Haram Jadah: Hari Pembalasan

Marion D'rossi
Chapter #37

Bagian 17

Meskipun sebetulnya Nurdewi sudah bisa melupakan begitu banyak pertanyaan di benaknya tentang siapa ibunya, tetapi dia masih ingin untuk mengetahui siapa wanita yang tega membuangnya sedari kecil. Maka di hari itu, dia pergi ke dojo untuk memastikan satu hal yang dia rasa telah dilewatkan atau terlampau dilupakan. Bagaimanapun, Lengkara tak mungkin tidak mengetahui latar belakang Nurdewi secara penuh. Sebab Lengkara adalah saudara ayahnya, dia adalah paman Nurdewi. Perempuan itu sangat yakin, sebelum Satria mampus, pasti dia sudah menceritakan semua hal pada Lengkara. Dan soal jawaban Lengkara yang mengatakan bahwa dia tak tahu siapa ibu Nurdewi, Nurdewi yakin itu hanya sebuah cara untuk menghentikan pertanyaan terlontar dari mulutnya. Sehingga pada akhirnya, kini Nurdewi berdiri dengan kelebat serius di bola matanya, menatap Lengkara sambil mencari kepastian sejati.

“Aku tidak pernah percaya kalau Paman benar-benar tidak mengetahui siapa ibuku. Meskipun sekarang aku punya dugaan kuat siapa sebenarnya ibuku, tapi aku harus memastikannya dari mulut Paman sendiri. Percuma saja menyembunyikannya, Paman. Sebaiknya Paman katakan padaku, siapa ibuku? Atas alasan apa dia membuangku? Mengapa dia meninggalkanku dan Ayah?”

Seolah-olah dibedil puluhan kali di dada, Lengkara bungkam menahan setiap gejolak di dadanya yang hadir begitu saja. Begitu sakit karena sebetulnya dia tak ingin mengungkap itu. Menurut Lengkara waktu Satria masih hidup dan mereka berbicara berdua, tak ada gunanya memberitahu Nurdewi siapa ibunya atau siapa kakeknya sebab itu pasti bakal membikin perempuan tersebut merasa sangat terasing. Bahwa takdir mengikat diri Nurdewi secara langsung dengan Penguasa Kota. Lengkara sudah berjanji pada Satria bahwa dia tidak akan mengungkap kebenaran itu. Dan bahwa Nurdewi dia bawa ke gelapnya kehidupan menjadi Malaikat Pencabut Nyawa sudah direncanakan dari dulu.

 “Baiklah jika Paman tak ingin buka mulut. Tidak apa-apa, tapi aku sudah tahu siapa ibuku. Aku hanya perlu memastikannya, Paman.”

Nurdewi beranjak karena merasa tak ada gunanya lagi bicara pada Lengkara. Dia tak tahu sebabnya mengapa Lengkara sangat merahasiakan hal tersebut darinya. Namun yang jelas, dia yakin bahwa Lengkara tidak ingin dia terluka. Sebelum Nurdewi mencapai ambang pintu, Lengkara tiba-tiba bersuara dan berhasil menghentikan langkah Nurdewi. Perempuan itu membalik badannya, kembali menatap Lengkara. Mereka saling menatap satu sama lain. Tatapan itu adalah jenis yang sangat emosional.

“Baiklah,” kata Lengkara. “Mungkin memang percuma menyembunyikan semua hal darimu, Nur. Cepat atau lambat, kamu pasti bakal mengetahuinya, atau mungkin mencarinya tahu sendiri. Aku sungguh tidak bisa menghentikan rasa penasaranmu tentang siapa ibumu. Tapi, aku sudah berjanji pada saudaraku sendiri agar tidak memberitahumu tentang siapa ibumu yang sebenarnya.”

“Tak ada gunanya. Karena aku sudah tahu. Berkali-kali kukatakan, aku pasti akan menemukannya dengan caraku sendiri. Aku hanya perlu memastikan dari mulutmu, Paman. Kalau Paman tidak ingin mengkhianati janji Paman pada ayahku, tak apa-apa. Toh, aku tetap sudah mengetahui siapa ibuku. Dan fakta itu tidak membuatku merasa terluka sedikit pun. Aku hanya perlu tahu, dan itulah usahaku untuk mengenal siapa diriku.

“Jika aku tidak berusaha mengenal siapa diriku, aku juga mungkin sudah mengkhianati amanah ayahku. Sebab waktu itu, dia meminta dengan sangat padaku untuk lari yang jauh, hidup dengan bebas. Sayang, kehidupan yang bebas itu sebetulnya tak pernah aku temukan. Aku tetap dibelenggu rantai kehidupan, takdir, dan sampai sekarang aku menjadi seorang pembunuh terkutuk. Aku ingin mengenal diriku, Paman. Dengan aku mengenal diriku sendiri, aku akan bisa memahami apa yang aku inginkan. Aku ingin memahami hati dan perasaanku. Aku ingin memahami kebebasan itu seperti apa.”

Lengkara menelan ludahnya dengan kasar. Dia masih menatap bola mata Nurdewi yang menampakkan pendar kelebat tak main-main. Keseriusan nada bicara Nurdewi adalah bukti penting bagi Lengkara, bahwa usaha Satria untuk membuat Nurdewi jauh dari kontak secara langsung dengan para Penguasa Kota sebetulnya sudah gagal. Padahal Lengkara menjadikan Nurdewi sebagai Malaikat Pencabut Nyawa agar dia bisa makin jauh dari lingkaran kehidupan Penguasa Kota.

Laki-laki itu kemudian beranjak bangkit, berdiri di depan Nurdewi sambil tetap menatap perempuan itu. Kedua tangannya mengangkat, lalu dia memegang kedua bahu perempuan tersebut.

Lihat selengkapnya