Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #31

Bagian 13 (2)

Mengingat semua yang dilakukan Kuncoro pada desa ini, berarti mengingat semua yang pernah dilakukan para penjajah di negeri ini. Satria tak bisa tinggal diam. Dia dan Lengkara mengaku sebagai pembela rakyat. Maka, barang siapa yang mengganggu ketenteraman rakyat harus dia musnahkan dari negeri ini. Hal itu berlaku bagi siapa pun, tak hanya Kuncoro yang memiliki status sosial tinggi, tetapi juga aparat pemerintah yang bagi Satria sungguh tak berguna. Sebetulnya, adalah fakta bahwa Satria dan Lengkara tak menyukai orang-orang berkuasa yang pongah dan rakus. Hati mereka tergerak melakukan pembunuhan kepada mereka yang dengan tanggung-tanggung mencelakai rakyat jelata. Meski sebetulnya mereka menyadari bahwa cara membunuh sungguh tak benar. Namun hanya cara itu yang tersisa. Lagi pula, mereka adalah bagian dari ninja. Begitulah mereka menyebut diri sendiri.

Seni bela diri dan ninjutsu atau “seni pergerakan sunyi”. Baik Satria maupun Lengkara menguasai keduanya sekaligus dalam kadar yang sangat cukup, bahkan lebih. Dulu ninja di Jepang di zaman feodal digunakan sebagai mata-mata. Tujuan mereka adalah menggulingkan kekaisaran. Bahkan dalam skala kecil sekalipun, Satria tetap memegang prinsip dasar ninja yang sudah diajarkan Yamamoto. Karena kebenciannya terhadap sistem yang terus-menerus mengeruk daya masyarakat sehingga terpuruk dalam ketidakberdayaan, tekad itu makin besar di benak Satria dan Lengkara.

Tentu saja, seperti saat ini. Bahkan sebelum Kuncoro muncul di depan hidungnya, dia sudah lebih dulu menyusup ke rumah panggung pria tersebut. Nyaris tak ada halangan bagi Satria jika hanya untuk menyelinap masuk ke pekarangan rumah Kuncoro. Rumahnya tak seperti rumah-rumah di Jepang yang memiliki banyak perangkap dan pengawal telaten. Rumah Kuncoro berbanding terbalik dari semua itu. Meskipun semua orang tahu dia adalah saudagar paling kaya di desa ini, tapi karena kemalasan dan keserakahannya, dia mungkin mengabaikan keamanan-keamanan penting tersebut. Sebagian besar yang Kuncoro jadikan pengawal pun adalah mantan bandit yang sering berkeliaran di pinggir kota. Mereka tak punya kemampuan khusus apa pun selain menyerang secara membabi buta. Dan itulah titik lemah Kuncoro yang dimanfaatkan oleh Satria.

Beberapa pengawal di gerbang masuk pekarangan rumah itu sudah dibikin mampus secara senyap. Jangan tanya, Satria adalah ahlinya karena dia seorang ninja yang bahkan sudah dinyatakan siap untuk mengikuti tugas-tugas rahasia dalam skala besar. Ayahnya yang berkata begitu seminggu sebelum meninggal dunia.

Malam itu, Kuncoro berniat melawan Malaikat Pencabut Nyawa sendirian, sebab para pengawalnya dinilai tak becus. Namun sebelum sempat keluar dari pintu yang terbuka, Kuncoro sudah merasakan hawa kehadiran yang ganjil. Benaknya berkata bahwa dia tak perlu repot-repot keluar mencari Malaikat Pencabut Nyawa, sebab dia sudah ada di rumahnya sekarang. Kuncoro, sedari kecil memang sudah dilatih seni bela diri. Setiap anggota keluarganya bahkan menguasai setidaknya satu atau lebih seni bela diri. Sejak muda, Kuncoro selalu memamerkan kekuatan dan kemampuannya. Dia menggunakan bela diri untuk menindas yang lemah, merampas milik orang lain, dan menakut-nakuti orang lain. Bisa dikatakan bahwa watak pongah dan suka pamer Kuncoro yang saat ini hampir berusia 55 tahun memang adalah watak alaminya sejak kecil. Untungnya, keluarganya cukup kaya sehingga ada yang dia banggakan di dalam hidupnya. Kuncoro memiliki tiga saudara, dia si bungsu. Di antara saudara-saudaranya, Kuncoro yang memiliki watak paling keras kepala. Dan karena kekeraskepalaannya itu, dua saudaranya pun tak segan-segan ia bikin mampus ketika terjadi huru-hara sebab berebut harta warisan ayahnya.

Seperti itulah selama ini Kuncoro hidup. Dia selalu melawan maut, menantang semua orang, dan pelit sampai mampus. Selama hidup, Kuncoro tak pernah merasa bersalah karena telah membunuh kedua saudaranya. Siapa yang menghalangi, wajib dia bikin mampus. Setidaknya seperti itulah prinsip Kuncoro selama ini. Sungguh bertolak belakang sekali dengan Satria yang memang dari kecil menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Segala sesuatu harus dibayar tuntas dengan setara.

Satria, karena merasa keberadaannya sudah diketahui Kuncoro, memutuskan keluar dari persembunyiannya. Tepat di balik pohon-pohon pisang di halaman rumah Kuncoro, si Malaikat Pencabut Nyawa berjalan mendekat ke rumah tempat Kuncoro tengah berdiri.

Lihat selengkapnya