Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #23

Bagian 9 (3)

Si Jaka ingin membuktikan keberanian sekaligus ucapannya waktu itu pada Nurdewi. Sehingga itulah dia datang ke rumah Mama Melisa. Dia tak membawa apa-apa, tapi hanya membawa keberanian dan kepongahannya. Wanita itu berdiri di depan pintu sambil bersedekap menatap si Jaka yang berjalan menuju ke arahnya. Firasat semua orang di rumah itu sudah tak enak. Si Jaka tak pernah berkeras seperti ini, kecuali pada saat dia meminta wanita di masa lalunya bercinta dengannya. Semua orang tahu, termasuk Mama Melisa, jika tak berhati-hati terhadap si Jaka, maka rumah ini bakal habis menjadi tempat darah menggenang.

“Jangan pura-pura tidak tahu. Ayolah, Nurdewi itu sangat cantik. Dia terlalu cantik untuk menjadi pelacur dan mesin penghasil uang yang bekerja untukmu,” kata si Jaka. Dia tak berharap dipersilakan duduk oleh Mama Melisa. Karena itu memang mustahil. Dan wanita itu bagaimanapun tidak akan membuat semua orang terjerumus ke dalam bahaya ini hanya karena mempersilakan laki-laki paling ditakuti di kota ini masuk ke dalam rumah. “Aku punya banyak uang. Akan kubeli dia.”

“Tidak!” tolak Mama Melisa cepat. Seolah-olah itu sudah keputusan akhir dan tidak bisa ditawar lagi. Lagi pula, wanita itu belum menjadi gila sehingga harus memberikan Nurdewi begitu saja pada si Jaka. Memangnya apa gunanya dia merawat perempuan itu dari usia 12 tahun dan menjadi perempuan yang sangat cantik hingga sekarang? Mama Melisa tahu dia salah karena menjadikan anak-anak itu sebagai pelacur yang bisa dibeli dengan harga murah oleh para rakyat jelata dan siapa saja dari kalangan mana pun. Bermalam-malam dia habiskan memikirkan dosanya itu. Kendati demikian, nasi sudah menjadi bubur. Mama Melisa hanya bisa menerima dosa-dosa itu dalam bentuk keresahan yang selalu membayanginya setiap hari. “Berapa pun banyaknya uangmu, aku tidak akan menjual Nurdewi pada laki-laki ngacengan sepertimu. Hidup Nurdewi bisa makin rusak jika itu terjadi.”

Si Jaka tertawa. “Aku tak menyangka kamu masih menjadi wanita keras kepala. Dari dulu hingga sekarang, kamu tidak pernah berubah. Tapi karena kekeraskepalaanmu itulah yang membuatku makin tertarik. Aku tidak akan menyerah. Tentu saja, Nurdewi harus menjadi milikku. Dia harus bercinta denganku. Aku tidak boleh lagi didului laki-laki mana pun,” tegas lelaki itu. Sorotnya makin nanar, dan itu membuat Mama Melisa makin khawatir. Dia tahu betul si Jaka tidak bisa mengendalikan perasaannya sendiri. Jika dia marah, maka marah akan dikeluarkan hingga habis. Tidak akan ada yang bisa menghentikan iblis sepertinya. Mama Melisa menyadari itu, bahkan para pengawalnya yang berjumlah puluhan itu tidak akan mampu menghentikan si Jaka. Fisiknya sangat kuat, apalagi jika dia mendapat senjata. Rumah ini bakal menjadi tempat terjadinya tragedi mengerikan seperti perang yang pecah antara PKI dan warga sipil.

“Jaka, pergilah dari sini. Aku tidak ingin cari masalah denganmu. Lupakan Nurdewi. Dia tidak akan menjadi milikmu sebagaimana aku tidak pernah menjadi milikmu. Apa pun yang kamu lakukan, tidak akan mengubah kenyataan. Nurdewi tidak menginginkanmu. Bahkan jika hanya untuk bercinta semalam pun, dia tak mau melayanimu. Kamu laki-laki paling tidak diinginkan. Pergi, Jaka,” kata Mama Melisa dengan nada rendah. Dia hanya mencoba mengurangi risiko dari kemarahan si Jaka.

“Aku tidak akan pergi. Nenek peyot! Dengarlah, kalau kamu tidak ingin menjual Nurdewi padaku, maka kamu sudah tahu apa yang bakal terjadi.” Jaka berkeras.

Lihat selengkapnya