Sekar masuk ke dalam ruangan dimana Ara berada. Melihat berbagai alat yang terpasang di tubuh putri asuhnya, membuat hatinya perih. Air matanya mengalir semakin deras. Sekar ingin memeluknya, mengusap rambutnya seperti yang biasa ia lakukan. Tapi ia tak kuasa. Ia takut hal itu akan menyakiti putri kesayangannya. Akhirnya, ia hanya bisa berdiri disamping ranjang sambil terus merapalkan doa.
“Ara, Sayang” Panggil Sekar dengan suara bergetar.
“Ini Ibu, Nak. Ara harus kuat ya. Ara pasti bisa bertahan. Adik-adik juga sangat khawatir sama kamu, sayang” Sekar membungkuk, mendekatkan bibirnya ke telinga Ara. “Ibu akan selalu berdoa untuk kamu. Kita pasti bisa kumpul sama-sama lagi.” Sekar langsung menutup mulutnya saat melihat setetes air mengalir dari sudut mata Ara yang masih terpejam.
“Ibu sayang sekali sama Ara” Sekar terus mencoba memberikan semangat, berharap putrinya bisa mendengar semua yang ia ucapkan.
***
Sampai di ruangannya, Aga mencoba menghubungi temannya yang ada di Pusat Transplantasi. Waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Tapi Aga tidak bisa menunda sampai pagi untuk mencari informasi. Beruntung, panggilan Aga dijawab dengan cepat.
“Halo, Ga” Sapa Reza saat panggilan terhubung.
“Halo, Za. Gimana, udah ada info lagi belum untuk pendonor Adara?” Tanya Aga to the point.
“Masih belum, Ga. Masih belum ada yang cocok.” Aga sontak memejamkan matanya. Lagi-lagi dia harus mendengar kabar ini. “Gimana kondisi Adara sekarang?” lanjut Reza.
“Gak baik. Tadi sore dia drop lagi. Yang sekarang, lebih parah dari yang sebelumnya. Sekarang dia di ICU” sahut Aga lemah.
Reza menghela napas. Dari suaranya, ia bisa menebak seberapa frustasinya Aga.
“Ga… Mmmm apa keluarganya Adara benar-benar gak bisa dicari?” Reza bertanya dengan hati-hati. “Kalau keluarganya masih ada, dan tahu kondisi Adara yang begini, siapa tau bisa tergerak untuk bantu”
“Gak ada, Za. Aku udah pernah coba tanya.” Aga sudah pernah mencari tahu lewat Sekar. Tetapi, Sekar dengan tegas berkata bahwa tidak ada petunjuk apapun tentang keluarganya Ara yang lain.
“Yaudah, Za. Tolong hubungi kalau ada info terbaru ya”
“Pasti, Ga. Mudah-mudahan ada kabar baik ya.” Aga mengaamiini
Setelah panggilan terputus, Aga memijat kepalanya. Rambutnya yang biasanya selalu rapi, sekarang terlihat berantakan. Tangannya bertumpu pada meja kerja yang ada di hadapannya. Melihat kondisi Ara yang seperti ini, membuat kepalanya sakit. Tapi hatinya jauh lebih sakit.
Aga kemudian membuka laptop-nya. Ia mempelajari kembali hasil diskusinya dengan beberapa profesor yang pernah ia temui. Meskipun sudah menjelang tengah malam, tetapi Aga masih bisa fokus dengan apa yang ada dihadapannya. Ia berpikir sangat keras. Sambil mengharapkan keajaiban yang mungkin akan segera datang menghampiri.
Pukul 3 dini hari, Aga masuk ke ruangan kecil yang ada di sudut ruang kerjanya. Ia merebahkan diri di atas single bed, tempat ia biasa beristirahat saat tidak bisa pulang ke rumah seperti saat ini.