“Nurdewi, apa kamu yakin akan menjadi pelacur di tempat biadab itu?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut Lengkara yang duduk berhadapan dengan Nurdewi setelah gadis itu dinyatakan sudah menguasai semua yang diajarkan. “Apa tidak terlalu gegabah memilih jalan yang kamu tidak inginkan? Selain Penguasa Kota, tempat pelacuran itu juga banyak menguras uang rakyat biasa dan membuat orang-orang terserang penyakit sampai mati.”
Nurdewi tersenyum masygul. Sebetulnya, bukan masalah pekerjaan itu menjijikkan atau apa pun, tetapi dia sungguh menghormati Mama Melisa yang sangat berjasa di dalam hidupnya. Terlebih lagi, Nurdewi tidak tahu harus mengerjakan apa selain menjadi pelacur. Dia harus membalas budi pada Mama Melisa. “Paman,” gumam Nurdewi dengan sorot intens. “Paman tidak perlu khawatir. Nur tahu apa yang harus dilakukan. Lagi pula, dengan menjadi pelacur, jauh lebih mudah bagi Nur menemukan anggota Penguasa Kota. Sambil bekerja sebagai pelacur, Nur akan membunuh mereka semua untuk membalaskan dendam Ayah, dan juga meneruskan perjuangan Paman.”
Begitu berat bagi Lengkara membayangkan Nurdewi harus bertahan hidup di tengah kota menyedihkan ini. Dia seharusnya terlahir sebagai gadis normal, yang tidak menanggung dosa, juga beban hidup orang tuanya. Namun, nasib berkata lain sehingga Nurdewi mau tidak mau mesti berkubang dalam lumpur, rela berkotor-kotor hanya demi sebuah kehidupan dan beban dendam.
Lengkara beranjak berdiri, lalu berjalan dengan kedua tangan di belakang punggung. Dia mondar-mandir di depan Nurdewi. “Paman tidak akan memaksamu membalas dendam, Nur. Jika kamu ingin menyerah, sekarang saat yang tepat. Kamu bisa menyerah dan tinggal di dojo ini bersama Paman. Setelah itu, kamu tidak harus menjadi pelacur. Kamu bisa hidup sebagai gadis normal pada umumnya.”
Nurdewi menggeleng pelan. Bagaimanapun, tekad di dalam dadanya sudah bulat, tak dapat diganggu gugat apa pun yang orang lain katakan, termasuk pamannya. Nurdewi ingat betapa dulu para pembunuh bayaran itu dengan kejam membunuh beberapa kerabat, juga ayahnya. Ayahnya pun sampai tak bisa menepati janji untuk bertemu dengannya lagi. Dia sudah mampus bersama ketidakberdayaannya di gubuk reyot itu.
“Tidak, Paman. Nur tidak akan menyerah. Apa pun yang terjadi, Nur harus menghabisi Penguasa Kota. Nur akan membela orang-orang lemah. Nur akan menjadi Bidadari dan Iblis secara bersamaan. Biarkan Nur meminjam kekuatan Paman dan juga Ayah,” jelas Nurdewi dengan nada emosional saat jejak-jejak memori masa lalunya kembali mengawang-awang di udara.
Melihat keteguhan hati Nurdewi, Lengkara berjalan ke depan nakas. Dia mengambil katana dan sabit berantai yang terpajang di dinding. Setelah itu, dia membawanya dengan telapak tangan menghadap ke atas, lalu duduk di depan Nurdewi.
“Nur, kamu sudah lulus. Kamu mampu menguasai semua ilmu yang Paman ajarkan dalam waktu dua setengah tahun. Kamu akan menjadi Malaikat Pencabut Nyawa selanjutnya di kota ini. Paman akan pensiun. Kedua senjata ini jadi milikmu mulai hari ini. Datanglah sewaktu-waktu jika kamu membutuhkannya. Paman juga punya jubah ninja untukmu. Paman tahu hari ini akan tiba, dan Paman sudah menyiapkannya jauh-jauh hari.”
Nurdewi mengambil katana, mengeluarkannya dari sarung hitam. Sungguh pedang yang mengilap. Nurdewi bahkan sampai bisa becermin di bilah pedang itu, melihat dirinya yang sudah jauh berubah. Bola matanya kecokelatan, nyaris terlihat berwarna merah tua. Setiap jengkal di wajah itu sudah mengalami perubahan yang signifikan. Nurdewi tumbuh menjadi gadis cantik sepenuhnya, yang kini tak tanggung-tanggung membuat para lelaki jadi orang dungu saat menatapnya. Nurdewi memasukkan pedang itu kembali ke dalam sarung, lalu mengambil sabit berantai. Dia benar-benar merasa sudah sepenuhnya siap menggantikan ayahnya sebagai Malaikat Pencabut Nyawa. Selain itu, tentu saja masih ada beberapa senjata khas ninja seperti shuriken, senjata kecil berbentuk bintang dan mengandung racun di masing-masing matanya.
“Paman serahkan urusan Penguasa Kota padamu, Nur. Ingat pesan Paman. Jangan terlalu berambisi untuk membunuh mereka sehingga kamu kehilangan akal sehat karena dendam. Ninja adalah individu yang tenang. Gunakan ketenangan, kesunyian, dan juga akal sehatmu untuk berpikir cara membunuh yang tepat.