Harapan Dalam Bintang

Allindri S Dion
Chapter #2

1

Nama anak itu Dirgantara Bintang. Laila jujur tidak tahu harus berpikir apa soal dia. Anak baru, ganteng, pindahan dari Surabaya katanya, tapi ada yang bilang juga dia dari Malang, disisi lain, ada yang bilang juga dia baru pulang dari luar negeri.

‘Jadi yang benar yang mana?’ Ya, tidak ada yang tahu pasti kecuali Bintang sendiri.

Dalam waktu satu minggu, Bintang sudah melesat tajam dalam tangga sosial SMA Harapan. Dari ‘anak baru’ menjadi ‘anak baru yang populer.’

Laila menyerah mengikuti berita tentang teman sekelasnya itu. Bintang sepertinya bagian dari orang-orang yang berkarisma tinggi. Dia bersin aja sudah membuat banyak gadis dikelas meleleh, sementara Laila yang duduk didepannya lebih khawatir akan virus yang tersebar dari bersin orang dibelakangnya.

Jangan salah, Laila bukannya tidak mempan dengan karisma Bintang. Karena memang harus diakui, dia memang ganteng, baik, pintar, mulutnya bersih tidak pernah ngomong kasar, siapa yang tidak suka?

Tapi setelah mendengar celotehan banyak cewek soal “Bintang ini...” “Bintang itu...” “Bintang barusan...” “Bintang tadi...”

Lama-lama capek juga...

Iya, iya, dia ganteng emang. Tapi bisa selesaiin nyalin PR Bahasa Indonesia nya dulu sebelum gosip, enggak? Sebentar lagi masuk, lho.

Dasar anak-anak SMA.

“Pagi Laila.”

“Pagi.” Laila refleks senyum dan menyapa cowok ganteng itu.

Panjang umur...

Laila kembali merenung ketika Bintang berlalu dan duduk di bangku nya.

Bintang sendiri anaknya baik, seenggaknya dia memulangkan apa yang dia pinjam, mulai dari pena, penggaris, atau penghapus. Gak seperti murid-murid cowok lain yang kalau dipinjemin langsung hilang ntah kemana.

Ya, memang di hari pertama dia agak aneh... Tapi yasudahlah, Laila anak baik, dia tidak akan mengkuak memori memalukan orang lain.

Sementara itu, dari belakang Laila, Bintang terus menatap punggung gadis berambut panjang itu sambil merenung.

Bel masuk berbunyi keras dan para murid yang masih diluar langsung masuk ke dalam kelas.

Jam pelajaran pertama hari ini adalah Bahasa Indonesia, yang mengajar Bu Rodiah.

“Terakhir kali ibu ngasih PR kan?” Bu Rodiah segera meminta semua PR dikumpul, memutus kesempatan untuk murid-murid nakal menyalin PR temannya sesudah bel masuk.

Bu Rodiah menumpuk semua buku-buku PR muridnya di meja dan membuka buku materi. “Kita lanjut yang kemarin, ya. Bintang, kamu sudah familiar dengan materinya?” Sebagai anak baru, tentu Bintang dapat cukup perhatian dari beberapa guru yang ingin memastikan kalau dia tidak ketinggalan materi.

“Udah kok, bu.” Bintang menjawab.

“Yasudah. Buka halaman 43.”

Pelajaran Bahasa Indonesia pun dimulai. Bu Rodiah orangnya baik, tapi mata pelajaran Bahasa Indonesia memang dari sananya membosankan. Banyak murid mulai melamun disaat dia menjelaskan.

“Nah, Ibu mau kalian buat kelompok 2 orang.” Perkataan Ibu Rodiah dengan kata kunci ‘kelompok’ membuat para murid kembali fokus. “Buat kumpulan-kumpulan puisi yang kalian buat sendiri. Gaboleh liat dari internet, ya.”

“Milih sendiri atau dipilihin, bu?” Adam bertanya.

“Pilih sendiri aja, bu!”

