Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #20

Bagian 8 (2)

Nurdewi tak ingin bertindak ceroboh. Meskipun benaknya sangat ingin membikin mampus si Jaka, tapi dia menetralkan pikirannya dari segala gagasan itu. Dia harus mencari informasi yang memadai mengenai si Jaka. Sore itu, si Jaka kembali ke emperan setelah puluhan tahun menghilang. Baik si pak tua topeng monyet maupun si penjual majalah porno, merasa seolah-olah ajal sudah di ujung tanduk. Namun mereka heran dan penasaran. Meskipun si Jaka masih terlihat sama seperti puluhan tahun lalu, tapi dia sama sekali tak membawa samurai berkaratnya. Maka ketika itulah para pedagang emperan tersebut mulai mengingat apa yang terjadi terakhir kali mereka bertemu dengan si Jaka. Malaikat Pencabut Nyawa yang mengambil samurai itu.

Para pedagang emperan cukup lega karena itu. Apalagi si bocah penjual gulali yang tak lagi bocah dan sudah tak menjual gulali lagi, betapa ingat saat terakhir bertemu si Jaka. Sejak si Jaka dikalahkan Malaikat Pencabut Nyawa, dia dipindah tugaskan oleh bosnya ke kota sebelah. Si Jaka dalam posisi yang terancam, sehingga itulah bos Penguasa Kota tak mau ambil risiko. Lagi pula, jika si Jaka berkeras ingin mengalahkan Malaikat Pencabut Nyawa, bisa-bisa dia yang mampus. Penguasa Kota cukup khawatir dengan hal itu, karena sudah menganggap si Jaka seorang pembunuh yang efektif sekaligus menguntungkan bagi mereka.

Kendati demikian, para pedagang merasa aneh atas kehadiran si Jaka di emperan lagi setelah puluhan tahun menghilang. Si Jaka sudah tak lagi bocah. Dia laki-laki dewasa yang sudah cukup berumur. Penampilannya sangat meyakinkan, berewokan dan tumbuh kumis yang tak terlalu tebal. Tentu saja, mereka berpikir si Jaka sangat rupawan, sehingga tak jarang para perempuan yang lewat di emperan melirik nakal padanya. Segala sesuatu sudah berubah pada si Jaka. Namun itu semua tidak menjawab pertanyaan yang bergelantungan di kepala mereka. Untuk apa si Jaka datang ke emperan?

Si Jaka berdiri di sebelah mobil boksnya. Itu semacam mobil dinas dari Penguasa Kota, yang bisa mengangkut apa saja, termasuk paketan narkoba ataupun mayat manusia yang sudah si Jaka bunuh. Seolah-olah akan memulai sebuah khotbah di surau pada hari Jumat, para pedagang itu bahkan menyorot pada si Jaka, memperhatikannya dengan kesadaran penuh. Dan si Jaka berdiri dengan kebijaksanaan yang tinggi. Pandangannya menyapu sekeliling, menatap tiap-tiap individu yang adalah rakyat jelata dari berbagai desa di pinggir kota ini.

“Dengar! Nurdewi adalah milikku! Tidak ada yang boleh menyewanya di Keluar Puas! Jika ada yang berani menyewa Nurdewi, bakal aku mampusin kalian!” Demikian khotbah—atau sebenarnya deklarasi ancaman—disampaikan oleh si Jaka dengan raut wajah serius. Tak pernah si Jaka main-main dengan ucapannya sendiri.

Sudah barang tentu para pedagang itu tahu sosok Nurdewi. Sebab mereka sudah sering melamunkan perempuan itu. Meski pada kenyataannya, mereka tidak bisa menyewa Nurdewi barang sedetik pun di tempat pelacuran, tapi melihatnya menjadi kecukupan yang patut disyukuri. Setidaknya begitu menurut para rakyat jelata di emperan. Lagi pula, masih ada si penjual majalah porno. Kalau ada yang ngaceng sama si Nurdewi, tinggal beli majalah dan membayangkan di majalah itu ada Nurdewi yang tengah mengangkang. Solusi yang cukup murah dan mudah bagi orang-orang emperan.

