Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #36

Bagian 16 (2)

“Dengar, Jaka,” kata Mama Melisa. “Aku tak pernah takut kepadamu. Seandainya suamiku masih hidup, mungkin dia bakal membunuhmu dalam sekejap. Tapi aku berjanji, barang siapa yang menyentuh Nurdewi, aku yang bakal menghabisinya.”

“Berarti sudah diputuskan bahwa kamu akan melawan lelaki sepertiku? Jangan sombong hanya karena kamu pernah mencengkeram pelirku. Dulu dan sekarang berbeda, Melisa. Aku sudah tak ingin bercinta dengan nenek-nenek sepertimu. Sekarang aku lebih menginginkan Nurdewi. Karena dia sangat segar. Dia pasti akan sangat memuaskanku di ranjang. Tapi nanti, setelah kamu mati di tanganku.”

“Kamu tak bisa membunuhku.”

Baru saja si Jaka akan melangkah maju, dia berhenti lagi. Dahinya mengerut. Ditatapnya Mama Melisa yang sedang menyeringai. Dan benar bahwa si Jaka tak bisa membunuh Mama Melisa karena dia adalah putri Subroto. Mengingat hal itu, si Jaka kesal setengah mampus. Dia mencengkeram gagang samurainya dengan ketat. Rahangnya mengerit. Alisnya demikian berkerut.

“Sadari posisimu, anjing liar. Yang membuat hidupmu tenteram seperti saat ini adalah aku. Lagi pula, kamu tak akan bisa membunuhku. Kalau sampai itu terjadi, Subroto yang bakal membunuhmu. Kamu tak tahu seberapa sayang Subroto kepadaku? Aku putrinya. Ingat, Jaka. Jika kamu sampai membunuhku, kamu tak mungkin punya tempat di negeri ini lagi.”

Betul yang dikatakan Mama Melisa. Si Jaka menelan ludahnya dengan kasar karena ancaman itu. Dia tak bisa membayangkan bahwa ada semacam batasan yang mampu menghentikan samurai itu bergerak. Batasan itu adalah ancaman, semacam garis batas yang jika dia melewatinya, dia bakal menjadi anjing liar tanpa tuan, atau bahkan mayat. Dia memang kuat, tapi Subroto punya kekuasaan, punya kekuatan dengan uang berlimpah. Dan semestinya itu menyadarkan si Jaka betapa rendah posisinya di hadapan Mama Melisa.

“Tahi kucing!” umpat si Jaka. “Tapi bagaimanapun, aku bakal tetap membuatmu menderita. Baiklah, aku tak akan membunuhmu karena aku tidak diperintahkan Subroto melakukan itu. Tapi aku bakal membunuh Nurdewi, karena aku sudah mengatakan padanya bahwa Nurdewi adalah putri haram jadahmu dan Satria.”

Itu adalah ancaman dengan tingkat intimidasi paling tinggi bagi Mama Melisa. Dia tak akan bisa berbuat apa pun, sebab Nurdewi memang tak pernah diinginkan ada di dunia ini. Namun Mama Melisa sebisa mungkin bakal tetap melindunginya. Meskipun nyawanya terancam melayang, dia tak bisa membiarkan si Jaka membunuh putrinya sendiri. Mungkin dia harus bicara pada Subroto. Atau mungkin dia sendiri yang harus menghentikan si Jaka. Itu tak mungkin, terang saja. Sebab Mama Melisa tak punya kemampuan bela diri. Dia hanya punya kekuatan karena rasa takut yang telah dia bunuh sejak lama. Dia mewarisi keberanian Salamah. Andai saja dulu dia belajar bela diri, mungkin keberanian itu bakal menjadi lebih sempurna ketimbang hanya tidak takut pada apa pun, tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Tiba-tiba saja Mama Melisa terpikir seekor induk ayam. Induk ayam itu meskipun pada dasarnya takut dengan manusia, tapi saat dia merasakan anak-anaknya terancam entah oleh manusia atau bukan, induknya bakal menyerang dengan keberanian yang bergejolak. Gagasan itu, bagaimanapun, telah membuka tabir inspirasi Mama Melisa. Bahkan wanita seperti dirinya bisa menjadi pembunuh. Buktinya Nurdewi yang menjadi Malaikat Pencabut Nyawa saat ini. Nurdewi tak mungkin diajarkan menjadi pembunuh oleh ayahnya sendiri. Mama Melisa yakin itu. Sebab dulu, dia pernah bicara pada Satria, bahwa gadis itu bakal menjadi gadis normal pada umumnya. Sebab dia berhak menjalani kehidupan tenteram. Nyatanya, semua itu berbalik. Entah apa yang terjadi, karena Mama Melisa tidak mengetahui bagaimana bisa putrinya itu bisa sampai diculik si penjual manusia.

Lihat selengkapnya