di tengah-tengah kerumunan itulah si lelaki bercodet bersembunyi. Sengaja menyamarkan diri agar tak terlihat Nurdewi. Tekadnya bulat sempurna. Dan saat Nurdewi pulang seorang diri, lelaki bercodet mengikuti. Padahal Mama Melisa sudah menawarkan agar Nurdewi diantar pulang oleh para pengawal, tapi Nurdewi menolak. Katanya, dia ingin menikmati malam dengan berjalan-jalan. Mama Melisa cemas, tapi yakin Nurdewi bisa menjaga diri dengan baik. Begitulah hasil kekeraskepalaan Nurdewi. Hingga ketika dia melewati jalan sepi yang jauh dari jalan raya dan persimpangan empat yang sebetulnya masih cukup ramai lagi terang, Nurdewi merasakan kehadiran seseorang. Atau lebih tepat mengikutinya. Tentu saja, itu adalah lelaki bercodet yang sudah dikuasai berahi.

Sejak kecil, Nurdewi sangat peka dan sigap terhadap segala niat buruk. Bahkan bila bahaya sedang mengancam nyawanya, dia bisa mengetahuinya jika dalam keadaan sadar. Lain halnya jika dia tak sadar atau lelah sekali. Nurdewi berhenti di sebuah gang yang diapit dua bangunan bobrok menjulang tinggi. Nurdewi menoleh ke belakang, tapi tak menemukan siapa pun. Sebab si lelaki bercodet bersembunyi di balik tong sampah besar yang penuh barang rongsok dan bekas kemasan makanan dan minuman.

Nurdewi melanjutkan langkahnya, tetapi kewaspadaan meningkat secara otomatis. Dia sengaja memelankan langkah, bahkan berusaha agar sandalnya tidak berderap barang sedikit pun. Gang itu cukup panjang, sehingga menjadi kesempatan bagi lelaki bercodet menyiapkan rencana penyekapan. Manakala Nurdewi membelok di persimpangan gang, lelaki bercodet menikamnya tak tanggung-tanggung. Untungnya, Nurdewi masih sigap seperti biasa. Dia bergerak membungkuk secara naluri dengan sorot menghadap ke belakang. Di saat itulah dia mengetahui bahwa lelaki bercodet yang mengikutinya. Tak salah lagi, sebab sejak awal Nurdewi sudah merasakan niat buruk lelaki itu.

Lihat selengkapnya