Tak butuh waktu lama untuk Aga sampai di rumah sakit. Ia memarkirkan mobilnya, di tempat parkir khusus dokter. Setelah mobilnya terparkir sempurna, ia keluar dari sana, lalu berjalan masuk de dalam rumah sakit.
Tiba di lobi rumah sakit, bahunya di tepuk seseorang. Aga menoleh sesaat, kemudian melanjutkan langkahnya.
“Dari mana? Kusut amat.” Rama Caraka, seorang dokter ortopedi, sahabat Aga, mengikuti langkah Aga meninggalkan lobi.
“Makan siang.”
“Sendiri?”
“Sama Mama.”
Rama melirik sekilas. Sebagai sahabat yang sudah berteman dengan Aga sejak di bangku SMA, ia sangat tahu bagaimana hubungan antara Aga dengan mamanya.
“Ada cerita apa lagi kali ini?”
“Masih sama kayak kemarin. Masih tentang usaha pencarian jodoh.”
Rama menoleh cepat.
“Lagi???” Ternyata drama tentang perjodohan ini masih belum selesai.
“Hmm”
“Kali ini dari keluarga mana lagi?”
Aga mengedikan bahunya acuh.
Rama hanya bisa menggelengkan kepala. Tidak habis pikir. Ibunya Aga benar-benar pantang menyerah.
“Gimana Ara hari ini, membaik?”
Sekarang Aga yang menggeleng.
Rama hanya bisa menatapnya iba. Ia adalah salah satu saksi bagaimana perjuangan Aga dalam menyembuhkan Ara. Ia juga orang yang sangat tahu sedalam apa perasaan Aga untuk wanita itu.
Mereka akhirnya berpisah. Rama berbelok menuju Poli Ortopedi dan Traumatologi, sedangkan Aga melanjutkan langkahnya menuju ruang ICU.
Tiba di ruang ICU, seperti biasa Aga langsung mencuci tangannya. Setelah mengenakan masker dan pakaian khusus, ia menuju ke tempat dimana Ara berbaring. Ia memeriksa kondisinya. Masih belum tampak ada perubahan. Ara masih setia memejamkan matanya.
Sejenak, Aga berdiam diri disana. Menatap wajah yang selalu membuat perasaannya tenang. Kemudian, ia mengingat kembali kalimat bundanya tadi pagi. Tentang usaha dan doa. Ia meneguhkan hatinya untuk tidak berhenti berupaya, dan senantiasa memanjatkan doa. Berharap takdir akan segera mempesatukan mereka, selepas segala kepedihan yang menyiksa ini.
Saat akan meninggalkan ruang ICU, Aga melihat Sekar yang baru tiba. Tadi pagi Sekar pulang ke panti, untuk mengambil beberapa keperluannya, dan keperluan Ara. Sekaligus memastikan kondisi anak-anak asuhnya yang lain, yang juga sangat mengkhawtirkan kondisi kakak kesayangan mereka.
“Nak Aga” Panggil Sekar.
Aga menunggu Sekar yang sedang berjalan mendekat.
“Apa Nak Aga ada waktu? Ada yang mau Ibu bicarakan tentang Ara.”
Aga melihat jam di pergelangan tangannya. “Saya ada jadwal praktek, Bu, sebentar lagi. Ada apa? Apa ada yang mendesak?” Aga sedikit gelisah.