Harapan Dalam Bintang

Allindri S Dion
Chapter #3

2

Setelah diperiksa dokter, untungnya tidak ada tanda-tanda bahaya soal benjolan di kepala Laila, dia hanya disuruh istirahat seharian dan datang lagi kalau ada keluhan lebih lanjut.

Laila sukses tidak masuk sekolah untuk sehari setelahnya atas kehendak orang tua-nya yang masih khawatir. Seharian Laila tiduran dikasur dengan bosan. Keesokan harinya, dia kembali sekolah seperti biasa dan disambut dengan teman-temannya yang bersyukur dia tidak apa-apa.

“Untung gak apa-apa,” Kata Mira.

Mendengar itu, Laila menggaruk-garuk kepala dan bergidik. “Ya. Untung gak kenapa-napa,” dia menghela nafas. Soalnya papa Laila kemarin sudah mencak-mencak marah besar, kalau beneran ada apa-apa dengan Laila, Laila bakal kehilangan akal untuk menenangkan papanya.

Maklum, dia anak papa, jadi paling disayang.

“Itu Laila!”

“Laila!”

Laila menoleh dan tersenyum melihat sekumpulan siswa yang berlari kearahnya.

“Sehat, La?” Adam tersenyum menggoda. “Kepalanya gak apa-apa kan?”

“Udah gak apa-apa,” Laila mengangguk sebal melihat senyuman mencibir dari Adam.

“Udah gak benjol lagi?” Bintang mengangkat tangannya, sejenak terlihat ingin meraih kepala Laila tapi Adam sigap menepis tangannya.

“Heeh! Inget norma. Udah sembuh ini, jangan dipegang-pegang, dong!” Adam mendecak.

Bintang tersentak sadar dan langsung tersipu. “Maaf, maaf, reflek mau cek aja tadi.”

Laila menggelengkan kepalanya dan Bintang hanya bisa menyeringai gugup. Sejujurnya ini kali pertama Laila melihat Bintang terlihat tidak percaya diri dan malu-malu kucing, jujur dia terasa jadi lebih bisa didekati dibanding dengan sifatnya yang biasanya ‘sempurna’.

“Anak gadis jangan main dipegang, Bintang, nanti nangis,” Mira nyeletuk.

“Iya, iya, kan aku udah minta maaf,” Bintang mendecak kearah Amanda.

“Tapi kan belum aku maafin,” Laila nyeletuk membela Mira.

“Lahh--???” Bintang terkesima mendengar celetukkan Laila. “Kok jadi aku yang dibully disini?”

“Abisnya, tangannya gratil banget sih!” Ejek Bima.

“Iya, tadi kan reflex!”

Semua murid tertawa riang dan suasana makin ringan, Laila akhirnya bisa membangun keberanian untuk menatap Bintang.

Laila menyapu rambutnya kebelakang telinga dan mendehem pelan. “Gak apa-apa, kok. Makasih ya udah anterin aku ke UKS kemaren, aku denger kamu yang tanggap duluan.” Laila tersenyum pada penyelamatnya yang sudah menggendong nya ke UKS sendirian.

Bintang hanya tersenyum manis. “Iya, sama-sama, gausah dipikirin itu mah. Yang penting kamu gak apa-apa.” Bintang mengangkat tangannya yang sedang memegang beberapa lembar kertas dan menepuk kepala Laila dengan pelan. Sebuah gestur yang dekat.

Laila refleks memegang kepalanya yang barusan ditepuk pakai kertas. Jantungnya berdegup cepat.

Enggak, Laila!

“Tugas Bahasa Indonesia kamu udah selesai? Sini gabungin sama punya aku,” Laila dengan cepat mengubah topik dan untungnya Bintang langsung merespons.

“Ini.” Bintang terkekeh dan menaruh kumpulan kertas yang ia pegang ke atas meja Laila

✩✩✩

Pelajaran Bahasa Indonesia dimulai, bu Rodiah mengumpulkan tugas-tugas muridnya dan memulai pelajaran dengan pengumuman yang sudah dalam ekpektasi tapi tetap menyembalkan.

“Ibu panggilin buat baca di depan, ya?” Bu Rodiah menatap murid-murid nya dengan tatapan manis.

Beberapa murid langsung lesu di tempat.

