Bahkan pak tua topeng monyet tidak lagi takut dengan si Jaka. Jangan tanya pedagang asongan lainnya di emperan itu. Mereka sudah barang tentu tidak terlalu mengkhawatirkan nyawa mereka lagi. Sebab berita tentang Malaikat Pencabut Nyawa yang adalah penolong para rakyat kecil sudah tersiar di seluruh penjuru kota. Nyawa siapa pun yang terancam oleh kehadiran anggota Penguasa Kota, sudah terjamin aman, meskipun memang tidak sepenuhnya. Namun demikian, mereka—para rakyat jelata itu—kini sudah bisa fokus dengan pekerjaan masing-masing. Tak ada waktu mengkhawatirkan si Jaka atau anggota Penguasa Kota lain, istri dan anak-anak mereka butuh makan. Lagi pula, emperan itu tak dibeli Penguasa Kota. Siapa pun berhak berjualan, berhak lewat, bahkan bercinta sekalipun di tempat itu kalau bisa. Hanya Malaikat Pencabut Nyawa yang menjadi harapan mereka satu-satunya. Karena tak ada aparat negara di kota itu. Bagi mereka—para rakyat kecil—tak ada uang, tak ada pertolongan dari aparat resmi negara. Bahkan mereka sudah mengetahui kebusukan beberapa dari aparat yang memihak Penguasa Kota. Bajingan sekali, kata si penjual majalah porno sore itu saat berbincang-bincang dengan pedagang asongan lainnya.
Para pembeli kembali berdatangan ke emperan, membeli bakso, ketoprak, menonton topeng monyet, dan bahkan membeli majalah porno secara diam-diam. Kehidupan mereka tenteram dan sejahtera. Bocah-bocah pengedar keparat yang ditugaskan Penguasa Kota tak digubris sedikit pun. Sampai ada salah satu dari bocah-bocah itu memprotes. Sialnya, mereka tidak begitu mendapat perhatian dari si pak tua topeng monyet, si penjual majalah porno, atau bahkan pedagang ketoprak yang sedang sibuk dengan para pembelinya yang manis-manis dan ganteng. Sampai pada akhirnya, para bocah pengedar itu melapor ke atasan mereka, ke anggota-anggota penting lain di Penguasa Kota, hingga terdengar di telinga si Jaka.
“Ini penghinaan!” kata si Berkalung dengan suara keras di emperan, berlagak seperti sedang berpidato di depan para pedagang dan seniman itu. “Kalian mengganggu jalur distribusi kami! Kami sudah memperingatkan kepada kalian untuk tidak berdagang di tempat ini!”
Beda halnya dengan para bocah pengedar, si pak tua topeng monyet dan kawan-kawannya kini memperhatikan si Berkalung, mendengar semua keluhannya yang sebetulnya bisa merusak usaha mereka. Tentu si pak tua topeng monyet tidak ingin kalah. Bahkan si penjual majalah porno berkeras.
“Memangnya kalian juga tidak menganggu usaha kami? Yang benar saja, Saudara. Emperan ini tak ada yang punya. Siapa pun boleh berdagang di tempat ini, siapa pun boleh lewat,” kata si penjual majalah porno dengan dada membusung dan wajah kemenangan. Si pak tua topeng monyet membelanya.
“Benar itu. Emperan ini tak ada yang punya. Hanya di tempat ini kami para rakyat jelata bisa mengais rezeki. Kalau tak suka, atau menganggap kekeraskepalaan kami adalah penghinaan, kalian boleh angkat kaki dari sini. Justru itu bagus.” Si pak tua topeng monyet mengikuti lagak si penjual majalah porno. Sedangkan, para pedagang lain membenarkan, lalu menyoraki lelaki berambut gondrong dengan kalung rantai emas entah berapa puluh karat itu.