“Yang sebangku aja, bu.” Beberapa murid mulai membuat request.

“Jangan, Ibu gak mau yang sebangku. Nilainya gitu-gitu terus,” Bu Rodiah menolak. “Gini aja, depan sama belakang pasang-pasangan.”

Di dalam kelas ada empat baris meja dan empat baris kolom meja.

“Bu, saya gak ada pasangan kalau gitu.”

Selagi beberapa murid masih sibuk komplain, Laila menengok kebelakang. Dia duduk di baris ketiga, jadi dia berpasangan dengan baris genap dibelakangnya.

“Kita se-tim,” Bintang terlihat senang.

“Ya,” Laila mengangguk. Membuat kumpulan puisi itu tidak sulit, jadi Laila tidak terlalu khawatir soal berpasangan dengan murid baru. Toh, kalau memang tidak bisa buat, mereka bisa nyontoh google dan diubah sedikit-sedikit. “Mau ngerjain bareng atau masing-masing nanti?”

“Kalau bisa bareng, kenapa enggak?” Bintang bergidik dan tersenyum.

Melihat senyuman Bintang, Laila jadi kaku sendiri mengingat teman se-tim nya ini sudah termasuk idola sekolah.

‘Sebentar... Sebentar, jangan baper Laila...’ Laila mengelus dada dan mengangguk. “Yaudah, nanti pulang sekolah aja.”

✩✩✩

Perpustakaan SMA Harapan penuh dengan buku-buku yang telah terkumpul disekolah ini semenjak dibangun lebih dari satu dekade yang lalu.

“Pasti ada buku-buku puisi kan?” ucap Laila sambil menelusuri rak demi rak untuk menemukan buku tema yang dia cari.

“Kita mau ngambil langsung dari contoh?” Bintang mengikuti Laila bagai anak itik pada induknya.

“Ya gak langsung lah, ketahuan itu,” Laila menggeleng. “Kita liat-liat aja contohnya, siapa tau dapat inspirasi. Worse comes to worst, bisa plagiat sedikit demi sedikit di beberapa bagian.” Laila mengambil satu buku dengan judul “Kumpulan Puisi Remaja” dan berbalik badan, nyaris bertabrakan dengan Bintang yang berdiri tepat dibelakangnya.

Senyuman Bintang terlihat sungguh penuh arti, membuat Laila kikuk.

“Kenapa?” Laila menatap Bintang aneh.

Worse comes to worst?” Bintang mengulang perkataan Laila dengan aksen yang sama persis. “Kamu biasa ngomong bahasa inggris dimana?”

Laila seketika tersipu. “Cuma kadang-kadang kok!” balasnya sambil menyodorkan buku yang dia pegang dengan paksa. “Aku gak berlebihan nyatuin bahasa inggris dengan indonesia kayak sebagian besar anak-anak dari wilayah tertentu ya.”

“Kok sewot gitu?” Bintang menyeringai. “Aku tau kok kamu gak kayak anak-anak sok gaul jaman sekarang. Biasanya yang begitu, cuma ngomong doang, nilai bahasa inggris disekolah biasanya jelek.”

Laila menatap Bintang curiga. “Kamu kayaknya familiar banget dengan situasi nya.”

“Logika aja,” Bintang bergidik. “Kamu pinter bahasa inggris kan?”

“Tau dari mana?” Laila tanya balik.

“Bodoh banget Aku kalau aku gak tau. Jelas banget.” Bintang memutar bola matanya.

Laila mendesah lelah, tidak menjawab. “Yaudah langsung aja rangkai puisi,” dia menunjuk meja kosong terdekat.

Mereka berdua duduk berhadapan, karena kalau bersampingan di tempat yang sepi biasanya di tegur guru yang takut kalau-kalau ada yang nakal. Seperti kata pepatah, laki-laki sama perempuan, kalau cuma berduaan, yang ketiganya setan.

Bintang membolak balik halaman buku-buku puisi yang Laila berikan, sedangkan Laila memilih browsing google sedikit untuk mencari inspirasi.

