Harapan Pada Bintang

Allindri S Dion
Chapter #8

7: Orang Yang Dicari

Keesokan hari nya, Laila mendengar kabar kalau Dela berhasil ditangkap oleh Bella dan Arif dan berhasil diminta membantu klub drama. Walaupun Laila tidak yakin kalau mereka ‘meminta’ tapi ‘memaksa’, pada akhirnya semua berjalan dengan baik.

Laila dan anggota senior klub paduan suara semuanya memiliki motto, “Selama bukan aku, aku gak peduli.”

Laila kebetulan ketemu dengan Dela ketika istirahat, wajah gadis manis itu terlihat kesal dan penuh dendam, dilihat-lihat sepertinya mode judes nya sedang aktif.

Laila tersenyum dan merogoh sakunya untuk mengambil permen manis-asam-asin yang Dela sukai dan menawarkannya dengan ramah.

Dela melirik permen di tangan Laila dan mengambilnya sebagai sesembahan ketentraman.

“Napa kamu?” Tanya Laila langsung, walau ia tahan bibirnya masih menyeringai.

“Diem, ah.” Dela kesal. “Ketangkep aku sama klub drama.” Dia melirik Laila dan membuka bungkus permennya, “Padahal aku udah yakin kamu duluan yang bakal ketangkep.”

“Keahlian aku dalam menghindari musibah itu cukup tinggi,” Laila menyombongkan diri.

Dela mencibir. “Si Bella itu gak bakal nyerah demi klub nya, alasan bohong gak bakal bisa nipu dia.” Dela tahu itu, karena dia sudah mencoba. “Sial bener, dia datengin aku terus bilang kalau kamu sibuk dan dia nggak enak ganggu kamu.” Dia dengan marah mengunyah permen keras dimulutnya ketika dia mengingat lagi kejadian sial dirinya.

“Udahlah, terima aja Dela,” ucap Bella.

“Enak bener kamu ngomong, yang susah kan aku!” Dela mengelak. “Cari Laila sana, dia yang paling gampang ditipu!”

“Laila udah ketemu sama aku tadi, dia gak bisa,” ucap Bella dengan tenang.

“Bisa! Anak itu pasti bisa!” Dela bersikukuh.

“Gak bisa,” kata Bella. “Dia mau belajar bareng dengan cowok ganteng,” kemudian Bella bergidik, “Mungkin mereka lagi PDKT. Aku gak enak mau ganggu dia.”

“Kamu gak mau gangguin Laila, terus kamu ganggu aku gitu?!!”

“Gak tahan aku sama dia. Aaaarggghhh!” Dela terus mengunyah permen dimulutnya dengan kesal.

“Jangan marah-marah terus, nanti dapet komisi kan?” Laila mencoba menghibur hati temannya.

Dela melirik Laila dengan tajam. “Aku mau komplain ke kak Aisyah biar dia bilang ke kak Rama kalau aku butuh bayaran atau bakal aku boykot klub drama.”

“Jadi, gak ada kepastian bayaran?” Laila menggeleng akan kepelitan klub drama. Kak Rama yang disebut Dela barusan adalah mantan ketua klub drama, sekarang sudah kelas 3. Sedangkan Kak Aisyah mantan ketua klub paduan suara. Kebetulan, atau mungkin sudah diatur, mereka berdua jadian setelah pensiun jadi ketua klub.

Tidak mengangetkan bagi Laila dan yang lain, mereka sudah bisa melihat benih-benih cinta diantara dua sejoli itu sejak mereka masih jadi ketua klub masing-masing. Namun layaknya Romeo dan Juliet, Kak Aisyah dan Kak Rama tidak bisa bersatu karena persatuan mereka berarti bisa menjadi fitnah “pilih kasih” diantara kedua klub.

Tapi karena sekarang mereka berpacaran, masuk akal jika Dela komplain ke Kak Aisyah soal ini. Kak Aisyah sangat dekat dengan anggota aktif klub paduan suara, tidak mungkin dia mengabaikan rengekan Dela. Ditambah lagi Kak Rama tidak mungkin mengecewakan pacarnya.

