“Papa!” Seorang gadis kecil memekik, tertawa riang saat sang ayah menyambutnya hangat dengan pelukan dan mengangkatnya tinggi bagaikan piala.
“Anak kesayangan papa!” Ayahnya memanjakan gadis itu kedalam pelukannya. “Laila, lihat sini deh.” Dia merayu dan menunjuk kearah langit malam yang dihiasi bintang-bintang dan rembulan. Putrinya mengikuti pandangannya dan menengadahkan kepala ke langit dengan penasaran, apakah yang papanya ingin tunjukan?
“Malam ini akan ada bintang jatuh, Laila tau apa arti bintang jatuh?”
Laila mengangguk. “Laila suka liat di tv. Katanya bintang jatuh bisa mengabulkan permintaan?”
“Ya,” Papa Laila terkekeh. “Disini, Laila bisa liat bintang di langit lebih jelas. Mulai sekarang, ini kamar Laila.”
Laila kaget dan melihat kearah papanya dengan tidak suka. “Pa, Laila gak mau tidur sendirian!”
“Laila kan udah gede,” Papa Laila dengan sabar. “Masa mau tidur sama papa dan mama terus? Gak malu ya, iiiiiihhhh.”
“Henri,” Seorang wanita masuk kedalam kamar dan menggeleng pada suaminya. “Udah ah, jangan dikatain terus Laila nya. Itu anak kamu lho.”
“Lah, justru karena dia anak aku, makanya aku gangguin,” Henri menyeringai nakal, membuat istrinya tidak tahu harus berbuat apa.
“Pah!” Laila tiba tiba memekik sambil menunjuk kearah langit. “Bintang jatuh!”
“Mana?!” Henri langsung menengok tapi hanya sempat melihat buntut dari bintang jatuh itu sendiri. “Woah, beneran...” dia berdecak kagum dan sedikit kecewa dia tidak melihatnya secara penuh.
Istrinya datang dari belakang, memeluk putri mereka. “Laila, tadi buat harapan gak?”
“Udah,” Laila dengan bangga mengangguk.
“Apa harapannya?” Henri penasaran.
“Laila mau coklat,” Laila menjawab dengan bangga.
“Hah?” Kedua orang tuanya menatap bingung dan langsung tertawa. “Mau coklat? Laila, anak papa masih polos!”
“Sama pacar.”
“Eh?” Henri sekejap berhenti tertawa, istrinya tertawa makin keras.
“Laila mau pacar, pah,” Laila menjawab polos.
“Laila, kamu masih enam tahun. Masih kecil! Gaboleh pacar-pacaran,” Jawab Henri panik. “Ini siapa yang ngajarin?! Irma, kamu sih, suka nonton sinetron bareng Laila.”
“Lah, kok aku yang disalahin?” Irma mendelik.
✩✩✩
Laila terbangun dari tidurnya dan menatap langit-langit kamarnya dengan terhenyak. Ntah kenapa dia bermimpi ingatan masa lalu yang konyol itu. Padahal sudah 10 tahun berlalu dan hidupnya baik-baik saja tanpa mengingat ingatan itu...
Laila balik badan dan memeluk gulingnya erat, merengek sendiri dikasur. “Enaknya dulu, gausah pusing. Tinggal main.” Memang dasar manusia, selalu tidak puas.
Ketika masih kecil mau cepat dewasa. Ketika sudah diambang akan jadi dewasa, maunya jadi kecil lagi.
‘Namun apa boleh buat, memang dasar sungai waktu, hanya akan mengalir kedepan, tidak akan pernah kebelakang...’ Pikir Laila, sok filosofis.
Dia beranjak dari tempat tidurnya, membuka jendela kamarnya lebar-lebar, dan duduk disana. Tatapan nya meraba langit yang malam itu agak sedikit ber awan.
“Laila mau ganti permintaan aja deh, telat gapapa kan?” Laila berkata pada langit malam. “Laila rela gausah makan coklat setahun, ato gak punya pacar sampe lulus. Yang penting, semua berjalan baik-baik aja.”
“Tolong, aku cuma punya sedikit permintaan dalam hidup. Pertama, semoga aku gak akan pernah ngecewain orang tua, kedua, aku pengen satu aja orang yang ngertiin aku.” Laila berdoa kepada Tuhan dibawah langit berbintang. “Gausah pacar, serius.”
Dari dulu, Laila sudah terbiasa berdoa dibawah bintang, walau nyatanya tidak ada bedanya dengan berdoa di saat-saat lain. Dia merasa lebih tenang dalam malam.
“Lulus dengan nilai bagus aja, udah cukup kok...” Kata Laila, agak tamak memang. “Bintang, jatuh dong,” Laila gemas memandang langit.
Setelah mendinginkan diri dengan angin malam. Dia menutup jendela kamarnya dan kembali kebawah naungan selimut hangatnya.
✩✩✩
“Laila, pagiii~” Riana menyapa teman sekelasnya dengan riang.
“Ya, pagi,” Jawab singkat Laila.
“Iiih, gak diperhatiin!” Riana merajuk.
“Jangan digangguin, Ri. Lagi fokus dia,” Melly nyeletuk.