Sesuai dugaan, hanya membuat puisi tidak mungkin cukup untuk jadi nilai penuh di Bahasa Indonesia. Sejelek apapun bakat mereka dalam membaca puisi, mereka harus tetap bersuara agar mendapat nilai.

“Alaaahhh,” Mira mendesis pelan, rautan wajahnya terlihat lesu sekali seolah dia ingin meleleh diatas meja dan tidak masuk sekolah. Tidak ada satupun murid yang suka maju kedepan, tapi mereka harus maju demi nilai.

Satu persatu kelompok di panggil, yang belum dipanggil langsung mencari teman sekolompok mereka untuk diskusi karena mereka hanya perlu membaca satu puisi dari kumpulan-kumpulan puisi yang mereka karang. Laila menunggu gilirannya sambil melihat kearah puisi yang sudah ia pilih.

“Kamu puisi yang mana?” Laila berbalik dan bertanya.

Laila dan Bintang berkedip kaget ketika mata mereka langsung bertemu.

‘Dia... jangan bilang daritadi ngeliatin aku...?’ Laila berpikir curiga.

Bintang duduk tegap di kursi-nya dan tersenyum agak kikuk, membuat Laila semakin yakin kalau kecurigaannya itu benar. “Aku ‘Rumah’,” Bintang menjawab dengan siap. “Kalau kamu?”

“Ada, punya aku,” Laila menjawab.

“Apa? Temanya apa?” Bintang bertanya penasaran.

“Abstrak aja sih,” Laila menjawab singkat dan langsung berbalik menghadap depan kembali untuk menyaksikan kebodohan dari Wahyu dan Bima, pelawak kelas, yang sebenarnya bukan se-tim tapi masih kompak cari masalah.

“Abstrak gimana? Arti terselubungnya apa?” Bintang terus bertanya.

“Patriotisme,” Laila menjawab singkat.

“Wiih,” Bintang mengucap. “Dari semua tema, yang kamu pilih berat juga.”

“Siapa bilang berat?” Laila sewot. “Cinta negara itu tema yang biasa diliat.”

“Ya. Tapi di kontes puisi negara.” Bintang terkekeh.

Beberapa saat kemudian, giliran tim mereka pun hadir. Bintang maju terlebih dahulu dan membaca puisi nya secara perlahan dengan rima yang bagaikan musik.

Bu Rodiah memuji Bintang yang isi puisinya terdengar benar-benar dibuat sendiri dan tidak mencontek dari puisi-puisi terkenal lain.

“Ini kayak sebuah pesan, Bintang. Untuk siapa?” Bu Rodiah bertanya.

Bintang cuma tersipu. “Gak kok, bu. Itu...” Dia terdiam sejenak. “Cuma ngarang aja, kok.” Sekilas dia melirik Laila.

Melihat lirikan Bintang, Laila hanya menunjukkan jempol nya sebagai pujian. Bintang tersenyum tipis melihat jempol Laila.

Setelah mendapat nilai, Bintang pun berjalan kembali ke kursi nya dan kali ini giliran Laila yang maju kedepan.

“Puisi patriotik, Zamrud Khatulistiwa,” Laila memulai.

“Laut biru yang memisahkan,

Antara benua dan kepulauan.

Disanalah aneka kecantikan menuai pesona,

Jauh dari jangkauan manusia.

 

Antara dua samudera, dua benua

Api mengalir jauh dibawah tanah

Cincin api yang membara

Menciptakan banyak bencana dan menyuburkan tanah.

 

Tanah yang subur, orangnya makmur

Negeri penuh perbedaan yang membaur

Itulah Indonesia...

Kepingan Surga yang jatuh kedunia.

 

Engkau Zamrud khatulistiwa

Rentetan kepulauan dari Sumatra sampai Papua.

Indah mempesona dan tiada tara.

Tak ada kata yang bisa menjelaskan

Kecantikan yang kau pancarkan.

Wahai elok Nusantara

 

Kejayaanmu telah lama pudar

Tapi ku tahu kau pasti akan segera bangun dan tersadar

Semua menunggumu dengan sabar

Di hari kau bangkit bagai api yang berkobar

Membara dan membakar,

Dunia pun akan bergetar

 

Wahai permata di tengah lautan

Waktu pun tak bisa membuat indahmu padam.

Zamrud khatulistiwa...

Lihat selengkapnya