Si remaja kucel siang itu menenteng samurai melewati emperan dan gang-gang kecil pertokoan. Mata pak tua topeng monyet belingsatan seolah-olah melihat ahli pedang dari Jepang bangkit dari kematian. Tidak ada yang berani bertanya atau sekadar menyapa si remaja kucel. Samurai berkarat yang ditentengnya terlihat haus darah bagi semua orang di emperan. Apalagi roman muka si remaja kucel yang beriak dipenuhi kelebat kemarahan, menambah intimidasi dalam auranya. Jangan ditanya, penjual ketoprak keliling memelesat membawa bakulnya terbirit meninggalkan para pembeli yang sudah menunggu sejak beberapa waktu lalu. Remaja kucel itu tak lain adalah Jaka, yang tiap hari berkeliling emperan menakut-nakuti orang dengan samurai.
Tidak ada yang tahu apakah samurai itu pernah digunakan Jaka memenggal kepala orang, atau sekadar memotong tangan orang. Pak tua topeng monyet juga tidak mengetahuinya. Tapi monyet-monyetnya tahu apa yang pernah dilakukan Jaka dan siapa saja yang sudah dia habisi dengan samurai itu. Kendati demikian, monyet-monyet itu sama sekali tak berniat buka mulut pada pemiliknya.
“Dia datang lagi untuk mengusir para pembeli,” gumam si penjual majalah porno. Dengan terburu-buru, dia mengemas semua majalah dagangannya ke dalam kain bermotif garis-garis. Tanpa aba-aba setelah itu, dia terbirit meninggalkan emperan. Tak aman lagi berada di tempat tersebut, karena si Jaka mau bagaimanapun adalah penguasa. Kendati selama ini tidak ada yang pernah tahu apa benar Jaka seorang pembunuh, atau justru hanya bocah kucel yang senang bermain-main dengan benda logam berkarat. Pula tak ada yang tahu dari mana si Jaka mendapatkan benda lusuh tua itu. Mungkin dia kebetulan menemukannya di tempat rongsok. Atau merampasnya dari tangan si pengumpul rongsokan. Tidak ada yang tahu.
Namun yang lebih penting dari itu, semua orang harus menjauh dari si Jaka sebelum terlambat. Sebelum suasana hati si Jaka berubah, atau sebelum dia berubah pikiran. “Pindah lapak lagi,” keluh si pak tua topeng monyet. Dia menggeret monyet-monyetnya, tapi aneh karena kedua monyetnya tak mau beranjak. Si pak tua menarik tali makin kencang, tapi monyet-monyet itu tetap tak mau beranjak.
“Ada apa, Tutul, Bigil? Kita harus secepatnya pergi dari sini. Kalau tidak, kepalaku atau kepala kalian yang bakal putus.” Si pak tua mencoba bicara dengan kedua monyetnya. Para monyet itu hanya mengenyet-nyet tidak jelas, si pak tua tak tahu maksudnya. Namun yang jelas, mereka berjingkrak-jingkrak dengan sorot menatap si Jaka yang masih berjalan pelan sekali. “Aduh, jangan cari-cari masalah. Sebelum terlambat, sebaiknya kita pergi.”
Si pak tua lagi-lagi menarik tali kekang monyetnya, tapi si monyet Tutul maupun Bigil masih tetap tak mau beranjak sebagaimana sebelum-sebelumnya. Si pak tua makin bingung. Dia menggaruk-garuk kepalanya, melepas topi hitam lusuhnya yang sudah sebulan tak pernah dicuci. Hingga tak lama kemudian, si remaja kucel berhenti. Gemerencing ujung samurai yang menyapu tanah senyap seketika itu. Si pak tua menyorot dengan ketakutan bercampur khawatir pada si Jaka. Sorot si Jaka kosong, nyaris seperti di dalam tubuh itu tidak ada nyawa atau jiwa. Memang benar kata si penjual majalah porno, tidak ada yang tahu apa yang bakal si Jaka lakukan. Pula benar kata si penjual ketoprak, sebaiknya hindari orang yang membawa samurai berkarat. Demikian juga dengan pendapat orang-orang lain di emperan itu, si Jaka haus darah dan perkelahian. Dan itulah yang membuat si pak tua topeng monyet amat was-was tak terbantah.
