Setelah pembunuhan pertama itu sukses dilakukan, Nurdewi secara berulang-ulang melakukan pembunuhan yang sama. Sampai saat ini, dia sudah membunuh lebih dari lima puluh anggota biasa Penguasa Kota. Tentu pula setelah menyaksikan betapa tidak bijaknya membiarkan mayat orang-orang yang sudah dia bunuh ditinggalkan di gang, Nurdewi membuang mereka ke jurang, tempat yang sama digunakan oleh para anggota Penguasa Kota membuang mayat orang-orang kecil atau pengkhianat keparat yang mereka bunuh. Jurang itu makin hari dipenuhi lalat dan serangga-serangga pembawa penyakit. Akibatnya, tak sedikit orang yang mengalami penyakit di saluran pencernaan akibat mengonsumsi air dari sungai yang masih satu jalur dengan jurang itu. Untungnya, Nurdewi segera memahami perbuatannya yang justru membuat para rakyat jelata makin susah. Nurdewi mencari tempat lain untuk membuang mayat para korbannya.
Di sebuah bangunan tua, cukup jauh dari jurang dan sungai, Nurdewi menemukan sumur. Segera timbul gagasan baru untuk membuang bangkai-bangkai itu ke dalam sumur. Nurdewi membawa para korban barunya menggunakan mobil hitam lusuh yang dia pinjam dari pamannya. Setidak-tidaknya, mobil itu berisi enam mayat sekaligus. Nurdewi juga memindahkan beberapa bangkai dari jurang yang terlihat tidak terlalu busuk. Agar orang tidak mengenalinya, Nurdewi mengenakan jubah ninja yang diberikan Lengkara. Tampaknya, jubah itu terlihat sangat elastis karena terbuat dari kain spandeks atau berbahan sintetis. Adapun penutup kepalanya juga terbuat dari bahan yang sama. Ada beberapa aksesori di lengan dan bagian kaki jubah, tempat menyelip pisau kecil dan shuriken.
Dengan tidak sedikit pun kehati-hatian, Nurdewi menyeret mayat-mayat itu keluar dari mobil, lalu membuangnya ke dalam sumur, seolah-olah membuang bangkai ayam yang mampus karena wabah. Mata Nurdewi yang menyorot tajam itu menandakan tidak adanya keraguan sama sekali. Nurdewi dalam dua bulan ini sudah terbiasa dengan hidup sebagai pelacur dan pembunuh secara bersamaan. Jika bicara mengenai ketakutan dan keresahan, mungkin ada ketika waktu pertama kali Nurdewi membunuh dengan korban si Kribo dan si Jali. Dia hanya tidak bisa membayangkan bagaimana jika Nirmala mengetahui kenyataan yang sesungguhnya. Jika gadis itu mengetahui Nurdewi adalah pembunuh biadab yang selalu menjadi ketakutan terbesar para pelanggan dan pelacur di Keluar Puas, entah akan benci pada Nurdewi atau justru berpihak. Kecemasan Nurdewi hanya sebatas hubungan baiknya dengan Nirmala.
Mayat-mayat itu sudah habis dibuang ke dalam sumur, maka tugas Nurdewi sudah selesai. Dia harus kembali ke tempat pelacuran agar orang-orang di sana tidak mencium aroma mencurigakan darinya. Kendati demikian, Nurdewi justru tidak membuat pergerakan barang sedikit pun. Sepasang tangan menempel di lehernya dengan lekat. Nurdewi tak tahu siapa orang itu. Dia pun tidak bisa serta merta menoleh karena sekilas kemudian, tangan itu dengan cepat mengeluarkan sebilah pisau dari saku celana bahannya, lalu mengancam nyawa Nurdewi tak tanggung-tanggung.
“Malaikat Pencabut Nyawa bajingan! Tahi kucing!” gumam orang itu dengan suara tertahan. Dari yang terdengar, Nurdewi bisa mengetahui orang itu berjenis kelamin laki-laki. Tak heran, mungkin satu atau dua orang mengikutinya sejak berada di jurang. Itulah mengapa jika bermain-main di luar, Nurdewi harus selalu mengenakan jubah ninja. “Sekarang kamu tidak bisa ke mana-mana. Aku bakal mampusin kamu di sini!”
Nurdewi dengan kesigapan yang bagus, meraih shuriken yang terselip di paha kanan, lalu melemparnya ke mata lelaki itu. Benda runcing mengilap itu menancap di bola mata si lelaki tanpa elak. Saking kesakitannya, dia tak peduli Malaikat Pencabut Nyawa berhasil lolos dari cengkeraman. Nurdewi tak menyia-nyiakan waktu barang sedetik pun. Dia menghunus sabit di punggung, lalu dia lempar tak tanggung-tanggung melewati kepala si lelaki. Kemudian dengan sekelebat kemarahan yang berpendar, Nurdewi menarik rantai sabit itu hingga menggaet leher si lelaki hingga terputus sebagaimana korban-korbannya yang lain. Lelaki itu mampus sepenuhnya di tangan Nurdewi. Setelah itu, dia menggotong mayatnya ke sumur. Namun, Nurdewi berhenti sejenak, mencabut lencana di saku jas itu. Mengumpulkan lencana dari para anggota Penguasa Kota berguna sebagai bukti Nurdewi berhasil membunuh mereka.
Malam itu, tempat pelacuran Keluar Puas kedatangan seorang lelaki bertubuh tinggi, namanya Jaka. Menurut Mama Melisa, Jaka adalah salah satu pelanggan tetap tempat pelacuran itu. Namun, sudah bertahun-tahun lamanya dia tidak berkunjung sampai akhirnya, entah angin apa yang membawanya datang lagi di Keluar Puas. Sewaktu Mama Melisa masih berusia sekitar dua puluh dua tahun, Jaka masih sangat remaja. Di usianya yang remaja itu, dia sudah tahu payudara dan tetek bengeknya. Jaka selalu membuat para pelacur minta diampuni jika bercinta dengannya, karena Jaka orang yang terkesan kasar dan tiada berbelas kasih. Di malam ini, Jaka hadir sebagai laki-laki dewasa dengan ketampanan biadab yang membuat semua pelacur di tempat itu seolah-olah melihat iblis dalam wujud malaikat pembawa berkah. Kendati demikian, rata-rata mereka tidak tahu siapa Jaka. Jadi, wajar saja mereka merasa lelaki itu adalah orang baik. Padahal di balik wajahnya yang tampan dan tegas itu, Jaka justru orang yang tidak bijaksana sama sekali.
“Apa kabarmu, Mama Melisa? Kamu sudah cukup tua sekarang. Mungkin lebih pantas aku panggil Mami atau … Nenek,” kata Jaka, berdiri di depan Mama Melisa yang tengah duduk. Wanita itu menarik sudut kanan bibirnya.