Harapan Dalam Bintang

Allindri S Dion
Chapter #4

3

“Hoy!”

PLAK!

“Apaan sih?” Laila menatap teman sebangku nya sambil mengelus-elus pundaknya yang sudah dipukul.

“Melamun aja, udah selesai PR fisika belum?” Mira melontarkan pertanyaan. “Lesu banget kamu hari ini. Kenapa?”

“Gak apa-apa,” Laila menatap Mira bingung. Mengapa tiba-tiba dia dituduh lesu?

Mira nampaknya bisa mengetahui apa yang Laila pikirkan dan memutar bola matanya. “Belakangan sering banget kamu ngelamun. Mikirin apa sih? Belanjaan? Sembako? Udah ngurus kehidupan rumah tangga, kah?”

Mulut Mira, teman Laila satu ini, memang selalu pedas dan penuh sarkas. Kalau tidak kenal dekat dengan dia, sangat mudah untuk tersinggung. Entah sudah berapa orang yang Mira buat tersinggung dengan mulut pedasnya, Laila juga termasuk, tapi sekarang Laila sudah bisa mengabaikannya karena terbiasa.

“Biarin, Mira. Laila kalau lagi ngehalu jangan diganggu,” Riana mengingatkan temannya yang jahil.

Yang lain tertawa mendengar ucapan Riana yang juga secara tidak langsung mencemooh Laila.

“Ngehaluin apa, La? Pacar juga belum punya. Atau... udah ada gebetan?” Mira tersenyum licik. “Ehem, ehem, aku denger-denger kabar, ada yang liat kamu makan sama Putra di kantin kemaren.”

Nada godaan yang persis seperti bisikan setan terngiang di telinga Laila, namun dia tidak terganggu. “Iya, aku ditraktir. Rezeki gak boleh ditolak, kan?”

“Ditraktir?” Para gadis disekitar Laila langsung sigap menengok kearahnya, mata mereka haus akan ilmu pergosipan yang Laila bisa sebarkan.

“Untuk apa sang Putra mentraktir dirimu wahai gadis biasa?” Sementang dia bintang klub Drama, Amalia mulai men-dramatisir.

“Dia bilang dia ngerasa bersalah karena bola basket kemarin,” Laila menjawab polos. “Jadi minta maaf lewat traktiran.”

Mira mendecah kesal. “Traktir doang? Kalau emang dia ngerasa bersalah, harusnya ada tanggung jawab lebih!”

“Jangan gitu, kita jadi manusia semestinya bersyukur,” Kata Laila dengan sok alim.

“Di traktir apa?” Tanya Riana yang penasaran.

“Mie ayam,” jawab Laila singkat.

“Mie ayam doang!” Mira komplain lagi. “Dia sangka traktir orang bisa menghilangkan segala kesalahan gitu?”

“Iya, bener. Dia gak ngasih apa gitu, nomor hp misalnya?” Amalia mendekat dan berkata serius. “Dia gak bilang ‘Kalau ada apa-apa, tolong hubungi nomor ini ya. Aku yang tanggung jawab atas semuanya.’ Gitu?”

“Di mimpi kamu kali ya,” Laila menghardik Amalia. “Dia gak ngasih nomor hp nya, tapi minta nomor aku.”

“Kamu kasih?”

“Nggak lah,” Jawab Laila dengan malas.

“Ngomongin apasih kalian, hai gadis-gadis?” Pacar Amalia, Andi, datang dan merangkul pacarnya. Kedatangannya disambut tidak baik.

“Diem kamu.”

“Sibuk aja, sih.”

“Mau tau aja, kamu,” Amalia mendiamkan pacarnya.

Laila terkekeh geli melihat Andi yang dibully teman-teman nya sedangkan Mira lanjut diskusi.

“Bagus, La. Kalau emang dia tulus, harusnya dia yang ngasih nomor hp-nya sebagai tanda kalau dia siap dihubungi kapan aja. Kalau dia yang minta nomor hp kamu, itu berarti di cuma mau ngehubungin kamu kalau ada maunya.”

“Kalian ngomongin apa? Kok soal nomor hp aja kayaknya sengit banget,” Andi bertanya bingung.

“Ini soal martabat wanita,” Mira menjawab dramatis.

Andi mencibir. “Martabat wanita? Sekarang gini aja, kalian para cewek ada yang mau hubungin cowok duluan gak?”

Semua gadis terdiam.

“Gak ada kan? Kalau cowok yang ngasih nomor hp duluan, kalian bakal sms atau telepon dia duluan?”

Amalia mengangguk setuju dengan pacarnya. “Andi bener. Mana mau aku chat dia duluan kalau masih baru kenal.”

Andi mengangguk. “Aku dapetin dia juga karena usaha, ya.” dia menepuk bahu Amalia dengan bangga. “Kalau gak aku yang nelpon atau chat duluan, aku bukan pacar dia sekarang.”

