Harapan Pada Bintang

Allindri S Dion
Chapter #9

8: Drama SMA

“Lain kali cari rezeki yang halal, bang. Kalau gini kan resiko nya besar,” ucap Bintang sambil menggeleng saat sang pelaku copet digiring dengan warga yang baik untuk pergi ke kantor polisi sebelum para warga lain main hakim sendiri.

“Nafsu sih,” Laila berkomentar datar.

Bintang hanya terkekeh mendengar komentar Laila. “Yang mana punya kamu?” Bintang menarik lengan Laila dan menunjukkan beberapa dompet yang di ambil dari pencopet tadi.

Laila melirik koleksi dompet yang beragam dan mengambil kantung ringan berwarna merah muda. “Cuma ini.”

Bintang mengangguk. “Coba cek, masih ada uangnya gak?” ucap Bintang khawatir.

“Gak usah di cek.” Laila menggeleng. “Emang kosong soalnya. Kamu sendiri? Dompet mana yang pengen kamu balikin?”

Bintang bingung mendengar bahwa dompet Laila tidak ada uangnya dan menatap kantung merah muda itu sesaat. Lalu mengapa Laila ikut mengejar tadi? Bintang menggeleng dan mengambil tas kecil berwarna biru langit.

Setelah mengambil, sisa dari dompet-dompet yang tidak diketahui pemiliknya langsung dibawa bersama pencopet ke kantor polisi untuk dijadikan barang bukti dan diumumkan sebagai barang hilang.

Laila menatap tas yang diambil Bintang. Tas kecil itu jelas desain untuk perempuan, jadi tidak mungkin punya Bintang. “Tas siapa? Pacar?” Tanya Laila dengan nada santai.

Bintang terkejap. “Hah?” dia menunduk dan melihat tas kecil ditangannya dan langsung menggeleng. “Enggak kok. Aku tadi lagi beli makan deket pasar, terus ada anak perempuan depan mata aku dirampas tasnya. Aku spontan lari buat ngejar.”

“Berjiwa ksatria ya,” komentar Laila dengan nada polos dicampur sedikit mengejek.

“Kamu sendiri?” Bintang balik bertanya. “Kayaknya tadi kamu gak mau ngejer, terus tiba-tiba kamu udah dibelakang aku.”

Laila menjeda langkahnya dan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Akhirnya, dia bergidik. “Aku suka drama kalau aku ikut nonton, bukan pas aku yang jadi pemeran utama.”

Bintang juga ikut menjeda langkahnya dan menatap Laila dengan tatapan lucu. “Kamu lebih suka bantu orang daripada bantu diri sendiri?”

“Enggak, enggak,” Laila tidak setuju dengan cara Bintang mengekspresikan arti dari tindakan Laila, tapi setelah berpikir panjang Laila sama sekali tidak bisa memberikan penjelasan lain untuk menepis ucapan Bintang. 

Hanya saja, Laila cuma kehilangan kantung kecil yang seperti dompet yang sama sekali tidak ada isi. Rasanya hanya buang-buang waktu kalau dia mengejar pencopet, tapi jika yang kehilangan orang lain dan Laila punya kesempatan untuk membantu, Laila pasti membantu.

Bintang melirik Laila yang melamun tidak bisa menjawab dan memilih mengganti topik pembicaraan. “Ngomong-ngomong, kamu ngapain disini? Belanja?”

“Beliin bahan-bahan prakarya buat adek,” jawab Laila singkat.

Bintang berkedip kaget. “Kamu punya adek?”

“Iya.”

“Anak kecil tadi?” Bintang mencoba mengingat-ingat kembali ketika dia sedang terburu-buru mengejar pencopet tadi. Sepertinya tadi dia bisa bertemu dengan Laila karena ada suara anak laki-laki yang meneriakkan ‘copet.’ Bintang menaikkan alisnya. “Kamu ninggalin adekmu sendirian?”

“Gak usah khawatir. Dia tau tempat ini kok,” jawab Laila santai.

“Ya udah ayo. Aku anterin kamu ke tempat adekmu, kasihan kan dia sendirian,” ujar Bintang seraya mempercepat langkahnya.

