Malam pada saat Nurdewi berhasil melumpuhkan si Jaka, dia memutuskan mengikat anjing liar itu agar tak bisa ke mana-mana dan membiarkannya tergeletak lumpuh di ruang tamu. Nurdewi memang tak punya hati jika menyangkut Penguasa Kota. Tersiksa seperti apa pun kelihatannya si Jaka, tak ada rasa iba yang menjalar ke benaknya. Berbeda halnya dengan Mama Melisa yang berkali-kali bolak-balik ke ruang tamu dan memastikan kalau si Jaka sudah sadar. Ya, si Jaka pingsan beberapa waktu lalu akibat tinju keras Nurdewi sebagai pengganti samurai yang semestinya memenggal kepalanya.
Nurdewi tak ada di rumah saat ini. Beberapa waktu lalu dia berkata pada Mama Melisa bahwa dia sedang punya urusan di tempat lain. Mama Melisa memastikan bahwa urusan Nurdewi bukan ke tempat Subroto, dan Nurdewi menyetujui. Perempuan itu ternyata menghabisi beberapa anggota Penguasa Kota yang sebelumnya sudah dia mata-matai akan melakukan distribusi di sebuah gudang.
Ada yang jauh lebih menyita perhatian Nurdewi saat dia selesai menjalankan misinya, yaitu dia melihat beberapa orang dalam sebuah kelompok di sebuah rumah kecil tengah berdiskusi. Dan kebetulan waktu itu Nurdewi mendengar ada kata “aparat pemerintah”. Nurdewi tertarik, dan dia mendobrak pintu kecil rumah itu.
Dia muncul sebagai Malaikat Pencabut Nyawa di hadapan sepuluh orang yang terlibat dalam diskusi rahasia tersebut. Sepuluh laki-laki yang merasa keberadaan Nurdewi menjadi sebuah ancaman, lantas mengambil parang.
“Aku bukan orang jahat. Aku adalah pembela rakyat jelata,” kata Nurdewi yang seketika itu membuat sepuluh orang tersebut tak jadi mau menebas lehernya. “Kalian bisa memercayaiku. Aku kemari karena tertarik dengan diskusi ini. Apa yang akan terjadi pada negeri ini sesaat lagi?”
Maka, Nurdewi bergabung dengan orang-orang itu dan membahas tentang apa yang bakal terjadi pada negeri ini. Seperti yang diketahui, kerusuhanlah yang terjadi karena itu sudah direncanakan para pembela rakyat. Dan menurut mereka, bahwa banyak ketidakadilan yang sudah dan sedang terjadi di negeri ini. Sebagaimana Nurdewi melanjutkan usaha ayahnya menjadi pembela rakyat dalam wujud Malaikat Pencabut Nyawa, dia berpikir bahwa inilah mengapa dia ditakdirkan sebagai sosok yang paling dikagumi para rakyat jelata itu. Sebab sudah lama sekali sosok Malaikat Pencabut Nyawa menjadi penyelamat bagi para kaum melarat. Nurdewi bergabung dalam kelompok pendemo untuk melancarkan aksi ke jalanan dan bangunan-bangunan aparat pemerintahan negeri. Sebab bagi Nurdewi, negeri ini memang sudah tak waras. Sebab negeri ini sudah tak waras, maka rakyat jelata jelas dibikin dungu setengah mampus sampai akhir khayat mereka. Jiwa dalam benak Nurdewi berkobar-kobar bagai menemukan api di kawah gunung yang penuh lahar panas. Dia teringat akan Subroto, salah satu tokoh yang sudah merusak bangsa ini. Maka, dia membicarakan perihal Subroto dengan kelompok pendemo.
Para pendemo setuju nama Subroto dimasukkan ke daftar hitam, atau dengan kata lain, daftar orang yang diburu karena harus bertanggung jawab sudah membikin rakyat makin melarat. Diskusi rahasia itu berlangsung hingga dini hari. Para pendemo sudah mengatur semuanya, dan membicarakan usulan Nurdewi tentang Subroto kepada kelompok pendemo lainnya. Sementara itu, Nurdewi pamit undur diri setelah berjanji keesokan harinya bakal menemui para pendemo untuk membawa mereka menuju ke rumah Subroto.
Sebetulnya, Nurdewi memang tak pernah mengetahui letak rumah Subroto. Namun dia punya seorang ibu yang mengetahui keberadaan kakeknya itu. Nurdewi bertanya pada Mama Melisa.
“Untuk apa, Sayang? Mama tidak ingin kamu terlibat terlalu jauh dalam masalah ini. Mama bisa mengurus Subroto untukmu,” kata Melisa, menolak memberitahu Nurdewi letak rumah Subroto.
“Tidak, Mama. Aku harus membuat perhitungan sendiri dengan kakekku. Aku juga ingin mengetahuinya. Aku ingin melihat kakekku sendiri. Kakek yang selama ini tidak pernah menginginkan keberadaanku.” Nurdewi berkeras. Bahkan meski dia terlibat perdebatan kecil dengan ibunya, Nurdewi memaksa, tak mau kalah.
Dengan begitu, Mama Melisa pun menyerah dan segera memberitahu Nurdewi letak rumah Subroto. “Terima kasih, Mama,” kata Nurdewi.
Malam ini, Nurdewi tidur di dalam pelukan ibu kandungnya yang begitu hangat. Dia merasakan kasih sayang yang tak terkalahkan.