Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #17

Bagian 6 (3)

Malam itu si Jaka langsung ke sebuah tempat untuk melaksanakan tugasnya. Dia ingin melampiaskan kekesalannya pada apa pun, dan siapa pun. Dan itu waktu yang tepat untuk melakukannya. Si Jaka bertemu dengan si tua keriput, yang sudah sejak lama berutang pada Penguasa Kota. Si tua keriput belum membayar utangnya barang sedikit pun. Dulu, dia merintih-rintih pada Penguasa Kota untuk diberikan sabu-sabu karena tubuhnya panas-dingin. Ya, si tua keriput termasuk pencandu kelas berat. Sejak itulah dia mulai berutang pada Penguasa Kota, mengambil satu paket sabu-sabu, dua paket, tiga paket, dan seterusnya. Dan si tua keriput sudah kehabisan uang. Dia bahkan tidak punya apa-apa lagi untuk dijual. Si tua keriput kehilangan rumahnya, anak dan istri, juga orang-orang terdekatnya karena dibunuh si Jaka. Sekarang tibalah gilirannya diburu si Jaka.

“Tua keriput tahi anjing! Bayar utangmu atau aku bakal memenggal kepalamu?!” teriak si Jaka dari luar sebuah bangunan lusuh tak berpenghuni. Meskipun si Jaka lebih suka membunuh daripada mencari informasi, tapi dia pencari informasi yang baik. Buktinya, dia bisa menemukan si tua keriput berada di bangunan bekas orang Belanda. Untung bagi si tua keriput bisa tinggal tiap malam, berak, dan bahkan mengeluarkan air pelir dengan tangan sendiri di tempat itu tanpa diketahui siapa pun.

Namun malam ini, dia diketahui si Jaka. Itu cukup mengejutkan baginya, serta tak pernah bisa diduga. Mata si tua keriput belingsatan. Baru saja dia mau mengudut, tapi pekikan itu membuatnya seketika lemas, terperanjat, hingga dia berdiri dengan postur punggungnya yang bungkuk. Tembakau yang sudah dia campur dengan daun ganja itu nyaris tak sadar dia tendang karena buru-buru mencari tempat sembunyi. Sedangkan si Jaka sudah tiba di teras kumuh penuh lumut dan serangga seperti kecoak bahkan kadal buntung. Si tua keriput memelesat, tapi pinggangnya encok seketika. Dia kepalang panik, pinggang encok tak menjadi masalah. Yang penting bisa selamat dari samurai berkarat itu, si tua keriput naik ke tangga yang terputus. Dia berhenti di tengah tangga karena tidak yakin bisa mengangkat tubuhnya yang ringkih.

“Tidak ada gunanya bersembunyi! Tua bangka bungkuk sialan! Suasana hatiku sedang tidak baik malam ini, dan aku pastikan kamu segera mampus menyusul anak dan istrimu. Biar kamu bayar utang-utangmu di neraka.” Si jaka mendobrak daun pintu lapuk yang diganjal dengan batu-bata itu. Tiada kesulitan apa pun, si Jaka berjalan dengan tenang. Kesunyian dan kelembaban rumah tua itu membuat si Jaka dengan mudah menemukan si tua keriput. Dia melihat jejak kaki, daun ganja yang tercecer di lantai, dan dia mendengar suara napas berat tertahan. Tampaknya si tua keriput ngos-ngosan, nyaris sesak napas atau bengek.

Si Jaka memungut daun ganja dan tembakau yang tercecer, mengumpulkannya, lalu mengudutnya. Dia mengepulkan asap ke atas. Si Jaka kembali berjalan sambil mengisap-isap ganja di tangannya. Dia mondar-mandir di bawah tangga. Padahal dia tahu si tua keriput ada di tangga. Si Jaka hanya berpura-pura. “Kalau begitu, aku berikan kamu waktu berpikir,” kata si Jaka. “Tua bangka, jangan pikir harga nyawamu lebih mahal dari utang-utangmu. Sudah berapa kali kamu mengambil barang? Penguasa Kota selalu memberikannya, dan sekarang kamu harus membayar semua itu.”

Tidak ada balasan dari si tua keriput. Dia nyaris tak bernapas, berusaha mengelabui si Jaka kendati dia juga berpikir tak ada gunanya melakukan itu. Setidaknya, si tua keriput berusaha. Di tengah-tengah situasi genting yang dia hadapi, dia akhirnya menyadari kesalahannya. Dia rakyat jelata yang tidak punya apa-apa. Usaha yang dijalankannya habis hanya untuk membayar utang pada Penguasa Kota. Namun dia yang memulai sendiri, sebab katanya, tak bisa hidup tanpa sabu-sabu dan ganja. Si tua keriput menerawang jejak-jejak memori di kepalanya. Senyuman anak dan istrinya memudar, berubah menjadi ekspresi kemarahan, dan mereka tak bisa memaafkan si tua keriput. Karena dirinya, mereka mampus dan mendekam di neraka. Si tua keriput menangis, menahan suaranya, membekap mulutnya, menahan nyeri di pinggangnya yang encok, juga menahan nafsunya untuk mengudut ganja sebagaimana si Jaka.

Si Jaka yang sudah bosan menunggu suara si tua keriput keluar, lantas membuang puntung ganja ke lantai, lalu menginjaknya lekat-lekat. “Baiklah. Kalau begitu, aku anggap kamu memilih mampus. Tua bangka, serahkan nyawamu sekarang juga.”

“Tunggu ….” Si tua keriput bersuara, tapi nyaris tak terdengar. Dia mengulangi sekali lagi. “Tunggu!”

Langkah si Jaka berhenti. Entah bagaimana dia mengindahkan permintaan si tua keriput. “Aku tidak ingin mati sekarang.”

Lihat selengkapnya