Hana duduk di atas ranjang pemeriksaan, mengayunkan kakinya yang tak sampai menyentuh lantai. Udara di ruangan itu terasa dingin, dan bau antiseptik yang menusuk hidung membuatnya ingin segera pulang. Tangannya memainkan ujung sweater kebesarannya—warna biru laut yang kini mulai memudar karena terlalu sering dipakai.
“Jadi, bagaimana kabarmu hari ini, Hana?” tanya Dr. Adrian, dokter berusia lima puluhan dengan senyum ramah yang sudah dikenalnya sejak kecil.
“Biasa saja, Dok,” jawab Hana datar, matanya enggan menatap langsung.
Dr. Adrian mengangguk, matanya penuh perhatian. Ia membolak-balik hasil pemeriksaan di tangannya, sementara Hana hanya menatap keluar jendela, berharap pemeriksaan ini segera selesai.
“Hana,” suara Dr. Adrian mengalihkan perhatiannya, “ada seseorang yang ingin aku kenalkan padamu.”
Hana mengernyit, alisnya terangkat. “Siapa?”
Pintu ruangan terbuka, dan seorang pria muda melangkah masuk. Tingginya menjulang, rambutnya hitam dan sedikit berantakan, dan wajahnya terlihat serius—meskipun ada senyum tipis yang ia coba tunjukkan.
“Ini Daniel, keponakan sekaligus asistenku,” ujar Dr. Adrian sambil memperkenalkan. “Dia baru saja menyelesaikan kuliah kedokterannya, dan sedang magang di sini. Jadi, mulai hari ini, dia akan membantuku memantau kondisi kamu.”
Daniel mengangguk sopan. “Hai, Hana.”
Hana hanya memandanginya sesaat sebelum akhirnya mengalihkan pandangan kembali ke jendela. “Aku nggak butuh dokter tambahan,” gumamnya pelan.
Dr. Adrian tertawa kecil. “Aku rasa kamu akan menyukainya. Dia lebih muda dan lebih sabar dari aku, itu pasti.”
Daniel tersenyum, berusaha mencairkan suasana. “Aku di sini cuma untuk membantu, kok. Kalau ada yang kamu butuhkan, atau kalau kamu bosan di rumah sakit, kamu bisa ngomong saja.”
“Bosan?” Hana akhirnya memutar kepalanya, menatap langsung ke arah Daniel. “Sepertinya nggak ada yang menarik di sini.”
Daniel terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan nada sinis Hana. Tapi ia tidak menyerah. “Ya, itu memang salah satu PR besar rumah sakit ini. Tapi... kita bisa cari sesuatu yang menarik nanti. Kalau kamu mau.”
Hana tidak menjawab. Dia kembali memandang keluar jendela, bibirnya tertutup rapat. Tapi di dalam hatinya, dia bertanya-tanya. Ada sesuatu dari Daniel yang berbeda—entah apa, tapi cukup untuk membuatnya sedikit ingin tahu.
Hana melangkah keluar dari ruangan pemeriksaan, langkahnya pelan sambil merapikan tali ransel yang melorot di bahunya. Kepalanya sedikit tertunduk, seolah sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Di ujung koridor, Dion sudah berdiri bersandar pada tembok. Kakaknya itu mengenakan jaket kulit hitam kesayangannya, tangan terlipat di dada. Begitu melihat Hana mendekat, Dion berdiri tegak, menyodorkan sebotol air mineral.
“Gimana hasilnya?” tanya Dion langsung tanpa basa-basi, suaranya serius, meskipun ada nada khawatir yang samar.
Hana membuka tutup botol itu, menyesap sedikit air sebelum menjawab, “Katanya minggu depan harus balik lagi.”
Dion mengangguk pelan. Dia tahu adiknya itu tidak suka membahas hal-hal medis, jadi dia tidak memaksanya bicara lebih banyak. Dengan satu gerakan, Dion merangkul pundak Hana, menggiringnya menuju pintu keluar.