Laila mengangguk tenang. “Yaudah, kamu ngadu aja ke kak Aisyah.” Ide Dela tidak buruk, dia memang selalu tahu bagaimana caranya mencari masalah dan memancing di air yang keruh.

Dengan kata lain, Dela ahlinya pembuat onar.

Dela melambai malas. “Aku udah nyiapin tangisan dan dialog aku buat ngadu ke Kak Aisyah, tapi itu untuk nanti.” Dia menatap Laila serius. “Yang pengen aku tanya, kok kamu bisa lolos dari Bella? Dia bilang kamu PDKT sama cowok ganteng?” dia menatap Laila curiga.

Laila cuma tersenyum sinis dan sedikit sombong. “Aku punya temen loyal, Del.”

Dela mendecak kesal. “Sudah aku duga kamu bohong.” Dela sangat mengenal Laila, sifat mereka memang berbeda tapi mereka tetap teman baik. Dari kelas satu, Dela selalu tahu kalau Laila tidak pernah berpacaran. Jangankan berpacaran, mengajak anak satu ini untuk keluar jalan-jalan saja sudah susah minta ampun.

“Secara teknis aku gak bohong. Aku bilang aku mau belajar bareng,” Laila bergidik. “Bella yang salah paham.”

PDKT? Mana mungkin. Laila cuma bisa terkekeh.

“Udah lah, aku ke kelas dulu,” ucap Laila.

“Oke, daah,” Dela melambai malas.


✩✩✩

 

Bel istirahat berbunyi dan Laila bersandar kebelakang bangkunya dengan lega. Teman-temannya pada beranjak masing-masing untuk mengobrol dan berdiskusi, Laila sendiri awalnya ingin mengeluarkan handphone nya tapi berhenti sejenak dan berbalik menghadap Bintang yang duduk di bangku belakang.

“Tang,” Panggil Laila enteng.

Bintang mengangkat kepalanya perlahan dan menakup sedikit. “Kenapa?”

“Kok kamu tau rumah aku?” Tanya Laila tanpa basa-basi.

Bintang terkejut mendengar pertanyaan tiba-tiba itu, dia menatap Laila dan menggaruk kepalanya dengan canggung. “Hah...” Dia menghindari tatapan Laila dan melihat keluar jendela untuk beberapa saat.

Laila terdiam menunggu jawaban. Baru ketika dia kehabisan kesabaran dan ingin bertanya ulang, Bintang menengok dan tersenyum enteng.

“Aku pernah lewat terus ngeliat kamu lagi di depan rumah,” jawab Bintang.

“Iya tah? Masa?” Laila bertanya ragu.

“Hmm,” Bintang mengangguk antusias, senyumannya semakin melebar.

Laila ingin berkomentar lebih tentang jawaban Bintang, mungkin sebuah pertanyaan kapan, mengapa, bagaimana. Tapi belum sempat Laila bertanya, Bintang sudah angkat bicara lagi.

“Oh iya, beberapa hari yang lalu aku nemu ini,” Bintang berbalik dan membuka tas nya. Dari dalam tas, dia mengeluarkan sebuah buku saku kecil familiar yang Laila pikir sudah hilang dan tidak akan kembali. “Aku liat ada nama kamu. Sebenernya pengen aku balikkin dari kemaren-kemaren, tapi aku lupa melulu. Nih.”

Mata Bintang berbinar dibawah sinar mentari, fokusnya hanya pada Laila seorang. Senyumannya yang tulus dan cerah membuat Laila lupa apa yang ingin ia tanyakan. Dalam genggaman tangan bintang terdapat buku saku Laila yang hilang beberapa hari yang lalu, menunggu untuk diambil kembali oleh sang pemilik.

“Ketemu dimana?” Kata Laila terkejut.

“Bangku panjang depan sekolah,” jawab Bintang enteng.

“Makasih ya,” Laila tersipu sedikit. “Ini buku isinya lagu-lagu buat regu paduan suara sama beberapa catetan,” dia menjelaskan.

“Sama-sama,” Bintang mengangguk ramah.

