Saudagar Kuncoro hari itu memerintahkan para budaknya mengirim berton-ton beras ke gudang sebelum mulai disebar ke pasar-pasar dan toko. Pria paruh baya itu memiliki berhektar-hektar sawah di desa ini, termasuk kebun yang sudah siap panen bermacam jenis buah-buahan. Bisa dikatakan, dia adalah orang paling kaya di desa ini. Dia punya ratusan budak yang bekerja untuk mengangkut beras, juga ratusan petani, tentu saja. Namun Kuncoro, dengan keuntungan yang mengalir tiap hari, tidak pernah punya kontribusi apa pun pada rakyat jelata. Harga berasnya sungguh-sungguh mahal, tapi memberikan upah kepada budak dan petani amatlah jauh dari bayangan semua orang, bahkan tidak bisa dijadikan standar untuk masa-masa ini. Padahal uang mengalir tiap hari, tapi Kuncoro selalu mengusir pengemis dan gembel yang datang ke gudangnya hanya demi memungut butir-butir besar yang jatuh ke tanah. Dan itu tak membuat Kuncoro rugi sebetulnya. Sayang, dia memang orang yang tegas dan pelit, bahkan ia meminta para pengawalnya mengusir para pengemis.
“Barang siapa yang datang lagi ke gudang ini untuk memungut beras, jangan harap bisa selamat. Saya bakal tak segan-segan memutus leher kalian, membikin mampus kalian! Sekarang, pergilah!” teriak Kuncoro siang itu manakala melihat para pengemis berbondong-bondong memungut beras yang jatuh ke tanah. Dan tak hanya sampai di situ, bahkan Kuncoro menendang salah satu dari mereka hingga terjungkal dan mencumbu tanah. “Enak saja para rakyat jelata terkutuk itu!”
Kendati demikian, para pengemis dan gembel tak pernah menyerah. Sebab jika menyerah, nyawa taruhannya. Mereka lebih takut mampus karena tak bisa makan daripada dibikin mampus lebih dulu oleh Kuncoro. Justru pengalaman ditendang sekaligus diusir Kuncoro dari gudang itu membuat para pengemis makin cerdik. Mereka masuk secara diam-diam ke pekarangan gudang, secepat kilat mengumpulkan beras-beras yang sudah bercampur dengan pasir dan debu. Lagi pula, meskipun kotor, masih bisa dibersihkan. Musuh mereka ternyata bukan hanya Kuncoro, tapi burung liar dan ayam. Mereka harus mengalahkan kecepatan unggas-unggas itu mematuk beras, tentu saja. Jika unggas-unggas itu tak ada, setidaknya mereka bisa mengumpulkan segenggam beras. Dan hari ini, pendapatan mereka kurang dari segenggam. Itu sungguh perih bagi perut mereka. Kenyataan tetaplah kenyataan sebab tak ada yang bisa dilakukan selain itu. Setiap tanah di desa ini milik Kuncoro. Kendati di beberapa tempat terdapat pohon-pohon mangga, mereka tak bisa memetiknya pula karena dijaga ketat pengawal Kuncoro.
Lalu setelah selesai mengumpulkan beras yang tak seberapa itu, mereka pulang ke rumah masing-masing. Atau sebut saja gubuk reyot karena memang tak ada bangunan yang berdiri dengan bantuan semen.
Kuncoro, sebetulnya dia adalah musuh sejati dari para pengemis di desa ini. Dulu, para pengemis berharap banyak padanya, setidaknya bisa mengasihani mereka dan memberikan sedikit bantuan. Sayang, Kuncoro tak punya hati. Kadang, beberapa pengemis juga berasal dari budak yang dipecat Kuncoro karena dianggap tak becus bekerja. Beberapa pengemis pun tak jarang ada yang menagih pekerjaan, menawarkan jasa mereka, meskipun tidak diberi upah tinggi. Namun Kuncoro tentu saja menolak. Atau kadang dia menerima para pengemis itu, tapi kemudian memecatnya dalam waktu singkat sehingga tidak memberi mereka upah.
Hal-hal seperti itulah yang membuat seorang remaja muak dengan kehidupan di desa itu. Padahal dulu, desa tersebut tak seperti itu. Dulu tenteram dan tak ada orang kesusahan. Namun semenjak kedatangan Kuncoro, dia mengaku membeli seluruh tanah di desa itu, penduduk di desa itu terpaksa enyah. Beberapa ada yang melawan, tak bisa dimungkiri. Namun perlawanan mereka hanya sia-sia belaka. Sebab Kuncoro tak tanggung-tanggung membunuh mereka. Jangan tanya bagaimana aparat menanggapi, sebab Kuncoro punya kenalan di aparat pemerintahan. Karena itulah dia tak takut sama sekali atas perbuatan sadisnya. Bicara soal si remaja yang sudah muak dengan kehidupan di desa itu, namanya Satria. Dialah remaja yang sering melihat perbuatan Kuncoro pada rakyat jelata dan pengemis di desa itu. Sehingga pada saat hari pengantaran beras ke gudang, Satria dengan nekat menghadang para budak yang menarik cikar ditemani beberapa pengawal Kuncoro.