Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #10

Bagian 4 (1)

Agar orang-orang di rumah, khususnya Mama Melisa, tidak terlalu khawatir, Nurdewi pulang. Tepat ketika si pak tua topeng monyet nyaris menyerah mencari keberadaan gadis itu, Nurdewi berjalan di depannya tanpa tahu semua orang sedang sibuk berlomba-lomba mendapatkan uang dalam jumlah besar untuk menemukannya. Penampilan Nurdewi masih sama seperti seminggu yang lalu, tak ada yang berubah sedikit pun. Tentu saja, si pak tua topeng monyet langsung menyadari keberadaan gadis itu. Jangan ditanya, monyet-monyetnya selalu sigap jika mencium aroma tubuh Nurdewi. Manakala pak tua keriput bau tanah itu melihat bokong mencuat Nurdewi yang telah dia rindukan sejak lama, dia berlari membawa monyet-monyetnya kabur.

“Nurdewi! Neng!” jerit si pak tua. Tindak tanduknya tercium oleh bocah-bocah nakal yang juga nyaris menyerah. Tentu saja, jangan lupakan si penjual majalah porno di emperan, pula penjual bakso, yang seketika itu memelesat tak mau keduluan si pak tua topeng monyet.

Kesigapan Nurdewi yang sangat baik, langsung membuatnya sadar orang-orang miskin aneh itu sedang berusaha menyerbu dirinya. Refleks, Nurdewi mengangkat kaki kanan bersamaan dengan kedua tangan teracung di depan dada. Tak sadar, dia membentuk kuda-kuda seolah-olah sedang melawan para bandit perkotaan. Namun, dia mendengkus ketika menyadari yang menghampirinya hanya orang-orang susah yang selalu bertemu dengannya saat menuju kedai kopi Pak Burhan. Nurdewi menurunkan tangannya dan bersikap sebagaimana biasa.

Sementara orang-orang itu mengepungnya, Nurdewi mengernyit. Dia tersenyum enggan dengan kedua alis mengangkat. “Apa yang kalian inginkan?” tanya Nurdewi dengan suara rendah. Kedua tangannya bersedekap.

Baik si pak tua topeng monyet, penjual bakso, penjual majalah porno, dan bocah-bocah nakal saling menatap satu sama lain. Si pak tua topeng monyet mengaku dirinya lebih dulu melihat Nurdewi, tapi si bocah-bocah nakal mengaku mereka lebih dulu tiba di depan Nurdewi. Sedangkan si penjual bakso dan majalah berseteru, masing-masing mengaku mereka yang lebih dulu dilihat Nurdewi.

“Oh, tidak bisa begitu. Yang duluan melihat Nurdewi itu saya,” kata si pak tua topeng monyet. Monyet-monyetnya tak mau kalah, lantas mengajak tuannya berdebat. “Tidak bisa, Nyet! Tuan kalian yang akan mendapatkan hadiah utama uang dari Yang Terhormat Mama Melisa,” sanggah si pak tua.

“Jangan bicara sembarangan! Kami yang lebih dulu tiba di depan Nurdewi!” Si bocah nakal berjambul berkeras. Para bocah nakal itu menyeringai, seolah-olah mengintimidasi si pak tua topeng monyet.

“Kalian para bocah jangan ikut-ikutan. Ini masalah orang dewasa. Kalian masih bau kencur. Pergi kalian sana!” usir si penjual bakso.

“Kalian ngomong apa? Yang pertama dilihat Nurdewi itu saya. Ya, jelas saya yang berhak mendapatkan hadiah dari Yang Terhormat Mama Melisa.” Si penjual majalah membusungkan dada. Dan perseteruan itu berlangsung, tak ada yang mau mengalah, bahkan monyet-monyet demikian. Nurdewi tersenyum masygul, lalu pergi tanpa sepengetahuan mereka.

Lihat selengkapnya