“La, ke kantin yuk!” Dari depan kelas terdengar suara Mira memanggil Laila.

Laila menengok dan mengangguk pada Mira. “Ayok,” dia berdiri. Barusan dia mau beranjak pergi tapi dia terpikirkan sesuatu dan kembali menoleh kearah lelaki yang duduk di belakangnya. “Tang, aku ke kantin dulu ya.”

“Iya,” respon Bintang.

Laila dan Mira pun beranjak keluar kelas, setelah diluar, Mira menggandeng lengan Laila dan menoleh kearah sahabatnya.

“Tumben kamu gitu.”

“Gitu gimana?” tanya Laila balik.

“Itu lho. ‘aku ke kantin dulu ya’ pamit manis-manis ramah,” Mira meniru perkataan Laila. “Biasanya kamu langsung aja gak pake pamit.”

“Pamit?” Laila berkedip bingung. “Ngomong gitu bukannya biasa ya?”

“Orang lain udah biasa, tapi kamu enggak. Kamu itu orangnya suka ngilang tanpa ngomong dulu. Aku suka nungguin kamu kayak orang bego pas kamu gak ada disamping aku, eeeh kamu nya udah pergi duluan,” Mira mencibir.

Laila nyengir canggung. Dia sendiri baru ingat kekurangannya yang satu ini. Sering kali Laila lupa pamit dengan orang-orang yang ada bersamanya dan membuat yang lain terkadang bingung dia pergi kemana. Mau bagaimana lagi? Laila itu otak nya agak lamban kalau dalam urusan begini. Awalnya pun teman-temannya suka kesal dengan kebiasaannya yang main pergi tanpa pamit, tapi lama-lama mereka terbiasa dan memaklumi.

 “Kamu... jangan-jangan kamu suka sama Bintang ya?” Mira menyeringai nakal.

“Enggak. Cuma temen, Ra. Gausah yang aneh-aneh deh.”

“Sekarang temen, gak tau kan nanti? Kalau kalian jadian, traktir yaa,” pinta Mira tanpa rasa malu.

Laila tidak menjawab, hanya mendesah letih.

Mengapa dia punya teman pasti selalu yang begini?

 

✩✩✩

 

“Kamu suka sama Laila?”

Bintang menengok kearah teman sebangku nya, Riko. “Udah bangun?” Dia bertanya balik.

Riko bangun dari meja dan menggertakkan lehernya sedikit. “Aku gak tidur,” ucap Riko dengan nada tenang.

“Jadi kamu cuma pura-pura tidur gitu?” Bintang bertanya kembali sambil menyimpan penanya di tempat yang aman agar tidak hilang ketika dia keluar kelas untuk istirahat nanti. “Akhirnya kamu berhenti begadang juga?” canda nya.

Teman sebangku Bintang ini adalah pecandu game. Tiap kali jam pelajaran, dia selalu menguap dan mengantuk, ketika pulang dia langsung bermain handphone dan tanpa jeda langsung hilang begitu saja. Tapi Bintang bersyukur, Riko sebagai teman sebangku tidak pernah menganggunya ataupun membuat dia susah. Dia pendiam dan tidak banyak bicara, sesuatu yang Bintang suka dari teman sebangku.

Di sisi lain, dia juga sangat pintar dalam pelajaran bahasa inggris dikarenakan kebiasaannya bermain game, bisa dibilang di kelas ini tidak ada yang sefasih Riko kecuali Laila. Terkadang ketika Laila butuh sesuatu dari Riko, mereka berbicara menggunakan bahasa Inggris, ini semua tentu dilihat dan didengar oleh Bintang yang duduk di sebelah Riko dan di belakang Laila. Tapi walau pintar bahasa inggris, anak ini sangat malas. Mengajari teman sebangku nya saja dia malas.

“Kalo kamu sering begadang, ntar juga terbiasa tidur cuma empat jam,” Riko menyatakan dengan serius.

Pass.” Bintang menggeleng. “Kurang tidur pas kita masih dalam masa pertumbuhan itu menganggu pertumbuhan tulang dan otak.”

Lihat selengkapnya