Si Jaka adalah jenis laki-laki yang mengenyampingkan perasaan lebih dari siapa pun. Dan bahkan jika menghadapi perempuan sekalipun, dia tak akan goyah atau merasa iba sedikit pun. Namun berbeda halnya ketika dia menghadapi Nurdewi. Sekelebat empati merasuk ke benak si Jaka, bersamaan dengan kata-kata Mama Melisa yang mendengung berulang-ulang di telinganya. Akan tetapi, itu tidak cukup menghentikan si Jaka mengambil samurai berkarat yang dilemparkan Nurdewi beberapa saat lalu. Dia berjalan meraih benda itu, memegangnya, memandanginya, lalu menatap ke arah Nurdewi yang lengkap dengan jubah Malaikat Pencabut Nyawa-nya. Satu-satunya yang membikin gejolak kemarahan di dada si Jaka makin berkobar adalah dendamnya pada mendiang Satria. Kendati si Jaka saat ini merasa begitu sayang membunuh Nurdewi, dendam itu mampu membuatnya mengenyampingkan perasaan berkali-kali lipat dari semestinya.
Sementara Mama Melisa, secara perlahan-lahan menurunkan bedil di tangannya. Sebetulnya dia tidak ingin Nurdewi terlibat lebih jauh. Dia mengetahui sendiri ayahnya sangat kejam. Subroto pasti bakal menghabisinya tanpa sisa. Dan si Jaka, sudah tentu akan melakukan perintah Subroto apa pun risikonya. Sebab dia adalah anjing liar yang harus menurut pada tuannya. Atau jika tidak, dia bisa memberontak, tetapi pasti mampus adalah akhir yang bakal dia temukan. Kendatipun Nurdewi punya kemampuan yang terbilang jarang dimiliki perempuan pada umumnya, ketakutan tetaplah ketakutan. Sebagai seorang ibu, Mama Melisa tidak ingin melihat anak kandungnya sendiri berada dalam bahaya. Dan dengan begitu, Mama Melisa mencoba angkat bicara.
“Nurdewi. Jangan bertindak terlalu jauh,” kata Mama Melisa. Sayang, sudah terlambat berkata demikian sebab tekad di benak Nurdewi sudah bulat bentuknya. Bahkan tak perlu menunggu si Jaka bergerak lebih dulu, Nurdewi memelesat ke hadapan si Jaka setelah sebelumnya melemparkan beberapa shuriken. Nyaris si Jaka kehilangan fokus, dan dia kembali mengatur tingkat fokusnya. Bagaimanapun, Malaikat Pencabut Nyawa tak bisa dianggap remeh. Kendati dia perempuan sekalipun. Itu tak mengubah kenyataan bahwa Nurdewi sudah membunuh lebih dari seratus orang anggota Penguasa Kota. Itu jumlah yang fantastis jika kita bicara dari sudut pandang seorang perempuan malang.
Si Jaka tak mau kecolongan, dia dengan tangkas menangkis sabit yang bakal memenggal lehernya, lalu mendorongnya hingga terlempar kembali kepada Nurdewi. Malaikat Pencabut Nyawa tak kehilangan akal. Dia memiliki kecepatan gerak lebih dari manusia pada umumnya. Namun, si Jaka pula demikian. Lelaki terkutuk itu nyaris bisa menyamai kecepatan gerak Nurdewi. Mereka bercengkerama dengan tendangan, pukulan, juga serangan senjata tajam. Samurai dan sabit yang saling berbenturan bergemerencing, menggema di seluruh ruangan seolah-olah memberikan kesan pada Mama Melisa bahwa di hadapannya adalah pertarungan sengit antara dua sosok legendaris di negeri ini.
