Harapan Pada Bintang

Allindri S Dion
Chapter #5

4: Mimpi

Laila berjalan sepanjang padang rumput di gelap malam. Satu-satunya penerang jalan adalah bulan di langit, tapi entah kenapa Laila tak merasa takut.

Mungkin karena gemerlap cahaya dari kejauhan memberitahu Laila bahwa ada orang yang tinggal tak jauh dari tempat ini.

Mungkin karena dia merasa aman.

Mungkin perasaan familiar di hati Laila membuatnya tenang.

Laila terus berjalan, telapak kakinya yang tidak memakai alas kaki bergesekkan dengan rerumputan yang basah. Tidak ada kerikil atau apapun yang menyakiti telapak kaki Laila, hanya kelembutan rumput yang bagai karpet dihiasi oleh embun malam.

Laila terhenti di depan sebuah danau. Hamparan air yang luas memantulkan cahaya dari bulan dan bintang-bintang di langit malam. Laila tertegun sejenak.

Matanya tertuju pada daratan di seberang danau, daratan yang amat sepi dengan rerumputan dan pepohonan yang berkerumun. Ada satu pohon yang sudah layu disana, tak lagi berdaun apalagi berbunga. Pohon yang sudah termakan waktu tapi masih berdiri kokoh menjadi saksi bisu kejamnya waktu.

Tempat ini terasa familiar.

Dia menengadah ke langit dan menatap langit berbintang. Permata-permata surga yang hanya menunjukkan diri pada malam hari ketika semua orang terlalu lelah dan lebih memilih istirahat dibanding mengagumi kecantikan mereka.

“Sayang ya...? Kalah bersinar dari mentari yang menjaga pagi, siang, dan sore.”

Laila menengok dan melihat ada orang lain selain dia disana. Dua orang tepatnya.

Mereka duduk agak jauh jadi Laila tidak bisa melihat mereka dibalik selimut malam.

“Lebih tepatnya, terkadang yang sinarnya kecil juga bisa bersinar ketika gelap datang.”

Laila menggaruk kepalanya. Kenapa suara mereka berdua, yang jauh dari Laila, terdengar seperti disamping telinga?

“Semua orang bisa bersinar, kok.”



✩✩✩

 

“BANGUN!!!”

Laila tersontak bangun dan rasa sakit merambat dari perutnya.

“Bangun woy!”

Laila tahu itu siapa.

“Fajar!!! Kurang ajar!” Laila merutuk dan mendorong adik lelakinya yang sudah menimpa perutnya kala ia tidur. “Mama! Fajar ini! Siapa yang nyuruh masuk kamar!?” dia berteriak kesal.

“Buat bangunin kamu itu!” Mama Laila menjawab sebelum muncul di depan pintu kamar Laila. “Udah mau jam tujuh tapi masih tidur, pasti begadang semalem, ngaku!”

Laila langsung bangun. “Jam tujuh?!” Dia melihat jam dinding dikamar nya. “Kenapa gak dibangunin!?” Walau komplain, Laila sudah melompat turun kasur dan mengambil handuk dan seragam sekolahnya.

“Kamu itu udah gede, Laila. Masa iya mau dibangunin terus? Udah sana mandi, ngomel aja bisanya. Fajar aja udah bangun daritadi!”

Bagai badai, Laila melesat ke kamar mandi. Bantingan pintu tak dapat dihindari.

Fajar menggeleng melihat tingkah kakaknya. “Makanya jangan begadang!”

“Diem kamu!” Jawab Laila dari kamar mandi.

Fajar melengos. “Liat, Mah. Biasanya dia yang marah-marah kalau aku main game sampe malem, dia nya juga sama aja.”

Irma menggeleng lelah atas kelakuan dua anaknya. “Udah, kamu sarapan dulu. Nanti juga telat kayak kakak kamu.”

✩✩✩

 

Keluarga Laila tidak ada yang spesial. Ada papa, ada mama, anak perempuan, dan anak laki-laki. Keluarga yang ideal kalau menurut program keluarga berencana dari pemerintah. Menurut Laila begini saja sudah cukup, walau memang Laila ingat dia pernah menangis keras ketika mengetahui yang ia dapat adalah adik laki-laki dan bukan adik perempuan yang ia dambakan.

Terkadang Laila masih mendambakan kehadiran sosok adik perempuan, tapi ia mengerti di umurnya yang sekarang dia hanya akan jadi babysitter gratis untuk kedua orang tuanya seandaikan dia mendapat adik baru.

Adik lelaki Laila, Fajar Awan Cemara. Mama Laila pernah bilang bahwa ketika Fajar lahir, pemandangan pertama yang mama Laila lihat diluar jendela adalah langit yang berawan dan pohon cemara.