“Mas! Mas!”

Bintang menoleh dan menghela nafas. “Itu dia pemilik tas ini.”

Pemilik tas biru kecil yang dipegang Bintang ternyata seorang gadis seumuran anak kuliahan, dengan kata lain, lebih tua dari mereka berdua. Setelah mengembalikan tas kepada wanita itu, mereka berdua pamit pergi.

✩✩✩

 

Fajar duduk santai di kedai es krim di dekat toko peralatan sekolah sambil menikmati es krim cokelat-nya. Sama sekali tidak ada raut muka khawatir di wajahnya. Beberapa pelanggan yang gemas melihat anak cowok yang ganteng terkadang mendekat dan bertanya dimana orang tuanya.

Tentu saja Fajar selalu menjawab samar-samar, mamanya selalu mengajari untuk tidak memberitahu informasi penting tentang dirinya kepada orang asing, papanya juga sudah mengajari untuk selalu terlihat percaya diri agar orang asing menyangka kalau dia paham dengan sekitar, sedangkan kakak semata wayangnya sudah mengajari kalau ada berani memegangnya, dia harus melawan; tendang di antara kedua pangkal kaki bagi laki-laki, serang dada bagi wanita.

“Bang, Sundae stroberi nya dua, yang rasa kopi satu, sama sandwich es krimnya juga ya.”

“Oke, mas. Disini atau bawa pulang?”

“Bawa pulang.”

Putra menghitung uang di dompetnya dan membayar pesanannya langsung. Dia menghela nafas dan melirik jam tangannya. “Kacau,” ucapnya sambil mengibas baju. Putra bersandar sambil menunggu pesanannya siap, disaat itulah dia melihat anak laki-laki yang asik bermain sendiri di meja dekat kasir. Suara-suara yang datang dari nintendo DS yang dimainkan anak itu membuat Putra tertarik melirik apa yang sedang ia mainkan.

“Final Fantasy, ya?” Tanya Putra dengan percaya diri.

Fajar mendongak, agak kaget. “Iya.”

“Keren keren,” Putra tersenyum dan mengangguk puas. Dia tidak menyangka game masa kecilnya masih dimainkan oleh anak-anak generasi sekarang. “Jago gak kamu mainnya?”

Fajar mendengus sombong. “Aku udah pernah tamat main sendiri.”

“Oh iya?”

“Iya lah!” Fajar mendengus. Barusan membanggakan diri, tiba-tiba karakternya mati dan membuat dia malu. Suara musik kekalahan pun terdengar dan Putra menyeringai.

“Yaahh, kalah,” ucap Putra.

Fajar merengut kesal dan mencoba ulang tantangan, tetapi kali ini dia malah kalah lebih cepat.

Putra mengintip layar Nintendo DS Fajar dan terkekeh. “Katanya bisa?”

Fajar stress sendiri. Biasanya yang membantu dia lolos tantangan ini adalah kakaknya yang memang lebih berpengalaman dalam urusan RPG Nintendo DS.

Putra terkekeh melihat Fajar kesal. “Sini kakak coba, daripada kamu berhenti di level ini?”

Fajar ragu tapi kemudian Putra menarik kursi dan duduk disampingnya. “Ya udah,” Fajar memberikan Nintendo DS nya kepada Putra sambil melirik abang tukang es krim yang seharusnya mengawasi dia yang sedang sendirian.

Dengan mudah, Putra menyelesaikan tantangan dalam game yang sulit Fajar selesaikan. Fajar pun kaget melihat betapa mudahnya Putra menyelesaikannya, selain kakaknya, dia tidak pernah melihat orang lain yang bisa memainkan game ini dengan mudah.

“Selesai kan?” Ucap Putra dengan senyuman bangga sambil mengembalikan Nintendo DS Fajar.

Fajar mengecek hasilnya lebih dekat dan mengangguk. “Kakak hebat,” puji Fajar dengan senyuman tulus.

