Hari itu, emperan sesak oleh kumpulan manusia yang berjubel sambil membawa papan dan kertas yang dicorat-coret. Mereka berasal dari banyak kalangan, tetapi yang lebih mendominasi adalah dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Pak tua topeng monyet kebingungan setengah mati melihat keadaan itu, dan dia tak tahu apa yang akan segera terjadi. Jangan ditanya, bahkan si penjual majalah porno berusaha meneliti apa yang tengah terjadi, bertanya ke sana-kemari, membaca tulisan-tulisan dalam kertas-kertas karton yang dibawa para mahasiswa itu. Si penjual ketoprak menduga-duga. “Bakal terjadi kerusuhan sesaat lagi.” Setidaknya begitu pikirnya.
Memang tumben sekali emperan kedatangan banyak pengunjung. Bedanya kali ini, orang-orang yang berkunjung tidak berniat membeli apa pun, lantas bertingkah aneh sebagaimana si pak tua menduga. Mereka berteriak-teriak menyerukan bahwa pemimpin di negeri ini harus lengser. Suara dari mulut orang-orang yang riuh, pula dari pengeras suara yang terus-menerus berpidato seolah-olah memberikan semangat bagi yang lain. Para penjual di emperan yang kurang berpendidikan itu mana paham. Dan hanya dua hal yang mereka dapat lakukan, yaitu ikut-ikutan atau justru tercenung tanpa melakukan apa-apa. Para bocah penjual gulali berlarian ke sana-kemari, menyelinap di tengah-tengah kerumunan, menyibak orang-orang yang menghalangi jalan. Apalagi para bocah penjual narkoba, yang langsung belingsatan mencari jalan keluar, lalu memelesat membawa stok narkobanya kabur ke rumah Subroto, dan melaporkan kejadian itu.
Tak berselang lama, aksi pidato dan corat-coret itu berubah anarkis. Orang-orang membakar ban mobil, membakar kertas-kertas, bahkan membakar mobil milik orang kaya. Si pak tua topeng monyet makin tegang. Tangannya yang memegang tali kekang monyetnya keringatan dan mengetat. “Apa yang terjadi pada negeri ini?” tanya si pak tua di dalam hatinya. Namun betul yang dikatakan si penjual ketoprak bahwa kerusuhan pun terjadi.
Orang-orang berjalan menuju pusat pemerintahan. Para mahasiswa memenuhi jalan utama. Kendaraan bermotor tak punya celah dan kesempatan untuk melewati jalan. Orang-orang meninggalkan kendaraannya, dan mengikhlaskannya untuk dibakar habis. Para penarik becak, apalagi. Mereka tak punya kesempatan kabur dari sesak yang mengancam, lantas meninggalkan becak mereka dan kabur menuju gang sempit mencari jalan keluar. Bangunan-bangunan dibakar, toko-toko dijarah dan dibakar, api berkobar di mana-mana. Udara menjadi sangat sesak dan panas. Sungguh neraka yang amat jahanam bagi negeri tempat lahirnya si pak tua topeng monyet dan kawan-kawannya.
Para monyet si pak tua hanya bisa mengenyet-nyet tanpa si pak tua tahu maksudnya. Mungkin para monyet itu berkata bahwa si pak tua harus segera meninggalkan emperan. Sebab sebentar lagi emperan bakal menjadi tempat paling sesak di muka bumi ini. Si penjual majalah porno mengemas barang-barangnya. Sebelum dia beranjak pergi, dia berpesan pada si pak tua topeng monyet. “Ardan, sebaiknya kita pulang untuk memastikan anak dan istri kita baik-baik saja di rumah. Sesaat lagi, sebagaimana yang dikatakan Sadrah, negeri ini bakal hancur. Negeri ini sudah berada di ujung tanduk. Tak lagi dapat diselamatkan. Ayo, lekaslah pergi.”
Maka dengan begitu, si pak tua topeng monyet tak diizinkan berbasa-basi, dia pergi sambil membawa monyet-monyetnya. Namun sayang, dia langsung diminta berhenti oleh salah satu mahasiswa. “Pak, mau ke mana? Ayo, kita harus membela rakyat! Kita tidak bisa terus-menerus jadi bahan konspirasi dan batu loncatan birokrasi! Negeri ini harus kembali disejahterakan. Rakyat harus mendapatkan kembali haknya! Negeri ini sudah melarat minta ampun, tapi dibikin lebih melarat lagi oleh orang-orang yang merasa tinggi di sana!”
Si pak tua hanya bisa memutar bola matanya. Lehernya berkeringat, dan dia tak tahu harus menjawab seperti apa sebab dia tak paham yang dikatakan mahasiswa berambut kribo itu. Bagi si pak tua, negeri ini memang sudah lama telantar, rakyat hanya mendapat porsi perhatian yang terbelakang. Akan tetapi, si pak tua cukup percaya pada Tuhan sebab sebagaimana takdir berjalan, maka seperti itulah adanya untuk dijalani. Dia mana paham hal-hal yang dibicarakan orang-orang itu. Bahkan tak sanggup mengerti apa untungnya membakar kendaraan dan ban-ban mobil di tengah jalan, yang lantas bikin negeri ini bakal makin dungu dan melarat. Sekarang saja negeri ini sudah melarat minta ampun, kelaparan terjadi di mana-mana. Yang berjaya hanya Penguasa Kota dan bisnis haramnya, beserta orang-orang tinggi lagi kaya yang tak kurang duit sepeser pun. Bahkan menjadi pelacur adalah pilihan paling ideal bagi perempuan saat ini agar bisa makan tiga kali sehari. Jangan ditanya, pilihan menjadi bandar narkoba pun adalah jalan lain yang bisa membikin kaya mendadak. Namun sayangnya, di situasi seperti saat ini, rakyat kekurangan duit untuk membeli narkoba. Karenanya, Subroto lebih memilih mendistribusikan barang-barang haramnya di luar emperan.