“Tunggu, jadi etika yang bener buat ngasih nomor hp itu gimana?” Tanya Riana polos.

“Kalau ngasih gak bisa dan dikasih gamau, lebih baik tukeran, kan?” Jawab Amanda kalem.

Mira tidak setuju. “Ini bukan untuk PDKT, dodol. Tapi untuk tanggung jawab. Kan dia yang ngelempar bola basket kemaren. Harusnya dia yang ngasih nomor hp sebagai tanda kalau dia siap dihubungi kapan aja kalau ada apa-apa.”

Yang lain mengagguk. “Bener juga sih...”

“Tang! Menurutmu gimana?” Andi melirik cowok yang duduk dibelakang Laila sambil membaca komik yang dia pinjam dari teman sebangkunya.

Bintang menurunkan buku komiknya sedikit dan berlagak seolah dia sedang memikirkan jawabannya matang-matang. “Aku sih Yes.”

“Sama yang mana?” Andi gemas.

“Yes,” Bintang mengangguk bercanda dan Andi melempar pensil kearahnya.

“Yang serius, bro!” Andi memohon.

Bintang angkat tangan. “Oke, oke, aku serius sekarang. Argumen Mira cukup kuat dan dilandasi dengan logika yang nyata tentang etika, juga melibatkan peran masing-masing pihak. Menurut aku, Laila gak usah ngasih nomor hp-nya.”

“Biasa aja, Bintang. Kita lagi ngobrol bebas, bukan untuk tugas Bahasa Indonesia,” cibir Mira.

Akan tetapi, jawaban Bintang yang kelewat serius sukses membuat yang lain tertawa lepas.

“Aku gak peduli etika mana yang bener. Aku cuma gak mau ngasih nomor hp aku,” Laila mendesah lelah. “Siapa yang peduli soal etika ngasih nomor hp, ya Tuhan. Kalian cari hobi sana biar gak mikirin yang aneh-aneh.”

Selepas Laila mencibir mereka semua, bel masuk berbunyi dan semua bubar untuk kembali ke bangku masing-masing.

✩✩✩


Berbicara soal kehidupan sekolah pastilah tak lepas dari romansa, apalagi untuk anak-anak SMA yang merasa sudah cukup dewasa untuk menangani hubungan cinta. Sayang rasanya jika masa manis putih abu-abu berlalu tanpa adanya drama atau kisah romantis yang bisa diceritakan nantinya.

Laila sendiri orangnya cukup romantis. Bukan dalam segi hubungan tentunya, tapi dalam segi pemimpi. Asupan romansa-nya sudah cukup terpenuhi dengan menonton teman-temannya pacaran, putus, nangis, balikan lagi.

Seperti roda kehidupan. Kadang diatas, kadang dibawah. Ada senang, ada duka. Tapi hidup seperti mengayuh sepeda, tidak bisa berhenti dikayuh kalau mau tetap sampai tujuan.

Seperti halnya roda, mereka terus berputar sampai rantai sepeda yang mengayuh roda putus dan semua berhenti begitu saja. Terkadang berhenti dengan aman, terkadang menabrak pohon atau jatuh ke selokan terdekat. Hubungan percintaan juga begitu. Ada yang putus dengan damai dan ada juga yang putus dengan riuh yang berujung luka.

Laila sudah melihat nyaris semua contoh. Salah satunya sedang dia tonton.

“Sayang, mau kemana?” Sang pria bertanya dengan nada memohon, tangannya meraih lengan gadis yang ia cintai dengan lembut, mencoba membuat sang gadis menoleh kearahnya.

Sang gadis mendesis galak tanpa menoleh, air mata bercucuran di pipi-nya. Dia terus menolak untuk bertatapan dengan si pria yang mencoba merayunya walau si pria sudah berlari kedepan si gadis dan siap berbicara.

Laila bukan penguntit. Dia sendiri cukup kaget melihat aksi drama di depan sekolah. Biasanya pemandangan seperti ini ada di belakang sekolah, atau kelas, atau tikungan koridor di kelas ujung sekolah, atau depan kamar mandi yang biasanya membuat murid-murid lain bimbang harus fokus buang air atau mendengarkan cekcok di depan toilet dengan seksama supaya mereka ada amunisi gosip nantinya.

SMA Harapan sekolah yang besar dan punya banyak murid, tak ayal bila tempat ini menjadi tempat banyak drama dengan ratusan murid SMA disini. Laila memperhatikan kedua sejoli itu dari bawah pohon tempat dia biasa duduk sambil menunggu papa-nya datang menjemput.

“Kamu ngomong dong sama aku.” Si cowok memohon dan si cewek menggeleng.

“Gak apa-apa, lho!” Si gadis bersikukuh.

Laila perlahan mengambil makeroni panggang dalam bungkus yang ia bawa selagi sang pria mencoba mendapat jawaban dari belahan hatinya.

“Kamu itu ya, gak peka!” Si gadis menuduh.

Lihat selengkapnya