Harapan di Ujung Doa

Jihan Dyah
Chapter #19

Khawatir

Satu minggu setelah operasi transplantasi yang dilakukan Retha, wanita ini sudah cukup pulih, walaupun belum bisa melakukan aktivitas yang berat. Hari ini, ia kembali bekerja.

Retha masih tinggal di apartemen. Belum berniat pulang ke rumah. Sesekali Paramita mengunjunginya. Membuat Retha sangat senang.

Saat masuk ke ruangannya, Retha melihat tumpukan dokumen yang harus diperiksanya. Belum apa-apa ia sudah mengehela napasnya. Menyiapkan diri untuk memulai harinya yang melelahkan.

Wanita itu pun kemudian duduk di kursi kebesarannya. Tanpa menunda lama, ia segera memulai pekerjaannya.

Waktu hampir menunjukan jam makan siang tetapi, wanita cantik ini belum beranjak dari kursinya. Saking fokusnya, ia sampai tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sudah berdiri di hadapannya.

Saat kursi yang ada di depannya di tarik oleh seseorang barulah Retha tersadar. Ia mendongkak, dan mendapati papanya ada disana.

“’Oh, Papa udah pulang liburan?” Sindir Retha.

“Papa dan Mama ada pekerjaan disana.” Sanggah Damar.

Retha tidak menjawab. Ia masih sangat kecewa pada papanya.

“Kenapa gak pulang ke rumah? Malah tidur di apartemen.” Tanya Damar.

Retha tersenyum sinis. Tumben sekali papanya menanyakan hal seperti ini. “Lebih nyaman disana.” Jawabnya singkat.

Damar menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia menyadari kemarahan putrinya.

“Retha… Apa kondisimu baik-baik aja sekarang?”

Pertanyaan Damar membuat Retha tersentak. “Baik. Kenapa Papa Tanya gitu? Gak biasanya.” Retha berusaha terlihat setenang mungkin.

“Papa tau apa yang kamu lakukan, Retha.” Jawab Damar pelan.

Retha melebarkan matanya. Ia dan Aga sudah berusaha menutupinya sebaik mungkin. Ia tidak menyangka bahwa Damar akan mengetahuinya.

Mendengar bahwa Damar sudah mengetahui hal ini, membuat Retha menjadi semakin marah.

“Papa tau dan Papa hanya diam?” Sekarang Retha tidak bisa lagi mengontrol emosinya. “Karena sudah ada yang mengorbankan diri, jadi Papa bisa dengan tenang melarikan diri?” Suaranya kian meninggi. Emosinya semakin tak terkendali.

Air mata menggenang di pelupuk matanya, bibirnya bergetar dan tangannya terkepal. Kekecewaan Retha pada papanya semakin besar.

“Bukan begitu, Nak…” Damar ingin melakukan pembelaan, tetapi bibirnya terasa kelu.

Retha mencoba mendengarkan penjelasan Damar. Tetapi saat melihatnya tidak bisa meneruskan ucapannya, Retha hanya tersenyum miris.

“Retha, Papa benar-benar khawatir sama kamu.”

“Lalu Mbak Ara?”

Damar lagi-lagi diam. Ia tidak tahu harus memberikan jawaban seperti apa.

“Lebih baik memang Papa gak menjelaskan apa-apa. Semakin banyak Papa bicara, semakin aku kecewa.” Suaranya mulai kembali pelan.

“Papa minta maaf, Nak.” Ucapnya lirih.

Retha mengusap air matanya kasar. “Kalau Papa memang merasa bersalah, minta maaflah sama Mbak Ara. Dia yang lebih pantas mendapatkan itu.” Retha mengatakannya dengan nada dingin.

Keheningan masih terjadi disana. Damar masih bergelung dengan perasaan bersalahnya, sedangkan Retha sedang berusaha mengatur emosinya agar tetap stabil.

Tiba-tiba Aksa masuk kesana.

“Retha..” Panggilnya. “Oh ada Papa.” Aksa tidak menyadari keberadaan papanya tadi.

“Ada apa?” Tanya Retha.

“Nanti malam tolong wakilkan aku makan malam sama Pak Reyhan dari Chandra Group.”

“A-apa?” Mendengar nama itu, jantungnya seketika berdegup kencang, badannya pun mulai bergetar.

“Makan malam sama Pak Reyhan.” Ulangnya. “Aku ada undangan di tempat lain.”

Damar mengerutkan keningnya melihat reaksi Retha. Ia tidak bertanya, tetapi hanya menyimpulkan bahwa Retha enggan. 

“Biar Papa yang datang.” Sahut Damar.

Aksa mengangkat alisnya. “Kenapa?”

Aksa cukup heran karena papanya sudah melimpahkan hampir seluruh urusan pekerjaan padanya. Damar biasanya hanya akan melakukan beberapa pekerjaan penting saja. Makan malam ini bukan yang termasuk penting menurut Aksa.

“Gak apa-apa, Papa lagi bosan aja di rumah. Kirim lokasi sama waktunya ke Papa.”

Lihat selengkapnya