Senyuman Putra melebar. Dia berpikir anak ini sangat lucu, terlebih Putra memang dari dulu menginginkan adik laki-laki tapi sayang tidak pernah terwujud. Mereka berdua mengobrol sebentar soal game Fajar sembari Putra menunggu pesanannya siap. Ketika sudah cukup mengobrol, Putra menatap anak yang sendirian didepannya itu dengan penasaran.

“Disini sama siapa?” Putra bertanya sambil mengedar pandangan. Dia sama sekali tidak melihat mama atau papa dari anak didepannya.

“Kakak,” jawab Fajar singkat.

“Kakak kamu dimana?” tanya Putra lagi.

Fajar melirik Putra dengan curiga. “Lagi belanja,” ia berbohong dan menunjuk salah satu toko dekat dengan kedai es krim tempat mereka berada. “Disana. Gak jauh. Jadi dia masih bisa ngawasin aku duduk disini,” ucapnya waspada.

Putra mengangguk, sama sekali tidak sadar bahwa anak didepannya sudah berbohong dan waspada kalau dia adalah penculik. “Bagus lah. Hati-hati ya, apalagi kamu bawa barang-barang.”

Fajar mengangguk tenang. “Iya.”

Pesanan Putra pun tiba dan ia menaruh uang diatas meja kasir.

Abang-abang penjual es krim bingung. “Lho, mas kan udah bayar.”

Putra tersenyum. “Pesenin es krim lagi buat dia,” dia menunjuk Fajar yang kaget mendengar ucapan Putra. “Mau rasa apa, dek? Kakak beliin.”

“Gak usah, kak,” Fajar mencoba menolak.

“Udah. Gak apa-apa. Rasa coklat mau?”

Pada akhirnya, Fajar hanyalah anak kelas 4 SD, dia mudah digoda es krim gratis. Setelah berpikir pendek dan melirik kearah abang tukang es krim, Fajar mengangguk dan es krim cokelat pun kembali diberikan pada Fajar.

“Makasih ya, kak,” Fajar tersenyum.

“Iya, sama-sama. Kakak duluan ya. Tungguin kakak kamu,” ujar Putra.

Setelah itu, Putra pun pergi dan Fajar kembali duduk manis dan menikmati porsi kedua es krimnya. Tak sampai dia makan setengah porsi kedua es krimnya, Fajar melihat kakak kandungnya kembali. Dia menaikkan alisnya ketika dia melihat Laila berjalan kembali dengan seorang pria.

“Ketangkep?” Tanya Fajar langsung.

“Udah dibawa ke kantor polisi,” jawab Laila dan Fajar mengangguk paham.

“Ini adek kamu, La?” Bintang menatap Fajar penasaran.

“Iya,” jawab Laila, menengok kearah Bintang

Fajar menatap Bintang balik. “Siapa?” dia bertanya dengan kakaknya.

Laila menengok kearah Fajar. “Temen sekolah. Kenalin, ini Bintang, panggil dia kak Bintang. Tang, ini adek aku, Fajar.”

Mendengar nama adik Laila, senyuman mengembang diwajah Bintang. “Fajar? Laila dan Fajar? Malam dan Pagi?” pandangannya bergantian kearah Laila dan Fajar.

Laila tersipu mendengar nada Bintang. “Iya.”

“Dia lahir ketika pagi?” Tanya Bintang.

“Kok tau?” Kali ini, Fajar yang bertanya balik.

“Beneran?” Bintang menatap Fajar lucu.

Laila menggaruk-garuk pipinya. “Iya. Aku lahir pas menjelang tengah malem. Dia lahir pas matahari terbit,” jelasnya. Sejujurnya Laila merasa sangat suka dengan tema nama dia dan adiknya, bagi dia nama mereka puitis, apalagi jika dimiliki oleh kakak dan adik. Dia melirik adiknya dan seketika mendapati dua mangkuk kecil es krim di atas meja.

“Fajar, kamu beli dua es krim???” Laila menarik nafas dalam. “Disuruh nunggu malah makan es krim banyak banget, nanti kalau kamu sakit perut siapa yang disalahin? Ya kakak! Kamu ini ya! Boros banget!”

Lihat selengkapnya