Aga menatap hasil tes yang ada di tangannya. Beberapa hari yang lalu, akhirnya Aga setuju untuk melakukan tes kecocokan terhadap Retha dan Ara. Dan ia baru mendapatkan hasilnya hari ini.
“Jadi kapan operasinya? Aku harus izin sama Mas Aksa, untuk mengurus cutiku.” Retha sudah ada di ruangan Aga sejak beberapa waktu lalu.
Retha bekerja di perusahaan Damar, posisinya ada dibawah kepemimpinan Aksa.
“Retha, meskipun operasi ini tingkat keberhasilannya tinggi, tapi kamu tahu kan kalau mungkin akan ada resiko jangka panjang untuk orang yang hidup dengan satu ginjal?” Berulang kali Aga bertanya. Ia ingin benar-benar memastikan kesiapan Retha.
“Mas, udah dong jangan nanya terus. Aku tahu dan aku siap. Mas Aga udah jelasin semuanya dari kemarin, kan?”
Aga menghela napas panjang.
“Tapi Retha, coba jawab jujur. Kenapa kamu mau berkorban untuk ini?” Masih terlalu membingungkan untuk Aga. Kenapa tiba-tiba Retha mau melakukan ini. Apa memang ia yang terlalu berempati pada Ara, atau ada hal yang terjadi pada Retha sampai akhirnya gadis ini berani mengambil keputusan besar ini.
“Sejujurnya aku melakukan ini untuk diriku sendiri.” Kata Retha.
“Maksudnya?”
“Mulai sekarang, aku ingin belajar berbuat baik.” Retha menunduk, mengambil napas dalam.
“Selama ini aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri. Aku sering melupakan orang lain. Bagiku dulu, selama hidupku bahagia, aku tidak perlu mengurus hal lain yang tidak berhubungan dengan kebahagiaanku. Tapi sekarang aku sadar, akan selalu ada balasan untuk setiap hal yang kita lakukan. Dan aku berharap, jika suatu saat balasan itu datang, hanya kebaikan yang akan kembali padaku.”
Entah mengapa Aga melihat ada kesedihan yang dalam saat Retha mengatakannya.
“Apa ada yang terjadi?” Aga meyakini pasti ada hal yang melatarbelakangi perubahan yang terjadi pada Retha.
Retha menggeleng, kemudian tersenyum tipis.
“Kalau butuh teman cerita, jangan ragu untuk datang padaku.” Aga tidak bisa memaksa Retha sekarang. Ia mengerti bahwa mungkin Retha belum nyaman untuk berbagi cerita dengannya.
“Iya.” Retha tersenyum lebar. Ia senang hubungannya dengan Aga tidak sekaku dulu.
“Untuk jadwal operasi, aku diskusikan dulu dengan tim. Kamu harus mulai bersiap. Mengingat kondisi Dara, kita harus bergerak cepat.”
“Tapi, Mas. Tolong rahasiakan dari siapapun. Apalagi Mama dan Papa.” Pinta Retha.
“Mama dan Om Damar perlu tahu, Retha. Operasi ini juga butuh persetujuan wali.”
“Kalau gitu Mas Aga aja yang jadi waliku. Mas Aga juga kakakku, kan?”
Ada perasaan hangat di hati Aga saat Retha mengandalkannya sebagai kakak.
“Lagi pula kalau mereka tahu, operasi ini akan batal, Mas. Bukan karena mereka khawatir sama aku, tapi karena Mama yang membenci Mbak Ara. Jadi mereka cuma akan mengacau” Retha mengatakannya dengan getir.