Tentu, tak masalah bagi Subroto jika ada rakyat jelata ingin bergabung dengan komplotan banditnya. Apalagi, laki-laki yang ada di depannya memiliki sorot seorang pembunuh yang kental. Sebagaimana Subroto yang sudah membunuh puluhan orang, Satria pun terlihat demikian. Kendati seperti itu, Subroto tetap masih harus melihat tekad Satria. Penguasa Kota sudah tersohor selama puluhan tahun di negeri ini. Selama bertahun-tahun, ada saja orang yang ingin menjatuhkan nama mereka, entah itu melakukan tindakan sabotase dari dalam atau sebaliknya. Yang jelas, Satria bukan satu-satunya orang yang ingin melihat Penguasa Kota musnah dari negeri ini. Ada banyak saingan bisnis Subroto yang sudah melakukan cara seperti itu. Namun mereka semua gagal dan pada akhirnya bertekuk lutut tanpa bisa melakukan apa-apa setelahnya. Subroto dan Penguasa Kota-nya tetap berjaya sebagaimana mestinya.
Malam itu, Satria dan beberapa kawan timnya di Penguasa Kota berada di sebuah tempat. Lebih tepat jika kita sebut sebagai gudang. Toh, ada banyak barang rongsok di tempat itu. Gudang itu adalah milik Penguasa Kota, biasanya digunakan para anggota Penguasa Kota untuk mengeksekusi rakyat jelata yang bandel, tak mau bayar utang, mengganggu jalur distribusi, atau bahkan bertindak sebagai mata-mata saingan bisnis Penguasa Kota.
Subroto, meski sebetulnya bisa saja duduk santai di rumah, tapi kali ini dia sungguh-sungguh ingin menguji Satria. Melihat setidaknya seberapa besar tekadnya untuk bergabung dengan Penguasa Kota. Subroto punya gagasan dan firasat yang cukup aneh ketika menatap bola mata laki-laki itu. Ada kelebat aneh yang dia lihat di sorotnya, begitu samar dan tak jelas. Seandainya Satria adalah laki-laki biasa yang tidak cukup mampu menyembunyikan kelebat dendam di matanya, sudah pasti Subroto bakal mengetahuinya dengan cepat, lalu dia dibikin mampus.
Subroto berjalan ke depan Satria, sementara sudah ada pemuda berambut ikal di sebelahnya yang tangannya diikat ke belakang. Sambil membawa samurai berkarat, Subroto berkata, “Tunjukkan tekadmu, dan juga kemampuanmu.”
Sudah barang tentu Satria tak bisa menolak. Sebagai orang yang menjuluki dirinya pembela rakyat, semestinya dia tak akan pernah menyakiti rakyat jelata. Namun demikian, Satria bahkan tak tahu kesalahan apa yang diperbuat pemuda yang tengah bertekuk lutut di sebelahnya. Satria mengambil samurai berkarat dengan gagang bercorak naga itu dari Subroto, menatapnya sekilas, lalu berganti menatap pemuda yang sudah berkeringat dingin itu.
“Tolong, ampuni saya.” Begitulah ringis pemuda itu dengan nada memelas. Bahkan air matanya pun merebak keluar. Sayang, dia bakal mampus malam ini dan terlempar ke neraka jahanam. Tak ada yang bisa dilakukan. Kendatipun dia memohon, Subroto tak bakal langsung mengampuninya, atau bahkan Satria yang sedang diminta melakukan pemenggalan padanya. Samurai itu pasti bakal membikin lehernya putus.
“Ayo, apa yang kamu tunggu? Penggal kepalanya,” kata Subroto.
Mau tak mau, Satria mengacungkan samurai itu di belakang leher si pemuda. Tak peduli air mata pemuda itu membanjir, atau merengek dengan nada kasihan. Satria mengayunkan samurai itu tak tanggung-tanggung. Sebagaimana dia membunuh para bandit yang menguasai kota ini, Satria memenggal kepala si pemuda hingga mampus. Subroto tersenyum lebar melihat aksi itu. Setidak-tidaknya, itu sudah cukup membuktikan bahwa Satria bisa dia gunakan sebagai alat untuk membunuh. Satria pun disambut dengan hangat. Dia resmi menjadi bagian dari Penguasa Kota. Dan setelah semua orang pergi meninggalkan mayat si pemuda begitu saja, Satria membuang samurai itu di gudang tersebut. Kenyataannya, samurai itu pada satu hari akan menjadi milik si Jaka.