Aga masih termenung memikirkan ucapan Mahendra barusan.
“Udah, jangan terlalu dipikirin. Bunda yakin Ara punya pemikiran yang luas, dan hati yang lapang untuk menerima takdir kalian.” Paramita mencoba menenangkan. Aga pun berusaha untuk meyakini itu.
“Lagian kamu ini, baru mikirin hal ini setelah melamar Ara. Gimana kalau ternyata gak boleh coba, Mas?” Tegur Mahendra.
“Udah kebelet nikah, Yah.” Goda Mega. Lalu ia dan Retha pun terkekeh.
Aga ikut tertawa kikuk.
Suasana yang sempat berubah serius tadi, sekarang kembali dihiasi tawa seperti sebelumnya.
Makan siang ini terasa sangat hangat. Kehangatan yang tidak pernah Retha dapatkan dari keluarganya sendiri. Ia sangat mensyukuri keadaannya yang sekarang, karena ia tidak lagi merasa sendiri.
“Kamu bawa mobil?” Tanya Aga pada Retha. Mereka sudah selesai makan, dan bersiap untuk melanjutkan aktivitasnya kembali.
“Enggak. Aku mau minta jemput Gina.” Retha menunjukan ponselnya yang akan menghubungi Gina.
“Aku antar aja.” Putus Aga.
“Gak usah, Mas. Kita beda arah juga.” Tolak Retha.
“Gak apa-apa. Ayoo.”
“Iya, Sayang. Kamu diantar Mas Aga aja, ya. Takut lama kalau nunggu Gina.” Paramita ikut membujuk. Akhirnya Retha pun tidak lagi menolak.
Mega menggandeng lengan Retha saat mereka berjalan keluar. “Mbak, kalau butuh teman ngobrol, telepon aku aja, ya. Aku selalu siap kok. Apalagi kalau ngobrol sambil shopping, aku pasti gak nolak.” Memang adiknya Aga yang satu ini paling jago modus.
Mahendra dan Paramita hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ucapan putrinya.
“Iya. Nanti kapan-kapan kita shopping, treatment, makan-makan. Berdua aja, ya.” Ucap Retha.
Mendengarnya tentu saja membuat Mega berbinar. “Asiiikkk…Benar, ya Mbak?”
“Iya.” Retha mencubit pipi Mega gemas. Membuat gadis itu mengerucutkan bibirnya.
“Makasih makan siangnya, Ayah, Bunda.” Ucap Retha saat mereka akan berpisah.
“Sama-sama, Sayang. Bunda tunggu Retha main ke rumah, ya. Nanti Bunda masakin makanan kesukaan kamu.”
“Iya, Bunda. Nanti aku pasti kesana.”
Setelahnya, merekapun berpisah. Mahendra, Paramita dan Mega pulang menggunakan mobil Mahendra, sedangkan Retha pergi bersama Aga.
Sepanjang jalan menuju kantor Retha, tidak banyak percakapan yang terjadi disana, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Jarak menuju ke tempat Retha bekerja masih sekitar 2 kilometer lagi. Tetapi Aga sudah menghentikan mobilnya. Membuat Retha kebingungan.
“Kenapa berhenti, Mas?”
Aga memutar tubuhnya menghadap ke arah Retha sepenuhnya. “Ada apa?” Tanyanya.
“Apanya?” Retha tidak mengerti.
“Kamu kenapa? Ada sesuatu, kan?” Meskipun hubungan mereka baru dekat akhir-akhir ini, tetapi Aga sudah cukup memahami Retha. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran adiknya.
Retha menghela napasnya. “Tadi aku ketemu Papa.” Retha memilih jujur, karena Aga akan tahu jika ia berbohong.
“Kamu masih marah sama papamu?”
Retha mengangguk. “Ternyata Papa juga udah tau tentang operasi itu, Mas.”
“Apaa?” Aga pun sama terkejutnya. Ia pikir mereka sudah menutupinya dengan rapat. “Kenapa Om Damar bisa tahu?”
“Gak tau, aku gak tanya tadi.”