Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #25

Bagian 10 (2)

Menjadi bocah bandel, dikejar-kejar Pak Barokah, diomeli Bu Kodariah, bahkan dicaci maki oleh si Komar adalah paramater-parameter yang membuat hidup Subroto menjadi lebih menyenangkan. Kendati demikian, ternyata merasakan hidup juga berarti merasakan dendam dan kebencian. Subroto kecil menyadari itu dalam ketercenungannya yang hanya sekilas itu saat memegang tombak berkarat di tangannya. Dan Subroto kecil berjalan keluar dari gudang, mencari si Komar yang sejauh pengetahuannya bakal ada di pinggir sungai sambil mengudut bersama kawan-kawannya. Sungai terletak tak jauh dari tempat pengumpulan barang rongsokan, hanya perlu melewati pematang sawah. Maka, Subroto tiba di sungai itu. Dia mengendap-endap di balik lebatnya pohon bambu, dan Subroto melihat sekelebat sinar merah yang menandakan bahwa itu tanda bahwa si Komar tengah mengudut.

Sungai itu, selain dijadikan sebagai tempat mengudut dan menongkrong oleh si Komar dan para bandit, pula adalah muara tempat para warga membuang sampah. Tak sedikit bangkai unggas ditemukan, bahkan kadang si Komar menemukan bangkai manusia yang mengapung, tapi tak digubris olehnya maupun warga sekitar. Dibiarkan begitu saja sehingga sungai juga menjadi bagian yang berperan dalam menyebarkan benih-benih penyakit bagi warga desa. Buktinya saja si Komar yang beberapa hari lalu sakit perut. Sebagian besar warga dan juga keluarganya mengambil air di sungai itu, yang kemudian mereka jadikan air minum setelah disaring. Kendati demikian, benih-benih penyakit masih bisa menggerogoti. Bahkan dulu, entah sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, desa itu sempat digemparkan oleh warga yang keracunan masal. Para ahli dan dokter menduga penyebabnya karena warga sering mengonsumsi air dari sungai tanpa disaring terlebih dahulu. Selain itu, karena di musim kemarau banyak sumur yang kering, warga terpaksa mengonsumsi air dari sungai yang sebenarnya telah cukup dikontaminasi bangkai dan jarang diperhatikan warga.

Subroto masih mengendap-endap secara konsisten, menjaga derap langkah, juga reranting atau dedaunan kering yang bisa saja berderak karena tak sengaja menginjaknya. Tak mungkin langsung menyerang si Komar, sebab Subroto tahu ketika menyerang bosnya terlebih dulu, maka besar kemungkinan para budaknya langsung ikut menyerang. Subroto memutuskan mengalihkan perhatian para bandit itu. Sorotnya mengedar ke tanah, mencari batu atau setidaknya kayu. Dan dia mendapatkannya setelah bermenit-menit tangannya meraba rumput yang tumbuh jarang-jarang. Sebuah batu dilemparkan Subroto dengan niat bisa langsung mengenai si Komar. Namun tak kena secara langsung pun tak apa-apa, karena tujuan Subroto memang hanya untuk mengalihkan perhatian para bandit itu. Dan batu itu memelesat hingga tercebur ke sungai, menghasilkan dentaman yang tak cukup besar untuk membuat Pak Cukring terbangun dari tidur lelapnya. Para bandit terhenyak, termasuk si Komar yang tubuhnya langsung mengangkat.

“Asu! Apa itu?” tanya si Komar terkejut. Dia membuang puntung kereteknya, yang beberapa waktu lalu dia curi dari tempat rokok bapaknya. “Gempal! Periksa cepat!” perintah si Komar yang kemudian dilaksanakan si Gempal.

Julukan mereka boleh saja Bandit Desa, tapi mereka tetaplah masih bocah ingusan berusia belasan. Dan di usia itu, mereka, termasuk si Komar, masih takut dengan hantu. Sebab memang di kalangan warga desa, kepercayaan mengenai hantu masih amat kental. Bahkan banyak rumor beredar bahwa desa itu dipenuhi hantu orang-orang Belanda yang dulu menjajah rakyat Indonesia. Tak sedikit juga yang pernah mengaku melihat hantu orang bermata sipit—orang Jepang dan Cina—di pematang sawah dan perbukitan di desa itu. Dengan tubuh gemetar, si Gempal berjalan mendekat ke sungai, dia melongok takut-takut. Lehernya yang nyaris tak kelihatan itu berkeringat, membanjir. Karena ketakutan luar biasa yang dirasakan si Gempal, dia meminta si Boker menemaninya, tapi si Boker justru mengolok si Gempal. Padahal si Boker juga takut, maka dia meminta si Dogil menemaninya. Setidaknya, jika bersama dua orang, si Gempal dan si Boker tak akan takut. Namun si Dogil juga takut hantu, termasuk si Komar dan kawan-kawannya yang lain.

Sementara itu, si Komar justru sendirian. Dia takut sendirian, tapi si Komar dengan tetap berlagak biasa-biasa saja, mengikuti teman-temannya itu. Dia berjalan paling belakang. Si Komar tak mau berjalan paling belakang, karena dia pernah mendengar rumor, orang yang paling belakang bakal jadi mangsa hantu lebih dulu. Maka si Komar berjalan ke paling depan, tepat di depan si Gempal.

“Dasar goblok! Begitu saja takut! Tidak ada hantu di sini!” umpat si Komar dengan tubuh gemetar. Tentu saja, semua kawannya menyadari itu, si Komar ketakutan. Namun mereka semua tidak akan mengatakan, “Kamu juga penakut, Mar!” Itu tidak akan pernah jika mereka tak siap rambut mereka dipreteli si Komar.

“Tapi, Bos. Kata bapakku, dulu sungai ini dijadikan tempat pembuangan mayat sama para tentara Belanda. Tidak mungkin tidak gentayangan. Bapakku buktinya pernah melihat hantu orang Belanda,” kata si Gempal berbisik tajam dan menusuk. Si Komar makin takut. Bukan karena dia baru saja mendengar rumor itu, tapi justru karena dia sudah sering mendengarnya. Lagi pula, bapaknya juga pernah mengaku sering melihat hantu, entah hantu orang Cinta atau Jepang, di pinggir sungai ini.

Lihat selengkapnya