Beda dari namanya yang terdengar kalem dan dingin, Fajar adalah anak yang tidak bisa diam. Dari dia bayi sudah menyusahkan Laila. Sebagai kakak dan adik, mereka berdua tidak pernah bisa akur. Terkadang memang Laila yang mencari masalah, tapi terkadang Fajar juga gatal buat masalah.

Mama Laila, Irma, selalu dibuat pusing oleh mereka berdua. Segala cara sudah ia lakukan. Ia sudah sering menasihati Laila untuk mengalah karena dia yang kakak, dia juga sudah memberitahu Fajar untuk mengalah karena Laila perempuan. Seperti yang sudah dilihat, tidak ada satupun dari metode itu yang berhasil.

“Kok tinggal segini lauknya,” Laila nyeletuk. “Kamu ya?” dia menuduh adiknya yang sudah siap berangkat.

Fajar mencibir dengan mengulurkan lidah.

“Udah kalian ini, cepet makan!” Irma membentak. “Laila, kamu juga. Makan yang cepet, nanti telat!”

Rutinitas pagi hari di keluarga ini tidak pernah sepi.

 

✩✩✩

 

Laila telat parah. Karena papa nya ada kerjaan harus pagi, dia hanya bisa berangkat sendiri untuk pagi ini. Sebenarnya bisa saja mama nya mengantar, tetapi mama nya sudah harus mengantar Fajar yang sekolahnya berlawanan arah dari Laila, terpaksa Laila harus naik bus dan telat masuk.

Lebih parah lagi?

Ini hari senin.

Upacara bendera telah berlangsung dan Laila hanya bisa berdiri diluar barisan biasa dan berbaris dengan anak-anak yang telat lainnya.

‘Bodoh banget, Laila. Duhhh kamu ituuu bodoooh! Bodoooohhhh!’ Laila menghardik dirinya sendiri dalam hati.

Bagaimana mungkin dia bisa kesiangan? Padahal dia berani sumpah dia tidak begadang semalam. Dia tidur jam 10 kurang kok!

“Lho, La? Telat, ya?”

Laila menoleh dan melihat Bintang berjalan kearahnya dari koridor samping lapangan yang sedikit lebih rendah dari lapangan upacara. Hati Laila merekah. “Iya... Kamu juga?” Tanyanya penuh harap.

“Nggak, kebetulan aku disuruh pak Heri bantuin nyiapin peralatan PMR tadi,” Jawab Bintang. “Jadi izin gak upacara.”

Laila berpaling malas. “Kirain.”

“Telat ya?” Bintang menggoda. “Kok bisa telat.”

“Kesiangan,” Jawab Laila malas.

“Gak ada yang bangunin?”

“Kalau gak ada yang bangunin, sekarang aku udah bolos gak masuk saking siang nya.”

“Begadang ya?”

Laila melengos kesal. “Enggak!!!”

“Sssshh!”

Desisan tajam dari guru yang lewat membuat Laila seketika membisu. Bintang hanya mengangguk dan sedikit membungkukkan badan kepada guru yang lewat, dengan rapih memperlihatkan badge PMR yang menempel pada bajunya.

Pak guru yang lewat hanya melirik Bintang dan mengangguk. “Yang hikmat,” pesannya.

“Ya, pak. Maaf, pak,” Bintang merespon dengan sopan.

Bintang dan Laila berdiri diam sampai pak guru itu beranjak pergi.

Setelah mengintip dan memastikan si guru telah pergi, Bintang sejenak mengamati Laila dari belakang dan kembali berbicara. “Hari ini diperiksa kelengkapan seragam, lho.”

Wajah Laila langsung memucat. “Yang bener?” Panik, mata Laila langsung beredar untuk mencari teman sejalan yang tidak lengkap. Sepanjang mata memandang, Laila hanya melihat orang-orang yang memakai dasi dan berseragam lengkap. “Mampus aku. Mana dasi di tas lagi!” dia merutuk pelan.

Laila perlahan menoleh dan menatap Bintang seolah dia malaikat yang dikirim dari surga, Bintang hanya memandang Laila balik dengan senyuman ringan.

“Bintang, bisa minta tolong gak?” Laila berbicara dengan nada setengah merayu.

“Apa?” Bintang tetap tersenyum ramah, sorot matanya melembut dan hampir mengalihkan perhatian Laila.

“Bisa ambilin dasi aku di tas gak? Di kantong biasa untuk botol minum samping tas itu lho. Tasnya disitu tuh, deket kantor T.U.” Laila menunjuk ke suatu arah yang tertutup dengan pepohonan dan bahkan dia sendiri tak bisa lihat, tapi semua murid juga tahu dimana arah kantor Tata Usaha.

Bintang beranjak pergi tapi sesaat kemudian dia kembali tanpa membawa apa-apa.

“Tas kamu sama yang lain kayaknya udah dipindahin deh.”

Lihat selengkapnya