Sejak sebulan lebih si Jaka menjadi bocah kucel pembawa samurai, dia menjadi terkenal di kota itu. Orang-orang mulai membicarakannya. Ada yang bilang si Jaka gila, ada juga yang beranggapan si Jaka dungu karena ditinggal mampus kedua orang tuanya. Tak sedikit pula yang menganggap si Jaka kerasukan arwah tentara Jepang yang ingin balas dendam. Tak semua pendapat itu salah, begitu pun sebaliknya. Sebab, para monyet milik si pak tua mengetahui kejadian yang sebenarnya. Sebab di hari itu, saat kedua monyet si pak tua masih menjadi hewan liar yang sering kelayapan di pedalaman desa, mereka melihat si Jaka membunuh kedua orang tuanya yang sakit-sakitan.
Entah benar dia gila atau justru dungu, si Jaka memang telah membunuh orang tuanya dengan samurai berkarat yang dia rampas dari si pengumpul rongsokan sore itu. “Jika kalian menderita dalam rasa sakit yang tiada akhir, sebaiknya aku mampusin kalian berdua,” kata si Jaka sore menjelang magrib sambil menatap kedua orang tuanya yang terkapar sambil batuk-batuk di ranjang bobrok itu. Tak tanggung-tanggung, si Jaka menusuk dan memenggal kepala ibu dan bapaknya. Tanpa tangisan, tanpa penyesalan, si Jaka mengubur mereka di sebelah rumahnya yang hanya terbuat dari kayu lapuk dan dibungkus terpal karena bolong di sana-sini. Barulah setelah itu dia menjadi si bocah kucel penenteng samurai sebagaimana orang-orang menjulukinya. Setiap pagi hingga sore hari, si Jaka pasti berkeliling, ke emperan, persimpangan empat, pasar, dan masuk ke toko-toko roti.
Si Jaka tak pernah lapar. Para pekerja di toko-toko roti selalu memberinya beberapa sisa roti gagal produksi. Si Jaka tak pernah merasa lelah, karena si penjual majalah porno selalu memberinya majalah untuk dibaca secara gratis, apalagi si pak tua topeng monyet yang selalu menghibur si Jaka tanpa meminta sepeser pun bayaran. Dan para monyet itu senang menghibur si Jaka, dan tersenyum seolah mengatakan, “Aku tahu rahasiamu, Jaka.”
Kendati demikian, si Jaka tidak bermaksud menjadikan kasus pembunuhannya kepada orang tuanya sebagai rahasia. Namun begitulah adanya, hanya para monyet itu yang melihat, dan hanya mereka yang mengetahui hingga sekarang.
Si pak tua topeng monyet pergi meninggalkan monyet-monyetnya. Si Jaka yang tak melihat barang satu orang pun di emperan, melanjutkan langkah pelannya, tentu sambil menyeret samurai menyapu tanah, bergemerencing. Tak lama kemudian, si Jaka berhenti di depan sebuah bangunan bertingkat tiga. Dilihatnya orang-orang berlalu-lalang keluar-masuk malam itu. Laki-laki bersetelan hitam, para gadis seksi berpakaian serba minim, juga para rakyat jelata yang keluar dengan senyuman merekah. Jaka tak tahu tempat apa itu. Namun dia tertarik untuk masuk ketika sorotnya tertumbuk pada sesosok wanita berkulit putih cerah, berbibir melengkung ibarat busur panah, serta berdada menyeruak tak main-main besarnya. Jaka seolah menemukan hiburan baru, ketertarikan baru, serta dunia baru bagi dirinya yang telah bosan menenteng samurai mengelilingi emperan tiap pagi dan sore.