Aga masih menatap Ara. Ia sedang meyakinkan dirinya, bahwa ia tidak salah mendengar.
Ara masih setia menundukan kepalanya. Ia merasa sangat malu. Apalagi dengan Aga yang menatapnya seperti ini.
“Dara… Kamu serius?” Aga masih tidak percaya.
Ara mengangkat kepalanya, memberanikan diri untuk melihat laki-laki dihadapannya. “Iya, Mas.” Jawab Ara dengan tersenyum lembut seperti biasa.
Aga tidak bisa mengalihkan pandangannya dari mata teduh itu. Sorot mata yang sangat disukainya. “Makasih… Dara.” Ia mengucapkannya dengan senyum bahagia.
Beberapa saat kemudian, Ara memutus pandangan mereka. Ia mengalihkan pandangannya ke samping, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya.
Aga yang salah tingkah pun menundukan kepalanya dengan senyum yang terkulum.
Mereka sama-sama tidak menyangka, selepas kepedihan yang sudah mereka alami kemarin, akhirnya saat ini kebahagiaan perlahan mulai hadir.
Mereka berdua sama-sama kehilangan kata-katanya. Hanya senyum lebar yang menunjukan betapa bahagianya perasaan keduanya saat ini.
“Sekarang tidur lagi, ya. Pagi masih lama.” Ucap Aga lembut.
“Iya.”
Aga memberanikan diri membelai kepala Ara. “Mimpi indah… Dara.”
“Mas Aga juga.” Jawab Ara malu-malu.
Aga kemudian berjalan kembali ke sofa, dan merebahkan tubuhnya lagi disana dengan senyum yang belum luntur dari wajahnya. Debaran itu masih terasa. Kemudian, tangannya memegang dadanya yang berdenyut kencang. Senyumnya semakin merekah. Malam ini, ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
Hal yang sama di rasakan oleh Ara. Wanita cantik itu meremas selimut yang dikenakannya, menyalurkan rasa bahagia yang ada di hatinya. Sebelah tangannya terangkat memegang pipinya yang terasa panas.
Ara mendengarkan nasihat Nada dan Paramita. Ia mencoba untuk menyelami hatinya. Setelah berpikir cukup keras, Ara menyadari bahwa perasaan yang selama ini ia rasakan pada Aga bukan hanya sekedar perasaan kagum, tetapi perasaan cinta yang entah sejak kapan mulai hadir disana. Sekarang, Ara hanya ingin mengikuti kata hatinya. Ia berusaha menyingkirkan semua kegelisahan yang tidak perlu. Ia akan memberikan kepercayaan penuh kepada laki-laki tampan yang sudah memperjuangkan banyak hal untuknya.
***
Ara memeluk buket bunga besar dengan senyum bahagia.
“Suka?” Tanya Aga.
Pagi-pagi sekali laki-laki itu sudah pergi membeli sebuket bunga cantik untuk kekasihnya. Ya, sekarang hubungan mereka bukan lagi sebagai dokter dan pasien, bukan juga sebagai teman, apalagi sebagai donatur dan penerima. Sekarang, mereka adalah sepasang kekasih yang telah sepakat untuk menikah.
“Hm. Camilia.” Jawab Ara yang masih memeluk bunga camilia yang Aga berikan.
Aga sangat senang melihatnya. “Mulai sekarang, aku akan selalu berusaha membuat hidupmu dilimpahi cinta dan kasih sayang, seperti bunga camilia.”
Ara menatap Aga dengan mata yang berembun. Ia sangat terharu dengan semua ucapan dan sikap manis Aga.
Ara mengalihkan pandangannya, menghalau air yang siap menetes dari sudut matanya. Tetapi, tanpa sengaja matanya melirik ada sesuatu yang tersimpan diantara bunga yang masih ada dalam dekapannya.
Ara mencoba mengambilnya. Dan ternyata benda itu adalah sebuah kalung dengan liontin bunga camilia yang sangat cantik. Ara menoleh cepat ke arah Aga.
Senyum manis masih setia Aga tunjukan. “Kalung itu udah lama aku beli. Tapi baru berani aku kasih sekarang.”
“Buat aku?” Ara takut salah menebak.
“Iya dong. Bunga camilia dan kalung bunga camilia ini buat kamu, Adara Camilia.” Ucap Aga dengan menunjuk satu persatu benda yang ada di tangan Ara. “Mau aku pakaikan?”
Ara mengangguk.
Aga pun mengambil kalung itu dari tangan Ara. Kemudian memakaikannya di leher jenjang Ara. Setelah terpasang, Aga memegang liontinnya. Jarinya mengusap liontin itu, tetapi matanya mengarah lurus menatap Mata Ara. “Cantik“. Ucapnya.
Ara memegang kalung yang ada di lehernya. Ia menggenggam liontinnya. Kali ini ia tidak bisa menahannya. Air mata itu mengalir begitu saja.
“Mas… Terima kasih.” Ucapnya penuh haru.