Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #12

Bagian 5 (1)

Suara pistol melengking memuntahkan timah panas dan menancap ke dada serta kepala lelaki tua ringkih sakit-sakitan di emperan toko malam itu. Si Jali—lelaki kurus berjanggut—menyentak kepalanya memberitahu sang rekan bahwa si lelaki tua ringkih sudah mampus. Si Kribo—rekan si Jali—berjalan sembari menyembunyikan pistol di balik jas hitamnya. Sorot si Jali lamat pada darah yang mengucur dari kepala si lelaki ringkih secara terus-menerus, menggenang. “Mampus juga kamu, Tua Bangka. Mulai besok tidak ada lagi yang menghalangi kami mengambil alih tempat ini,” gumam si Jali.

“Tugas kita sudah selesai di sini. Tidak ada lagi orang miskin yang bakal mangkal di emperan ini. Besok para pengedar sudah bisa mulai beroperasi. Para bocah dan penjual majalah porno terkutuk itu juga sudah diurus sama yang lain,” kata si Jali lagi setelah si Kribo berdiri di depannya.

“Kita beresin dulu dia. Kita buang di jurang. Setelah itu, aku mau ke Keluar Puas. Soalnya, ini malam istimewa, Jal. Aku tidak mau melewatkan malam ini barang sedetik pun. Pokoknya tugasku sudah selesai. Aku tidak mau menemanimu lebih dari ini,” kata si Kribo menegaskan. Sudut kanan bibirnya bergerak naik. Tanpa menunggu jawaban si Jali, dia menggapai kedua tangan mayat lelaki tua itu. “Tunggu apa lagi? Cepat, bantu aku. Kalau tidak cepat, aku bisa ketinggalan waktu untuk mendaftar.”

Si Jali mengerutkan dahi. Roman mukanya tampak malas membantu si Kribo. Lagi pula, si Jali berpikir sudah melakukan tugasnya, jadi buat apa lagi dia membantu pekerjaan si Kribo?

“Eh, Kribo. Bukannya aku yang menghabisi kakek-kakek ini? Seharusnya kamu yang membereskan sisanya. Aku tinggal menikmati waktuku di tempat pelacuran. Enak saja,” bantah si Jali sambil beranjak. Si Kribo tak mau mengalah, dengan cepat dia menarik si Jali dan menghalanginya pergi.

“Tidak bisa, Jal! Jangan cemen kamu. Kamu mau ambil kesempatan dalam kesempitan?” Si Kribo menarik lengan rekannya. “Ayo, cepat bantuin aku, dan kita pergi ke Keluar Puas sama-sama.”

Setelah terjadi perdebatan kecil yang cukup sengit antara si Jali dan si Kribo, akhirnya mereka bersepakat membuang mayat si lelaki tua bersama-sama ke jurang yang tak jauh dari emperan. Buru-buru mereka menyeret mayat itu masuk ke mobil hitam. Namun, si Kribo, karena tak sabar ingin cepat-cepat pergi ke tempat pelacuran, lantas menyarankan, “Biar cepat, bagaimana kalau kita buang saja mayat ini di gang sempit di sana?”

Si Kribo menunjuk gang sempit lagi gelap yang diapit dua bangunan tinggi milik orang Belanda. Si Jali semringah, menurutnya ide si Kribo juga bagus untuk menghemat waktu. Lagi pula, tak akan ada yang peduli dengan mayat orang miskin seperti pak tua itu. Bahkan lelaki tua itu lebih banyak bikin susah masyarakat umum karena harus merogoh kocek beberapa receh saat dia minta-minta di jalanan. Si Jali menyetujui saran rekannya itu, lalu membuang mayat si lelaki tua di gang tersebut. Pada saat masuk ke gang, tanpa diduga mereka berdua mencium bau menyengat. Mereka melihat bangkai lain, bangkai manusia. Tentu, itu bukan mayat si lelaki tua.

“Bangsat! Ternyata ada yang pernah buang mayat juga di sini,” umpat si Kribo samar-samar sambil menekan hidungnya dengan jari telunjuk dan ibu jari. Dia melihat bangkai itu sudah sangat busuk karena digerogoti lalat, berbagai macam serangga, juga tikus got yang datang dan pergi. Kemungkinan besar itu bangkai orang yang dua minggu lalu mampus diganyang hantu si lelaki bercodet. Dan mayat itu tak digubris sedikit pun sejak malam dia mampus. Setidaknya rumor itulah yang orang-orang percaya. Konon orang bilang si lelaki bercodet gentayangan untuk membalas dendam. Lagi pula, tak ada yang peduli di kota itu. Mau hidung mereka langsung cedera atau tidak, mereka tetap membiarkan bangkai itu berada di gang sempit. Padahal di luar gang itu setiap harinya banyak pedagang makanan. Anehnya, tempat itu masih tetap ramai meskipun ada bau bangkai menyengat.

Lihat selengkapnya