Harapan di Ujung Doa

Jihan Dyah
Chapter #16

Menyelami Isi Hati

“Kemarin Aga cerita katanya kamu udah mulai bosen makanan rumah sakit, ya?”

Keesokan paginya Paramita sudah datang menjenguk Ara. Ia membawakan makanan untuknya. Tentunya ia sudah berkonsultasi dengan ahli gizi dari rumah sakit ini.

“Bunda, maaf jadi ngerepotin Bunda Mita.” Ara jadi tidak enak hati. Padahal kemarin ia hanya asal mengeluh.

“Gak repot. Bunda sekalian masak tadi.” Paramita mulai membuka makanannya. “Bunda suapin, ya.” Ia duduk di hadapan Ara.

Ara membuka mulutnya, menerima makanan yang diberikan Paramita.

“Enak?” Tanyanya.

“Banget. Masakan Bunda emang gak pernah gagal.” Puji Ara.

“Ah, masakan kamu jauh lebih enak. Bunda kangen sama kepiting asam manis buatanmu. Meskipun buatan Nada juga gak kalah enak sih.” Paramita bicara sambil terus menyuapi Ara.

“Aku juga kangen masuk dapur, Bun. Hehee”

“Setelah pengobatan ini selesai, kamu pasti bisa aktivitas lagi kayak sebelumnya. Sekarang puas-puasin dulu istirahat, ya.”

Ara hanya bisa menganggukan kepalanya mendengar nasehat dari Paramita.

“Bunda Mita…” Panggilnya. “Makasih ya buat semuanya.” Ara selalu merasa terharu dengan kebaikan keluarga ini.

“Sama-sama Sayang. Kamu udah seperti anak Bunda. Jadi Bunda akan melakukan apapun buat kamu.” Jawaban Paramita membuat mata Ara memerah.

Paramita menyuapi Ara sampai makanannya habis. Setelahnya, ia juga membantu Ara meminum obatnya.

Paramita kembali duduk di kursinya. Ia mengusap tangan Ara perlahan, membuat hati Ara kian menghangat.

“Gimana perasaan kamu sekarang?” Tanya Paramita.

“Sangat baik, Bunda. Aku sangat bersyukur dengan kondisiku sekarang.”

“Bunda juga ikut senang dengan perkembangan pengobatanmu.”

“Mas Aga yang paling kerja keras.”

“Iya. Aga sudah melakukan semua hal yang dia bisa.” Jawab Paramita. “Emmm Ara…” panggilnya.

“Kenapa Bunda?”

“Tentang permintaan Aga kemarin…”

“Bunda tau?” Ara tentu saja terkejut. Tidak menyangka bahwa Aga akan mengatakannya pada orang tuanya secepat ini.

“Iya, Bunda tau.” Jawab Paramita tenang.

Ada kegelisahan di hati Ara. Ia merasa tidak enak dengan Paramita.

“Soal itu, Bunda gak mau kamu sampai terbebani.” Paramita mengusap kepala Ara pelan. “Memang sebenarnya Bunda berharap kalau suatu saat Aga akan mendapatkan pasangan sebaik kamu. Makannya, dulu Bunda coba untuk mengenalkan kalian. Karena yang Bunda lihat kalian sangat cocok.” Terangnya.

“Tapi, Bunda sama sekali tidak memaksa. Bunda hanya membukakan jalan. Selanjutnya kalian yang memilih akan melangkah masuk atau tidak.” Lanjutnya.

Ara masih diam mendengarkan penjelasan Paramita.

“Kalau kamu memang gak punya perasaan apa-apa sama Aga, jangan dipaksakan. Bunda gak mau kamu menerima Aga karena merasa berhutang budi. Tapi, kalau sedikit saja rasa itu ada, jangan ragu untuk membuka hatimu lebih lebar.” Paramita menggenggam tangan Ara. Ia berusaha memberikan keyakinan padanya.

“Aga anak yang baik dan bertanggung jawab. Dia juga sangat menyayangi Bunda dan adik-adiknya. Bunda yakin, dia akan mempelakukan istrinya kelak dengan cara yang sangat baik juga.”

“Bunda bilang begini bukan karena Aga anak Bunda, loh. Tapi Bunda berusaha memberikan penilaian objektif. Kamu juga pasti sudah melihat bagaimana Aga memperlakukan orang lain. Jadi, sekarang semua keputusan ada di kamu. Tanyakan hatimu. Jangan pikirkan yang lain. Kebahagiaan kamu juga sangat penting untuk Bunda.”

 “Tapi Bunda, apa Bunda Mita dan Ayah Mahendra baik-baik aja dengan keadaanku? Keluargaku…” Tenggorokan Ara tercekat.

Lihat selengkapnya