Orang-orang memanggilnya Salamah, wanita pribumi yang punya banyak uang. Konon, suaminya orang Belanda, tapi Salamah tak bisa mengandung. Dia hanya mual-mual, lalu muntah, dan tahi dia anggap sebagai calon anaknya yang gagal. Salamah tinggal di pinggiran kota, tapi rumahnya besar dan punya halaman luas. Dia sengaja berumah di kawasan yang tak terlalu ramai. Sebab di rumah itu, dia punya banyak gadis, yang dia anggap sebagai calon pelacur.
Ternyata Salamah adalah pemilik tempat pelacuran yang telah dibakar habis Subroto malam itu. Salamah menanggung biaya kerugian yang sangat besar, tapi tak ada yang mengiba padanya. Tempat usahanya bumi hangus, para pelacurnya hilang entah ke mana. Dan yang lebih penting lagi, Melisa mampus setelah melahirkan anak. Padahal, Melisa, bisa dibilang, adalah pelacur andalan Salamah. Biaya sewanya sangat tinggi, tak main-main. Dia sudah banyak mendatangkan pundi-pundi uang bagi Salamah. Namun sekarang, Salamah hanya bisa gigit jari. Dia ingin membangun kembali tempat pelacuran itu setelah sekian lama mempertimbangkan. Sebelum itu, dia pergi ke kediaman Subroto. Tak tanggung-tanggung, tentu saja, dan tanpa sedikit pun rasa takut yang menghinggapi benaknya.
Salamah tak pernah punya ketakutan, selain takut tak bisa makan dalam hari-hari karena usahanya sudah bumi hangus. Apalagi jika berurusan dengan laki-laki, Salamah paling berani di antara wanita mana pun. Bahkan suaminya yang bangkotan berani dia bikin mampus, lalu merebut harta kekayaannya. Padahal dulu dia hanya gundik, dan Salamah menyadari itu. Namun sejak suaminya sudah tak mampu bersyahwat, Salamah memberinya racun hingga tewas di tempat malam itu juga.
Para gundik suaminya yang lain pun kalah. Salamah menjadi pemenang. Dan dengan kekayaan yang berhasil dia rampas dari mendiang suaminya, Salamah membangun tempat pelacuran, mengumpulkan gadis-gadis dari desa, berpromosi memberikan rakyat jelata kepuasan secara gratis, hingga tempat pelacuran itu menjadi populer. Tak sedikit yang menobatkan tempat itu sebagai surga para lelaki. Meskipun banyak para perempuan jijik dengan tempat semacam itu, Salamah tetap berjaya tak takut apa pun. Aparat pun bisa dia sumpal mulutnya dengan selangkangan dan uang. Jadi, sesungguhnya memang tak ada yang Salamah takutkan dalam hidup ini. Kecuali yang satu tadi, yaitu tak bisa makan karena usahanya bangkrut. Sebelum itu terjadi, dia buru-buru mengambil tindakan.
“Saya rugi besar. Karena ulahmu malam itu, saya jadi kehilangan banyak pelacur, kehilangan banyak uang, serta bangunan,” kata Salamah yang duduk di depan Subroto, matanya tajam menusuk ke benak pria itu. “Sepertinya tak perlu basa-basi lagi, saya ingin meminta ganti rugi.”
Tentu, begitu mudah bagi Subroto memberi bergepok-gepok uang untuk Salamah. Apalagi, tempat pelacuran itu adalah tempat bersejarah baginya dan Melisa yang sudah mampus. Sebelum membakar tempat pelacuran itu, Subroto sudah menduga akan ada pihak yang menagih uang kerugian padanya. Itu bukan hal yang patut diherankan. Lagi pula, sebelum mendekati Melisa, Subroto pula sudah mempelajari latar belakang wanita itu. Ditambah lagi pengakuan Melisa setelah dia menjadi istri resminya. Wanita itu mengaku haram jadah dari perselingkuhan orang Jepang yang tinggal di Indonesia sejak zaman perang dan huru-hara. Sejak kecil dia dirawat oleh perempuan bernama Salamah, orang yang saat ini ada di depan Subroto. Mengingat cerita Melisa, maka Subroto jadi punya gagasan. Sebuah gagasan cemerlang yang menurutnya bisa membikin dia terhindar dari mengingat masa lalu menyedihkan.
Sambil menyesap kereteknya, Subroto berkata, “Baiklah. Saya akan mengganti semua biaya kerugiannya. Tapi, saya punya satu syarat.”
Salamah mengerutkan dahi. Sorotnya masih tajam menusuk, bertanya-tanya. Sekilas kemudian, Subroto menyentak kepala, memberi isyarat pada kedua pembantunya yang baru saja datang membawa minuman untuk Salamah. Mereka mengerti. Dan tak lama kemudian, mereka berjalan ke sebuah kamar, lalu keluar lagi sambil menggendong bayi yang baru berusia sekitar satu bulan.
“Apa maksudmu?” tanya Salamah setelah melihat salah satu pembantu berdiri sambil membawa bayi di depannya.