Si Berkalung tersinggung, naik pitam. Tak tanggung-tanggung, dia berjalan ke arah si penjual ketoprak, lalu menendang bakulnya sampai bobrok. Bumbu segala macam tumpah ke tanah. Si penjual ketoprak meringis dengan wajah memelas. Dan semua orang yang berada di tempat itu membelalak bukan main. Ini baru saja pukul 6.00 sore. Andai waktu berjalan cepat, Malaikat Pencabut Nyawa pasti bakal muncul dengan sendirinya demi membela mereka. Kendati demikian, si pak tua topeng monyet tak menyerah. Dia dan si penjual majalah bahkan berdiskusi serius seolah-olah seperti rapat kenegaraan.
“Pergi atau kalian semua bakal mampus?” kata si Berkalung, menambahkan. Dikeluarkannya pistol hitam kecil dari balik jasnya. Mata si Berkalung belingsatan, membidik ke masing-masing kepala para pedagang itu. “Kalau kalian tidak sayang nyawa, kalian masih tetap boleh berjualan di sini. Tapi mungkin ini hari terakhir kalian bisa berjualan. Setelah itu, berjualanlah di neraka.”
Nama sebenarnya dari si Berkalung adalah Budi. Kendati ucapannya amat sangar dan seolah tak punya rasa prikemanusiaan, si Berkalung dulu salah satu dari para pedagang di emperan. Dia menjual gulali, tapi jumlah bocah yang menyenangi gulali tampaknya sudah mulai berkurang. Si Berkalung tak bisa membiayai hidup anak dan istrinya sampai anaknya mampus karena TBC, yang diduga pada saat itu karena dia tinggal di pinggiran kota dengan berton-ton sampah di sekeliling, atau berpuluh-puluh bangkai hewan dan manusia. Sampai akhirnya, si Berkalung mengabdi pada Penguasa Kota, berawal dari mengedar narkoba di emperan, lalu naik pangkat dengan posisi yang cukup tinggi. Dan itulah penyebab si Berkalung datang ke emperan sebelum si Jaka tiba. Setidak-tidaknya, masih ada empati di hatinya untuk si pak tua topeng monyet yang dulu selalu memberinya tambahan uang buat makan, atau si penjual majalah porno yang juga memberinya tips-tips dalam berdagang, atau bahkan si penjual ketoprak tempatnya berutang.
“Mestinya kamu ingat bagaimana dulu kita pernah menjadi tim di emperan ini.” Akhirnya si pak tua topeng monyet buka mulut. Si penjual majalah tak mau kalah.
“Itu benar. Kendati sekarang kamu sudah menjadi orang sukses dengan bisnis harammu, kami di emperan ini tidak pernah menceramahimu, Bud. Bahkan kami bersyukur karena kamu sekarang punya rumah yang gede, punya istri baru, mobil, motor, dan kekayaan melimpah.
“Tapi ingatlah, Bud. Kami ini rakyat kecil, dan kamu tahu sendiri bagaimana sulitnya kami mencari receh hanya untuk makan sehari-hari. Kami di emperan ini pasti ngerti kalau kamu paham itu,” jelas si penjual majalah porno yang kemudian hanya ditanggapi dengan seringai oleh si Berkalung.
Si berkalung mengeluarkan kretek dari saku jasnya, lalu dia bakar dan mengisapnya dengan amat dalam. Si Berkalung, kendati sudah menjadi orang sukses sekarang, sebetulnya dia punya penyesalan yang amat dalam. Sebab dia tak bisa menyelamatkan anaknya yang mampus. Atau bahkan tak bisa menghentikan istrinya yang sudah pulang ke rumah orang tuanya. Si Berkalung diusir dan diludahi mertuanya karena dia miskin tak bertanggung jawab. Dia punya dendam tersendiri dengan kota ini dan segala hal yang ada di dalamnya. Meskipun begitu, si Berkalung datang sebab tak ingin kawan-kawan lamanya di emperan ini mampus di tangan si Jaka. Karena sejauh pengetahuan si Berkalung, si Jaka hanya dalam setahun, kini sudah menjadi ketua di Penguasa Kota. Jika perintah datang dari si Jaka kepada si Berkalung, misalnya untuk membunuh para pedagang emperan itu, tentu saja dia bakal tak bisa menolak.