Hidup terkadang memang sulit. Bagi beberapa, ‘terkadang’ bisa jadi ‘sering’, tapi poin nya masih sama. Hidup bukanlah hidup kalau tidak ada cobaan. Seseorang tidak bisa mengakui kalau dirinya pernah hidup kalau tidak ada satupun cobaan dalam hidupnya. Memang sudah dasarnya hidup, semua di pastikan menderita sekali atau dua kali.
Sekalipun Laila tahu itu, itu sama sekali tidak mengubah fakta kalau Laila benci dengan masalah atau kesulitan. Biar bagaimana pun, dia orang normal dan bukan tidak punya kelainan mental dimana ia suka disakiti. Orang waras mana yang mau punya banyak masalah?
Setiap manusia memiliki cara yang berbeda-beda untuk melupakan masalah atau menenangkan diri ditengah kesulitan. Ada yang lari dari masalah, ada yang langsung berhenti, ada yang makan, ada yang minum, ada yang tidur, ada banyak cara untuk mengalihkan diri atau setidaknya menenangkan diri dari masalah yang sedang dihadapi.
Untuk Laila, dia mengalihkan diri dengan bernyanyi.
Di kamar, kamar mandi, depan tv, selagi membaca. Laila sangat suka menyanyi. Dari semua asset yang ia punya, suaranya adalah yang paling ia sayangi.
Alasan kenapa dia bergabung ke klub Paduan Suara adalah karena ia ingin menyalurkan nyanyiannya ke sesuatu yang berguna agar tidak terasa terbuang. Banyak orang bilang dia punya bakat dalam bernyanyu. Kalau ada contoh nada yang dibutuhkan, biasanya dia yang ditunjuk untuk mencontohkan.
Tapi ada kalanya, bahkan menyanyi pun tak cukup untuk mengalihkan perhatiannya dari masalah yang ia hadapi.
Sebotol air minum disodorkan kehadapan Laila dan ia meraihnya dengan malas.
“Dank je,” Laila berterima kasih.
“Geen dank.” Sama-sama. Ketua dari tim Paduan Suara, Hanna, hanya menggeleng sopan. Dia menyelipkan rambut coklatnya kebelakang telinga, tidak sengaja menampilkan kulit putihnya dengan lebih. Mata coklatnya menyingsing, melirik kearah Laila dengan tajam.
Laila membuka botol air minumnya dan menyeruput sedikit, Hanna melihat itu sebagai kesempatan untuk membuka dialog.
“Kamu kenapa?” Berbeda dari wajahnya yang begitu kebarat-baratan, logat bicaranya benar-benar orang Indonesia.
“Kenapa?” Laila tanya balik.
“Kamu agak aneh latihan ini. Gak biasanya kamu gak bisa capai nada. Terdengar males pula. Kayak segan mati tak mau.” Kritisi demi kritisi dilempar oleh Hanna namun Laila hanya duduk mendengarkan dia tanpa memahami apa yang ia mau.
“Aku banyak pikiran, Han,” Jawab Laila malas.
“Pikiran apa? Pacar?”
Kenapa? Kenapa anak-anak SMA tiap kali dibilang kalau ada banyak pikiran, otak mereka langsung ke romansa? Laila juga anak SMA sih, jadi dia tidak bisa komplain banyak...
“Bukan.” Laila menggeleng.
“Bukan pacar? Tapi tetep cowok?” Hanna memotong sebelum Laila bisa kabur.
Laila menatap gadis cantik didepannya dengan bingung. “Udah berapa banyak anggota yang dateng buat curhat masalah cowok dengan kamu?” Intuisi Hanna kuat sekali!
“Veel.” Banyak.
Laila menyerah. “Gini... ada satu cowok ini...” Laila memelankan suaranya dan Hanna mendekat.
Laila menarik nafas panjang dan Hanna semakin penasaran, mata cokelat mudanya fokus seperti menyaksikan tabrak lari.
“Gak jadi deh.” Laila mengelak.
Hanna tersenyum jahat. “Kamu mau aku jadiin senior pembina buat anak-anak baru?”
Laila merinding.
Senior pembina? Itu posisi yang semua senior hindari. Senior pembina berarti harus masuk walau akhir minggu demi melatih anak-anak baru klub paduan suara. Siapa yang mau ke sekolah akhir minggu, coba? Bukan Laila.
“Ogah ah, kan udah aku bilang aku gak ada waktu buat jadi senior pembina. Suruh aja yang lain, Dela tuh,” Laila menyarankan dengan picik.
Hanna mengangguk. “Ngomongin soal Dela, aku denger sesuatu yang menarik dari dia...”
“Hah?” Awalnya Laila tak mengerti, tapi sedetik kemudian dia paham. Matanya melotot kearah Dela yang sedang bercanda ria dengan teman-temannya di seberang ruangan. ‘Anak kurang ajar...!’ hardiknya dalam hati. Namun Dela sendiri sama sekali tidak menyadari dia sedang dikutuk oleh orang lain dalam hati. Dia tahu pun, dia tidak akan peduli, toh sudah banyak yang mengutuk dia dari awal dia masuk SMA.
