Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #8

Bagian 3 (1)

Lelaki bermata sipit itu mampus di tangan pembunuh bayaran. Nurdewi meninggalkannya di gubuk reyot dan hidup dalam kemewahan berlimpah. Dengan kebahagiaan yang terus-menerus mengalir tiada henti sejak tiga tahun lalu, Nurdewi menerima nasibnya sebagai gadis yang tidak punya apa pun. Bahkan kenangan kelam tempat terselipnya sebuah tujuan telah dia lupakan sepenuhnya. Tangan dipenuhi darah, wajah lebam-lebam nyaris tak tentu bentuknya, serta kepala yang bolong di bagian dahi tampak jelas di penglihatan Nurdewi. Dia bermimpi bagaimana ayahnya mampus di tangan pembunuh bayaran. Dan Nurdewi mengingat segala-galanya, termasuk tujuannya datang ke kota tiga tahun lalu.

Kemarahan menyeruak-ruak sebagaimana lidah api di tungku. Kebahagiaan sirna dalam sekali sapuan pandangan membelalak. Nurdewi bangun dari tidur lelapnya yang mendebarkan. Sebagaimana dirinya yang dulu saat berusia 12 tahun, Nurdewi dilahap dendam yang tertumpah ruah. Menjadi pelacur bukan lagi tujuannya hanya demi menjadi gadis penurut bijaksana. Kemarahan yang dia rasakan itu bercampur air mata yang terkatung-katung di pelupuk. Pandangan Nurdewi lurus menatap dinding yang terbuat dari kayu dan bambu. Entah bagaimana dia berada di tempat itu. Ketika kesadarannya kembali, dia berpikir tak semestinya ada di tempat itu. Selimut hitam tebal yang menutupi tubuhnya segera dia singkirkan. Nurdewi beranjak, tapi lelaki yang masuk ke ruangan itu membuatnya berhenti seketika.

Kening Nurdewi mengerut seolah menagih jawaban. Tubuhnya yang refleks bergerak itu merasa nyeri dan sakit, khususnya di bagian kepala karena semalam lelaki bercodet yang telah mampus membenturkannya di tembok.

“Nurdewi,” gumam lelaki berkumis dengan sorot setajam elang itu. “Orang-orang memanggilmu begitu. Benarkah?” imbuhnya. Kepalanya menunduk, menatap Nurdewi seolah-olah berkata bahwa dia belum mampu ke mana pun selain berbaring.

“Saya ada di mana?” Nurdewi mendengar dirinya bertanya, bahkan tak sadar mengabaikan pertanyaan lelaki berkumis. Rasa penasarannya jauh lebih besar daripada keharusannya menjawab pertanyaan itu. Mata Nurdewi mengedar ke penjuru ruangan. Ruangan itu tampak seperti rumah-rumah orang Jepang yang hanya terbuat dari kayu dan bambu. Sementara di dinding, tepat di atas nakas, terdapat sebilah pedang—katana—yang terpajang. Di bawahnya lagi ada sabit dan beberapa pelat besi berbentuk bintang, masing-masing ujungnya runcing dan bermata. Semua itu adalah senjata tajam. Yang lebih membuat penasaran Nurdewi adalah siapa lelaki berpakaian kimono hitam itu?

“Kamu ada di rumah saya.”

Jawaban itu sekaligus membuat Nurdewi berwaspada. Tangannya bertumpu di lantai kayu ruangan itu dengan sorot menajam. “Apa yang kamu lakukan pada saya?”

Lelaki itu mengembuskan napas panjang. Sorot intimidasinya tanggal sekilas itu, dan wajahnya datar. Namun senyumannya merekah beberapa detik kemudian. “Nurdewi, kamu belum menjawab pertanyaan saya.”

“Iya, saya Nurdewi. Tapi, semalam lelaki bajingan itu ….” Nurdewi merasa pening setelah mencoba mengingat kejadian semalam. Dia dibuat pingsan dan compang-comping, tapi tak tahu apa yang dilakukan lelaki itu selanjutnya.

“Tenang, Nurdewi. Lelaki itu sudah mati.” Suara itu sangat menenangkan. Entah karena nada rendahnya atau bisa jadi karena informasi yang disampaikannya. “Dia belum berbuat apa pun padamu. Dia mati sebelum sempat melakukannya.”

Kendati demikian, muncul pertanyaan baru di benak Nurdewi. “Siapa yang membunuhnya?”

Wajah lelaki itu makin tenang. Dia duduk di depan Nurdewi, bersila. “Saya yang membunuhnya.”

Nurdewi membelalak. Dia tak tahu pasti lelaki di depannya membunuh si lelaki bercodet atas tujuan apa. Hanya ada dua jawaban, yaitu apakah dia membantu Nurdewi, atau mungkin justru merebutnya dari lelaki bercodet, sedangkan dia juga punya niat busuk sebagaimana lelaki bercodet. Kewaspadaan Nurdewi makin meningkat. Namun anehnya, dia tidak mencium kebusukan apa pun dari sorot lelaki di depannya itu.

“Saya tidak berniat menecelakaimu, Nurdewi. Saya hanya kebetulan lewat, dan menolongmu.” Lelaki itu mencoba menenangkan. Sekelebat cahaya di matanya demikian berkata begitu.

“Saya tidak percaya orang yang tidak mengenal saya berusaha tidak menyakiti saya. Laki-laki dipenuhi niat busuk.” Nurdewi berkeras. “Saya akan pergi dari sini.”

Lihat selengkapnya