Suara roda brankar terdengar nyaring di lorong rumah sakit yang sepi. Di atasnya, seorang wanita cantik terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat. Entah untuk yang keberapa kali ia kembali ke tempat ini. Tempat yang selama satu tahun ini menjadi harapannya untuk lepas dari segala kesakitan yang mendera.
Beberapa perawat mendorong brankar dengan langkah cepat menuju ruang Unit Gawat Darurat. Dibelakangnya, seorang wanita paruh baya mengikuti dengan setengah berlari. Raut kecemasan tergambar jelas di wajahnya.
Dari arah yang berlawanan, terlihat sosok pria dewasa, yang tinggi dan gagah dengan snelli putih yang ia kenakan. Sorot matanya penuh ketegasan. Dengan langkah lebar, dia berjalan menghampiri.
“Nak Aga” Panggil Sekar.
Aga mendekat. “Dara pasti baik-baik aja, Bu”
“Ibu takut kalau kali ini….” Sekar tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
“Dara kuat, dia pasti kuat seperti biasa.” Aga meyakinkan. “Saya masuk dulu ya, Bu.” Lanjutnya.
Sekar mengangguk. Aga masuk ke dalam ruangan, menyusul Ara yang sudah dibawa masuk lebih dulu.
Dengan perasaan cemas, Sekar menunggu di depan pintu. Berdiri dengan gugup. Kedua tangannya saling meremas, menyalurkan ketakutan yang menghinggapi hatinya.
Setelah cukup lama menunggu, pintu kemudian terbuka. Disusul dengan Aga yang keluar dengan langkah pelan. Bahunya merosot, tatapan matanya sendu. Membuat ketakutan Sekar kian menjadi.
Dengan cepat Sekar menghampiri Aga.
“Bagaimana, Nak?”
Aga menghela napas panjang. “Kondisinya tidak baik. Kita tidak punya waktu lagi, Bu. Dara harus segera dapat donor. Kalau dalam waktu dekat ini donor tidak muncul, saya takut semuanya terlambat” Lirih Aga.
Air mata Sekar luruh seketika. Pikiran buruk langsung memenuhi otaknya.
“Kita harus cari kemana lagi, Nak Aga?” Sekar tampak putus asa. Mereka sudah mencari kemana-mana tetapi tetap belum menemukan pendoror yang cocok untuk Ara.