Tak cukup ancaman secara lisan, si Jaka ternyata sudah mempersiapkan segala-galanya. Dia sudah mencetak pamflet yang berisi kata-kata larangan, persis sebagaimana yang ia katakan barusan pada orang-orang emperan itu. Dua bocah pengedar keluar dari mobil boks itu, lalu menempel pamflet di tiap-tiap dinding, tiang listrik, membuang dan membiarkannya diterbangkan angin, dan terakhir membagikan para lelaki yang lewat di emperan itu. Satu kalimat yang terlintas di benak orang-orang tentang si Jaka: “Mungkin si Jaka sudah mulai dungu.”

Hingga akhirnya, pamflet-pamflet itu pun sampai di tangan Mama Melisa, demikian pula Nurdewi. Barang siapa melihat pamflet yang berisi ancaman itu, pasti langsung membelalak. Ada pula yang langsung menertawakan tindakan konyol si Jaka. Bahkan tak jarang ada yang menjadikannya lelucon. Namun yang paling marah tentu saja Mama Melisa dan Nurdewi. Mereka sama sekali tak mengetahui rencana apa yang sudah dipersiapkan si Jaka. Namun jelas-jelas itu sangat merugikan Mama Melisa. Apalagi si Jaka bukan orang sembarangan. Dia adalah orang yang cukup disegani, ditakuti, dijauhi, atau bahkan dihormati di kota itu. Orang-orang, demi keselamatan nyawa mereka, pasti akan ciut oleh ancaman di pamflet itu karena ada tulisan nama Jaka dan bahkan tanda tangan resminya.

“Si bajingan terkutuk!” umpat Mama Melisa pada saat membaca tulisan di pamflet yang diberikan para pengawalnya itu. “Bisa rugi aku kalau begini!” Namun demikian, tidak ada yang bisa dilakukan. Mama Melisa tidak meminta para pengawalnya bertindak. Si Jaka pasti bakal menghabisi mereka. Jika sudah berurusan dengan si Jaka, pertumpahan darah pasti terjadi. Karena pertumpahan darah dengan si Jaka memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan.

Dan malam itu pun datang, malam setelah pamflet-pamflet berisi ancaman itu disebarluaskan ke sudut-sudut kota. Tak ada yang menyewa Nurdewi, bahkan setelah tiga jam duduk menunggu, tak satu pun laki-laki menyewanya. Malam ini Nurdewi juga tak menemukan satu pun laki-laki yang punya lencana. Sangat ganjil bagi Nurdewi, karena bagaimanapun, dia harus menghabisi anggota-anggota Penguasa Kota. Atau mungkin saja para anggotanya sudah habis. Itu mustahil. Karena Penguasa Kota adalah bandit yang terus menambah anggota tiap tahun. Sementara itu, beberapa pengedar sudah Nurdewi habisi di beberapa tempat di kota. Namun dia menginginkan seorang anggota Penguasa Kota dengan pangkat yang cukup tinggi. Jika hanya menghabiskan para kroco, sama saja dengan membikin mampus rakyat kecil. Sebab kebanyakan kroco adalah rakyat jelata yang dipaksa bekerja atau dalam arti lain dipaksa mengedar narkoba di tiap-tiap sudut kota. Karena itulah Nurdewi makin marah pada si Jaka. Kebetulan, laki-laki itu kemudian datang ke tempat pelacuran, menghampiri Nurdewi yang tengah di ambang lahar amarah meluap-luap. “Sekali kujerat, aku tak akan melepaskanmu, Nona. Kamu akan bercinta denganku, atau bahkan menjadi milikku selamanya.”

Lihat selengkapnya