Setelah mendapat peringatan itu dari kekasihnya, Satria pulang sekitar pukul 01.00 dini hari. Sebagaimana yang wanita itu katakan, si Jaka muncul di depan Satria dengan menenteng sebilah samurai. Kali ini samurainya tak berkarat, sebab si Jaka baru saja mengambilnya dari rumah Subroto. Si Jaka bilang bahwa Satria harus dibikin mampus, dan entah bagaimana Subroto menyetujuinya begitu saja tanpa pertimbangan khusus. Satria memang sudah menyiapkan diri bilamana hari ini tiba. Lagi pula, dia tak bisa terus-menerus berada dalam komplotan bandit yang sudah menguras uang rakyat. Meskipun terbilang sudah gagal dalam melaksanakan tugas dan rencana, tapi Satria sangat percaya diri bisa beraksi di luar, tentu sebagai Malaikat Pencabut Nyawa. Sebab banyak orang yang mendukungnya, terutama para penghuni emperan dan rakyat kecil.
“Jaka,” gumam Satria yang seketika itu menghentikan pergerakan. Satria sangat waspada sebab si Jaka adalah lawan yang patut diwaspadai. Meskipun akan sangat mudah bagi Satria untuk membikinnya lumpuh dalam sekejap, tapi keadaannya saat ini adalah bahwa Satria tak membawa senjata apa pun. Dia tak membawa peralatan ninja. Itu sebuah malapetaka baginya.
Si Jaka ternyata tak hanya sendiri, tetapi bersama si Berkalung yang datang kemudian sambil membawa sebuah koper hitam entah apa isinya. Si Berkalung betapa ingat bagaimana tangannya dibuat buntung oleh Malaikat Pencabut Nyawa. Dan itulah yang membawanya kemari, ke hadapan Satria demi membalas dendam. Kelebat kemarahan di bola mata si Berkalung makin jelas terlihat, berpendar hingga berkobar-kobar layaknya api yang membakar hutan. Si Berkalung membuka koper itu sambil menjongkok. Dia agak kesulitan karena tangannya tak genap. Seandainya hanya beberapa jari yang dibuat buntung, dia tak akan begitu kesulitan. Sayang, telapak tangannya yang dibuat buntung. Si Berkalung pun selalu bekerja dengan satu tangan. Membasuh pantat setelah buang tahi dengan tangan yang sama sebagaimana ia gunakan juga untuk menyuap makanan. Si Berkalung yang sungguh malang.
Si Berkalung mengeluarkan sesuatu dari dalam kopernya, sehelai kain hitam, atau mungkin jubah. Dan benar saja, itu adalah jubah Malaikat Pencabut Nyawa, milik Satria yang sebetulnya sudah dia sembunyikan dari jangkauan siapa pun di gudang milik Penguasa Kota. Sayang, Subroto memang sudah mengendus bau-bau tak sedap dari tindak tanduk Satria selama ini. Sehingga dia mengerahkan beberapa bawahannya secara diam-diam untuk mencari benda itu. Sorot mata tak dapat dibohongi. Bagaimanapun, Subroto sudah puluhan tahun menghadapi pembunuh, dan dia barang satu kali pun tak pernah berhasil dicelakai.
“Malaikat Pencabut Nyawa,” gumam si Jaka dengan kemarahan yang bergejolak di benak. “Akhirnya aku bisa membongkar siapa kamu sebetulnya. Tak heran selama ini gerak-gerikmu sangat mencurigakan. Kamu selalu menghilang di saat para anggota akan mengeksekusi para rakyat jelata yang membangkang. Dan oleh sebab itu, Subroto mengendus bau tak sedap darimu. Satria, atau Malaikat Pencabut Nyawa tahi kucing.”
Sementara itu, si Berkalung mengepal kain hitam itu, lalu dia lemparkan kepada Satria. “Maaf saja, karena kami tak membawakanmu senjata terkutuk itu. Kami menyimpannya agar kamu tak bisa menggunakannya untuk membunuh kami. Tapi jika beruntung, si pelacur itu pasti akan membawakannya untukmu.”
Di saat-saat terdesak seperti ini, Satria membutuhkan shuriken untuk dilemparkan ke kedua orang di depannya, setidaknya sebagai pengalih perhatian dan pengulur waktu agar dia bisa kabur. Sebagai ninja yang sudah terlatih berkontak langsung dengan alam, maka benda apa pun yang ada di sekitar bisa dimanfaatkan. Satria tak kehilangan akal sama sekali. Dia tak buka mulut barang sedikit pun. Itu hanya buang-buang waktu. Sebab yang lebih penting adalah menghindari takdir kematiannya yang sudah ditentukan si Jaka malam ini.
Manakala si Berkalung mengeluarkan pistol di balik saku jasnya, Satria menunduk, menjongkok, lalu mengambil beberapa kerikil di sekitarnya untuk kemudian dia lemparkan ke kedua lawannya. Seperti melempar shuriken, kerikil-kerikil itu sangat berguna bagi Satria. Dia mengambil beberapa untuk dia simpan di saku jasnya. Satria berhasil lenyap dalam kegelapan, sebagaimana ninja semestinya bertarung secara bergerilya.
“Satria terkutuk! Tunjukkan dirimu, keparat!” jerit si Jaka dengan bola mata yang mengedar ke sekeliling kegelapan. Jika penglihatan tak dapat digunakan, maka hidung si Jaka jauh lebih efektif. Jangan lupa bahwa si Jaka adalah anjing liar. Mengendus keberadaan Satria bukan hal yang sulit baginya. Namun sayang, si Jaka bahkan tak mencium barang sedikit pun keberadaan laki-laki itu. “Bangsat!”
Demi menghindari risiko, Satria kabur dari si Jaka dan si Berkalung. Dia menuju ke tempat pelacuran. Dan ternyata, wanita itu sudah menunggunya di belakang bangunan Keluar Puas. Sambil membawa sabit berantai dan beberapa peralatan lain, wanita itu tersenyum merekah karena mengetahui Satria bisa lolos dari kejaran Penguasa Kota. Malam itu, tempat pelacuran pun bahkan sudah tak lagi aman. Subroto meminta semua anak buahnya mengejar Satria, dan juga wanita itu.
“Sudah tak ada tempat aman di negeri ini. Bahkan di tempat pelacuran ini, semua sudah diobrak-barik anggota Penguasa Kota. Kita harus kabur ke desa pelosok jika ingin selamat.”