Hanna melanjutkan. “Usut punya usut, kamu lagi deket ya dengan—“
“Itu gosip!”
“Pu-“
Laila menutup mulut Hanna dengan cepat. “Noni, kalau yang lain sampe denger, aku bakal bolos tiap latihan paduan suara untuk dua bulan.”
Hanna melirik Laila dengan tajam begitu mendengar panggilan ‘noni’.
Hanna punya darah belanda, itulah mengapa dia memiliki warna mata dan rambut lebih terang dibanding orang-orang Indonesia pada biasanya. Fitur wajahnya pun lebih ke barat-baratan dibanding timur. Lirikan tajam darinya biasanya bisa membuat orang lain merasa kembali ke masa penjajahan.
Bukannya apa-apa, tapi gadis itu memang terlahir dengan mata yang tajam dan menusuk. Karena dia terlihat berbeda dari yang lain, dia selalu dibully murid-murid lain. Apalagi setelah mereka tahu kalau dia memiliki darah belanda.
Julukan Hanna di SMA Harapan adalah ‘Noni’. Panggilan yang setengah mengejek dan setengah menghormati. Dia teman baik Laila walau beda kelas, mereka terkadang saling menyapa menggunakan bahasa belanda dan inggris, sekaligus belajar.
Tapi walau ketua paduan suara itu memilki tatapan setajam silet, Laila tidak peduli.
Laila melepas tangannya dan mereka berdua kembali duduk bersampingan dengan tenang.
Hanna merapihkan rambutnya dan tersenyum elegan kepada beberapa anggota yang lewat dan penasaran mereka sedang ngapain.
Laila menggaruk-garuk kepalanya dan akhirnya buka suara setelah orang-orang lewat berlalu. “Jangan dengerin kata Dela. Kamu tau anak itu orang nya gak jelas.”
“Yaudah, terus masalah kamu jadinya apa?” Hanna melipat tangannya, menunggu.
Laila akhirnya menyerah. “Ada cowok dari kelasku...”
“Siapa?” Hanna bertanya lagi sambil mengingat-ingat semua murid laki-laki dari kelas Laila.
“Namanya Bintang, tau gak?” Laila melirik Hanna dengan selidik.
Hanna mengangguk. “Oh, anak pindahan itu?” senyuman konspirasi terukir di wajah cantiknya. “Ganteng anaknya.” Dia mengangguk seolah menyetujui pilihan Laila.
Laila menggeleng pasrah. “Bukan itu. Dia... agak aneh.”
“Aneh gimana?” Hanna tidak mengerti.
“Aneh aja. Kadang dia ngomong pake kata-kata aneh kayak teka-teki, ngerti gak?” Laila menaikkan alisnya kearah sobatnya.
“Main tebak-tebakkan gitu?” Hanna berpikir sejenak. “Mungkin aja itu sifatnya kan?”
“Diawal kita ketemu, dia udah ngomong aneh.” Laila mengaku.
“Aneh gimana?” Hanna bertanya kembali, semakin penasaran.
“Dia bilang. Berharap sama bintang jatuh bisa mengabulkan harapan...” Jawab Laila.
Hanna berkejap. “Dia bilang itu ke semua orang?”
Laila menggeleng. “Cuma aku, Han.”
Hanna membuka minumannya dan menyeruput sedikit dengan elegan. “Berarti dia dari awal suka, La. Cinta pandangan pertama.”
Laila terkekeh. “Gak ada namanya cinta pandangan pertama, Han. Selalu ada alasan untuk cinta, cuma ngeliat sekali aja gak akan cukup. Udah ah, aku mau ke kantin. Ikut gak?” Dia berdiri.
Hanna bergidik dan menerima ajakan Laila.
✩✩✩
“Minggu kita futsal, yuk?” Usul Andi.
Bintang terbangun dari lamunan nya selagi berjalan ketika Andi menyenggol pundaknya. “Minggu? Nggak lah. Besoknya senin.”
“Iya,” Adam setuju dengan Bintang. “Malem Minggu kalau mau.”
“Gak bisa, aku janji ke mall sama Amanda,” Andi merengek.
“Halaaah!”
“Bucin sialan.”
“Pergi sana.”
“Males ah.”
“Maaf sih, sori gua punya pacar kalian enggak,” Andi mencibir.
Semua siswa berhenti dan menatap Andi dengan tatapan penghinaan, sekaligus mendorongnya dengan seruan.
“Kurang ajar!” Adam menendang Andi.
“Hati-hati kena kutuk kau itu!” Bima mendorong Andi.
“Weeeeehhh! Sombong bener punya pacar aja!” Rizki menempeleng Andi.