Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #22

Bagian 9 (2)

“Malaikat Pencabut Nyawa tahi anjing!”

Pekikan tajam itu menggema di persimpangan kota yang padat. Manakala para pedagang asongan diserbu para pembeli, kesenangan itu hancur oleh teriakan si Jaka. Sorot si Jaka nanar. Kedua tangannya memegang pentungan yang terbuat dari besi, yang baru saja dia rampas dari si pengumpul rongsokan, lalu tak tanggung-tanggung memukul kepalanya hingga mampus terkapar. Darahnya bergelimang di aspal yang panas, kulitnya melepuh disengat panas permukaan aspal. Dan si Jaka berlari, mengobrak-abrik becak si pak tua, menendang sepeda motor si bocah, melompat ke atas atap delman si uzur, lalu mengacak-acak seluruh kota itu hingga tak satu pun berani mendekat. Tak ada yang tahu apa yang terjadi dengan si Jaka. Tak ada yang berani bertanya. Jangan tanya, aparat yang berjaga di posko, demikian pula hanya mengudut sambil menyaksikan si Jaka seolah-olah menonton layar tancap.

“Di mana kamu Malaikat Pencabut Nyawa?! Anjing! Sundal keparat! Ke mana kamu pergi?!” Si Jaka melempar besi di tangan kanannya, memelesat, lalu mengenai kaca bangunan milik orang Belanda, pecah berkeping-keping. Dan orang-orang yang tadinya di sana berkerumun, berlarian ke sana kemari, menyelamatkan anak bocah mereka, setidaknya menjauh dari persimpangan. Yang kakek-nenek sampai bisa berlari. Yang asam urat, bahkan langsung sembuh. Yang encok, demikian sehat. Manakala si Jaka tiba di emperan, si pak tua topeng monyet dan kawan-kawannya langsung terlihat pucat pasi.

Mereka berhamburan, berlari menyelamatkan diri. Dan para monyet si pak tua ikut ketakutan setengah mati. Si Jaka membikin mampus siapa saja yang tak sengaja lewat di depannya. Tubuhnya dipenuhi darah, bermandikan darah. Si Jaka menendang bakul si penjual ketoprak, mengambil panci yang menggelinding, lalu menginjaknya hingga penyok. Si Jaka sudah tak waras. Si Jaka sudah kerasukan demit tingkat paling tinggi. Si Jaka mabuk. Si Jaka dihukum Tuhan. Semua dugaan hanya bergelantungan di kepala para rakyat jelata yang nyaris mati ketakutan.

Si Jaka lelah, dan tubuhnya roboh di emperan. Namun tak ada yang berani mendekat. Emperan menjadi sepi sampai saat si Jaka dibawa anggota Penguasa Kota, lalu dipindahkan untuk bertugas di kota sebelah. Sejak saat itu, tak ada yang mengamuk lagi di kota itu. Tak ada yang mengganggu pekerjaan rutin para pedagang. Tak ada si Jaka, hidup mereka tenteram, kendatipun harus berseteru setiap hari dengan para bocah pengedar. Namun itu lebih baik daripada harus berhadapan dengan si Jaka. Si pak tua topeng monyet bahagia, begitu pun dengan si penjual majalah porno. Waktu berjalan cepat, hingga menyebar sebuah berita di kalangan para rakyat jelata mengenai tragedi mengamuknya si Jaka. Usut demi usut, si Jaka mengamuk karena Malaikat Pencabut Nyawa membawa lari perempuan yang membuat si Jaka tergila-gila. Dan pada akhirnya, sejarah itu terulang kembali di kota itu. Bedanya, itu tak terjadi di siang hari, tapi di malam hari. Sasaran utama si Jaka adalah rumah Mama Melisa.

 

-II-

 

Lihat selengkapnya