Dering ponsel membuat Aga terperanjat. Membangunkannya dari tidurnya yang belum lama terlelap. Aga segera menyambar ponselnya, berharap ada kabar baik yang akan ia terima. Melihat nama yang ada di layar, membuat bahunya merosot. Bukan karena enggan menjawab, tetapi ia sangat berharap, kabar tentang tranplantasi Ara segara datang.
“Assalamu’alaykum, Bun” Ternyata bundanya yang menghubungi.
“Wa’alaykumssalam, Mas. Baru bangun? Tidur dimana semalam?” Tanya Paramita di sebrang sana. Ternyata waktu sudah menunjukan pukul 5. Selepas sholat subuh, Paramita menguhubungi putranya untuk memastikan keberadaannya.
“Di rumah sakit.” Jawab Aga dengan suara parau.
Mendengar suara putranya, Paramita menduga bahwa suara Aga yang serak, bukan hanya karena ia baru bangun. Tetapi seperti ada sesuatu yang mengganggu hatinya.
“Ada masalah, Nak?”
“Dara kemarin drop lagi, Bun.”
“Ya ampun, kenapa gak hubungi Bunda?” Paramita setengah berteriak.
“Gak sempat, Bun. Kemarin gak kepikiran apapun.”
“Terus sekarang gimana kondisi Ara?”
“Sekarang di ICU, masih belum stabil.” Sahut Aga lemah.
“Ya Allah...” Paramita terdengar shock. “Bunda sebentar lagi kesana, Bunda juga mau lihat keadaan Ara.”
Aga mengangguk, meskipun bundanya tak bisa melihat.
“Bun…” Panggil Aga lirih.
“Ya?”
Ada jeda sejenak, sebelum Aga melanjutkan.
“Aku takut, kalau Dara gak bisa bertahan.” Aga mengatakannya dengan perasaan pedih.
Paramita juga merasakan kepedihan yang sama. Ia menyayangi Ara seperti putrinya sendiri. Alasan ia memaksa Aga untuk bertemu dengan Ara dulu, karena terselip harapan, bahwa suatu saat Ara akan mejadi menantunya,pendamping putranya.
“Nak, selalu ada jalan bagi mereka yang berusaha. Dan selalu ada harapan bagi mereka yang berdoa. Jika ikhtiar sudah mencapai batas, maka biarkan doa yang mengambil peran.” Paramita berkata dengan suara lembut.
Bicara dengan bundanya selalu memberikan ketenangan untuk Aga. Setidaknya, untuk saat ini harapan itu kembali hadir.
***
Pukul 7 pagi, Paramita sudah berada di ruangan Aga. Ia datang bersama Mahendra Diratama, Ayah Aga. Mahendra adalah pemilik sekaligus Direktur Utama di rumah sakit ini. Rumah sakit yang ia bangun dengan kerja kerasnya. Rumah sakit yang menjadi impiannya sejak lama. Impian yang mulai ia miliki, sejak Aga berusia satu tahun.
Paramita menyiapkan sarapan yang ia bawa untuk putranya, yang baru kembali memeriksa kondisi Ara.
“Jadi gimana, udah ada kabar dari Pusat Transplantasi?” Tanya Mahendra.
Aga menggeleng, sambil mulai menyuapkan makanannya.
Mahendra dan Paramita memperhatikan putranya yang sedang makan. Terlihat sekali ia berusaha keras untuk menelan makanannya.