“Tema nya apa dulu??” Bintang kemudian bertanya.

“Uuuuhh...” Laila menggaruk kepala. “Ibu?”

“Klasik sekali.” Wajah Bintang mengkerut tidak setuju. “80% puisi di kompetisi baca puisi, semuanya tentang ibu.”

“Ibu itu penting,” Ucap Laila.

“Tapi memang gak bosen?” Bintang mengeluh.

“Ayah kalau gitu?” Usul Laila.

Bintang menggeleng. “15% nya tentang ayah, sisanya tentang guru.”

“Dari mana kamu dapet persentase itu?” Laila menuntut tak terima.

“Yang jelas ganti dong,” Bintang komplain. “Gimana kalau tentang...” Dia melirik Laila. “Cinta.”

“Cinta? Anak kelas sebelah?”

“Serius dong!” Bintang mengerutkan dahi dan Laila tertawa.

“SSSHHH!!! Diskusi pelan saja!”

Kedua remaja itu langsung menutup mulut mereka rapat-rapat ketika ibu penjaga perpus memerintahkan mereka untuk diam.

“Seriusan,” Bintang merendahkan suaranya. “Tentang roman.”

“Kita ini tim laki-perempuan, nanti yang lain pada heboh,” Laila menolak.

“Oke deh, gak usah roman,” Bintang menatap Laila penasaran. “Gimana kalau tentang pengalaman aja?”

“Pengalaman gak bisa ditiru. Kamu yakin?” Laila mengangkat kedua alisnya tak yakin.

“...” Bintang memiringkan kepala nya, sedikit tak percaya. “Kalau gitu gausah meniru, lah. Memang kamu cuma bisa nyontoh?”

“Ya enggak lah,” Balas Laila sengit.

“Yaudah, buat aja.” Bintang mengangguk. “Puisi cuma puisi kok.”

“Tema nya gak bisa bebas aja? Lagian Bu Rodiah juga gak minta satu tema spesifik kan?”

“Yaudah lah,” Balas Bintang. “Aku buat dulu. Kamu juga.”

Laila merasa tak percaya ketika Bintang mengangkat pena dan mulai menulis di bukunya. Dia sendiri membuka tutup penanya dan menatap bukunya yang putih bersih sambil melamun kosong.

Nulis apa? Untuk pertama kali, Laila merasa dirinya lah yang dibawah disini. Bintang sudah ada yang mau dia tulis, sedangkan Laila masih belum menentukan.

Entah berapa lama Laila menatap buku kosongnya tanpa satupun ide yang mampir ke otaknya. Dia melirik Bintang yang masih menulis, sesekali berhenti untuk memikirkan bait puisi yang indah, tak sekalipun dia menyentuh buku referensi yang Laila sudah cari kan.

Laila akhirnya juga tidak menyentuh ponsel maupun buku-buku puisi itu. Matanya kemudian tertuju pada wajah serius Bintang yang menunduk dan menulis bait demi bait dari puisi yang Laila tidak bisa baca dengan jelas.

Laila terdiam menatap wajah tampan Bintang yang serius. Dia tidak pernah menyangka Bintang yang cukup sopan dan terjaga omongannya di kelas bisa jadi lebih terbuka di perpustakaan. Laila sendiri sebenarnya terkejut dengan mudahnya dia bercanda dengan Bintang. Sudah seperti kawan lama saja...

“Dah.” Bintang mendongakkan kepalanya, matanya bertemu dengan mata Laila yang sedari tadi menatapnya. Keduanya berkedip kaget.

Laila tersentak. “Oh, udah?” dengan cepat dia menangkap topik pembicaraan.

Bintang mengangguk. “Kamu?”

Laila membeku. “Eh... Belum... Kurang inspirasi disini... Hehe...”

Bintang tersenyum lembut. “Mau Aku bacain punya Aku? Siapa tau kamu ter-inspirasi.”

“Boleh.”

Lihat selengkapnya