Mama Melisa yakin tak akan ada yang bisa menghentikan mereka, hingga salah satu kalah atau bahkan mampus di tempat. Wanita itu juga sadar tak bisa melakukan apa-apa. Maka, dia lebih memilih menjadi penonton. Namun dia tiba-tiba merasa seperti seorang ibu yang tak berguna karena mengingat semua hal yang dia lakukan pada putrinya sendiri. Dia menjadikan Nurdewi pelacur, dan karenanya juga Nurdewi menjadi Malaikat Pencabut Nyawa yang tak berbelas kasihan. Nurdewi memiliki semacam hasrat membunuh yang kuat. Mama Melisa menyaksikan itu semua hanya dari bola mata Nurdewi. Persis seperti milik Satria dulu, yang begitu dendam pada Penguasa Kota.
Mama Melisa takut bahwa Nurdewi gagal seperti ayahnya. Sebab dia sudah tidak punya apa-apa. Puluhan tahun wanita itu berharap bahwa putrinya masih hidup agar dia tak lagi kesepian. Setidaknya, merawat para perempuan di rumah itu adalah sebuah pelarian yang tak terduga baginya. Kematian Salamah telah membawanya ke kehidupan yang tak pernah sunyi, tetapi secara naluri, Mama Melisa tetap merasa sendirian. Sampai akhirnya dia menemukan sosok Satria, lalu dia kembali sendiri, sampai kemudian dia menemukan Nurdewi. Sayang, Nurdewi pun sesaat lagi mungkin tak akan bisa diselamatkan.
Manakala Nurdewi terlihat kelelahan, sementara si Jaka masih bugar dan tetap bergerak dengan berbagai serangan yang dia lancarkan, Mama Melisa menyadari putrinya sudah sampai pada batas kemampuan. Betul-betul wanita itu sudah terlampau pesimis, tak seperti dirinya pada saat-saat tertentu. Entah mengapa ketika dia dihadapkan di saat seperti ini, melihat putrinya berkutat dengan perkelahian melawan anjing liar itu, tak sedikit pun rasa optimis merebak ke benaknya.
“Ada apa, Nurdewi? Apa hanya sampai di situ kemampuan Malaikat Pencabut Nyawa? Aku tidak menyangka, Malaikat Pencabut Nyawa terlalu lemah, tak seperti dulu. Sayang, kamu memang tidak akan bisa melampaui kekuatan ayahmu. Kamu bahkan tidak sekuat dia. Aku mana mungkin bisa puas hanya dengan perlawanan sekecil itu,” kata si Jaka.
Nurdewi tak memedulikan perkataan si Jaka. Baginya, mendapatkan jeda hanya untuk menarik napas pun sudah sangat cukup. Seorang ninja tidak memerlukan banyak waktu untuk memulihkan tenaga, sebab mereka diajarkan agar terbiasa menghadapi situasi-situasi yang menyudutkan diri mereka. Dan Nurdewi ingat betul apa yang Lengkara ajarkan padanya. Selama ini, dia memang berhasil membunuh lebih dari seratus anggota Penguasa Kota, tetapi mereka semua tak sekuat si Jaka. Anggaplah si Jaka perwakilan dari bos terakhir yang bakal dihadapi Nurdewi. Setelah si Jaka bisa dia kalahkan, tentu saja Nurdewi bakal menuju kediaman Subroto. Atau bahkan melakukan pembunuhan secara senyap. Atau tidak, itu terlalu kejam.
Perempuan itu tak ingin terlalu banyak menghabiskan waktu, karenanya dia tak peduli sumpah serapah yang dilontarkan si anjing liar. Mau menggonggong seperti apa pun, Nurdewi sama sekali tidak terganggu. Fokusnya tetap berada di titik yang sudah dia tentukan sendiri. Jika tak berhasil membunuh si Jaka, maka melumpuhkannya adalah cara lain yang bisa dia lakukan. Setidaknya, dia harus mengambil jeda pada setiap serangan yang dia lancarkan. Apalagi, si Jaka sudah sekian kali berhasil menebak ke arah mana sabitnya bakal terlempar. Seolah-olah itu adalah ancaman paling buruk dan mengintimidasi secara penuh. Namun Nurdewi tetap percaya diri, dan dia menenangkan dirinya sendiri dengan bernapas secara teratur.