Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #9

Bagian 3 (2)

Kendati telah mendengar cerita dari pamannya, pertanyaan besar Nurdewi masih belum terjawab. Siapa nama ibunya? Sebab hanya pertanyaan itu yang terlintas di pikiran Nurdewi sepanjang cerita dituturkan.

“Aku tidak tahu, Nur. Ayahmu tidak pernah memberitahuku. Dia selalu beroperasi seorang diri. Dia hanya datang pada saat kamu berusia lima tahun. Saat itu, aku masih sangat kecewa padanya.” Lengkara menunduk. Ada sorot menyesal di bola matanya, dan Nurdewi selalu memperhatikan itu sejak awal. “Bagaimanapun, kamu menjadi telantar seperti ini adalah karena salahku. Aku pernah diberi amanah oleh ayahmu untuk menjaga dan melatihmu menjadi gadis kuat, tapi aku menolak karena aku tidak bisa menerimamu sebagai keponakanku, Nur.”

Ya, Nurdewi sadar diri bahwa dia adalah haram jadah yang tidak pernah diinginkan. Dulu, dia tidak mengetahui arti frase itu. Baginya itu hanya umpatan yang keluar dari mulut orang karena terlalu emosional. Untungnya, dia tak terlalu memikirkan itu. Entah dia haram jadah atau bukan, hidupnya mungkin akan tetap seperti itu, berjalan sebagaimana adanya. Sebab Nurdewi gadis kuat yang bahkan selalu menjadi motivasi gadis-gadis seusianya dalam meniru sikapnya terhadap dunia yang kejam ini.

“Apa sekarang kamu marah padaku, Nur?” Tangan Lengkara bergerak meraih tangan Nurdewi. Dia mengelus punggung tangan itu dengan ibu jarinya yang besar dan kasar.

Nurdewi tersenyum masygul. Sebetulnya sangat sulit membentuk senyuman, tapi dia tak bisa mengabaikan ketulusan hati pamannya yang telah mengakui dosanya itu. Lagi pula, Nurdewi sadar bahwa sekarang bukan waktunya untuk membenci satu sama lain. “Aku tidak marah ataupun membencimu. Sangat tidak masuk akal jika aku membenci orang yang baru aku kenal. Justru aku berterima kasih karena kamu, sebagai pamanku, sekarang mau membuka cerita yang sama sekali tidak pernah ayahku ceritakan.”

Entah bagaimana perasaan Lengkara dibuat tak masuk akal sedihnya. Nurdewi tak seperti yang dia pikirkan dulu. Kendati dia haram jadah yang tidak diinginkan, dia bisa bertahan di kehidupan ini. Nurdewi terlihat segar bugar, berpikiran matang, tak kurang satu apa pun. Dia bukan bocah gadis terkutuk yang lahir dari rahim pendosa. Dia lahir bukan karena salahnya. Memikirkan hal itu, mata Lengkara berembun. Dia buru-buru menyeka air matanya agar tak terlalu memalukan jika bersimbah di depan Nurdewi.

“Jadi, kenapa Ayah memintaku datang padamu, Paman?” Suara Nurdewi sangat hangat. Apalagi saat dia menyebut Lengkara sebagai “paman”. Senyumannya melengkung turun, seolah-olah menenangkan pamannya yang tengah bersedih atas masa lalu yang terlalu biadab.

Lengkara membenarkan posisi, menarik napas dalam-dalam, lalu buka suara. “Nur. Hanya satu tujuan mengapa ayahmu meminta kamu datang ke dojo ini.” Tiba-tiba saja sorot Lengkara berubah tajam. Sekelebat cahaya kesedihan berganti menjadi kemarahan berapi-api. Nurdewi menunggu pamannya melanjutkan. “Ayahmu ingin kamu membalaskan dendamnya. Dia ingin kamu menggantikannya sebagai Malaikat Pencabut Nyawa.”

Tentu saja, sudah jelas tujuan seperti itulah yang membuat Satria mendorong Nurdewi untuk pergi ke kota dan menemui Lengkara. Sebab, tak ada hal lain yang bisa Lengkara ajarkan selain menjadi pembunuh di dojo itu. Tanpa penolakan sedikit pun, Nurdewi mengembuskan napas lega. Entah bagaimana, tetapi dia menerima takdirnya untuk menjadi pembunuh, atau bahkan pelacur secara bersamaan.

Lihat selengkapnya