Laila merasa lelah secara mental. Seharian ia habiskan mencoba menghibur teman sebangkunya yang baru saja memutuskan hubungan selama 4 bulan dengan cara tidak mengenakkan. Dikarenakan Mira yang marah, Laila juga terkadang terbawa amarah dengan tindakan lancang dari mantan pacar Mira.
Yang diselingkuhi Mira, tapi Laila tidak kalah marah. Alhasil, Laila jadi lelah batin di akhir waktu sekolah.
Begini saja dia sudah lelah, apalagi jika dia yang putus karena selingkuh, bisa-bisa stress dia.
Teman-teman Laila sudah mensiasati untuk membawa Mira pulang tanpa harus bertemu lagi dengan mantan kurang ajar itu, jadi Laila tidak khawatir meninggalkan Mira untuk pergi ke perpustakaan dan meminjam buku untuk mengerjakan tugas Biologi.
“Drama romansa sekolah itu rumit,” ucap Laila saat dia tidak sengaja melihat novel romansa SMA di salah satu rak buku perpustakaan yang membuatnya teringat dengan Mira.
“Emang.” Tiba-tiba tanpa Laila sadari, Dela muncul entah dari mana dan berdiri di samping Laila melihat buku novel yang sama. “Makanya kalau pacaran itu liat-liat, kita ya kita, gak tau orang lain. Kamu ngerti kan, La?” Dia menatap Laila dengan serius.
“Sebagai perempuan kita harus bisa saling jaga. Apalagi kamu yang sama sekali belum pernah tau isi hati lelaki. Jangan sampe bisa ketipu,” Dela meneruskan dengan nada bicara serius nan bijaksana.
“Bilang aja, Dela. Kamu pengen tau akar permasalahan ribut tadi pagi kan?” Laila bisa menebak jitu apa yang temannya mau. Dari dulu, Dela selalu begini, kalau ada drama, dia akan selalu datang pertama untuk ceramah dengan kata-kata bijaksana yang dia dapat entah dari mana. Setelah ceramah panjang lebar, dia akan bertanya ‘Jadi masalahnya tadi itu apa? Coba cerita.’
Pada akhirnya Dela cuma ingin tahu cerita dibalik masalah yang terjadi.
Dela tersenyum lebar, senyuman yang sangat cantik jika saja sang pemilik tidak sedang hanya mencari gosip. “Iya, La. Jadi kenapa tadi pagi? Aku kaget lho pas ngeliat buket bunga dan coklat dilempar dari atas,” dia merangkul Laila dan mulai berkata manja. “Aku denger-denger, ada masalah si Rian sama pacarnya.”
Rian dari kelas IPS 4. Di tahun mereka, hanya ada delapan kelas, 4 kelas untuk jurusan IPA dan 4 kelas jurusan IPS. Dela kelas IPS 2, kebetulan kelasnya ada dibawah, sedangkan kelas Laila ada di lantai 2, jadi wajar bila dia bisa melihat gelora kejadian lempar buket pagi tadi.
“Gak usah kepo jadi orang,” Sambut Laila dengan senyuman tega.
“Aku kan cuma pengen sekedar tau,” Dela melengos. “Ayolah nona, dari gosip yang aku denger katanya pacarnya si Rian marah karena gak ditemenin buat akhir minggu kemaren. Si Rian udah minta maaf tapi malah diusir.”
Laila sontak kaget. “Apa?!”
“Sssh!”
Laila menggigit bibirnya dan menunduk minta maaf kepada bapak penjaga perpus. Dia menarik Dela ke tempat yang lebih sepi dan tidak dalam pengawasan penjaga perpustakaan. Sesudah sampai di pojokkan, Laila berbalik dan menatap Dela dengan tak percaya.
“Karena gak ditemenin dari mana? Siapa yang ngomong gitu?” Laila menggertakkan giginya dengan marah.
Dela bergidik. “Pacarnya Diana, temen sepermainannya Rian.”
“Kurang ajar,” Laila mengutuk. “Fitnah aja, kalau gak tau apa-apa mending diem aja.”
“Jadi itu gak bener?” Dela berkacah pinggang dengan senyuman tertarik diwajahnya.
“Ya enggak lah.” Laila memutar bola matanya. “Si Rian itu selingkuh. Dia gak mau diajak jalan sama Mira karena ternyata jalan sama cewek lain, kebetulan Mira juga lagi jalan sama temen-temen sekelas dan ngeliat, makanya mereka putus.” Laila tidak suka harus bergosip tentang temannya pada temannya yang lain apalagi ketika dua temannya ini sebenarnya tidak saling mengenal. Mira keras kepala orangnya, sedangkan Dela selalu membuat orang marah, mereka sama sekali tidak cocok walaupun sudah Laila perkenalkan.
Tapi jika sudah ada hoax beredar seperti ini, maka Laila harus meluruskannya. Jaringan sosial Dela cukup luas, walau banyak orang yang sudah dibikin kesal dengan gadis cantik satu ini, Dela jarang sekali berbohong tentang situasi orang lain, jadi semua informasi dari mulutnya biasanya langsung mudah dipercaya oleh orang-orang yang mendengar.
“Wow, wow,” Dela menggeleng. “Serius?”
“Untuk apa aku bohong? Ada empat saksi mata selain Mira juga,” ujar Laila sambil menyilangkan tangan di depan dada.
Dela terkekeh, tiada amarah di ekspresinya, hanya humor dan ketertarikan akan berita yang baru saja Laila sampaikan. “Alasannya lebih panas ternyata, gak aneh dia marah sampe segitu. Sebenernya aku udah curiga sih.”
“Udah ah, aku mau minjem buku kesini, bukan ngeladenin kamu.” Laila angkat tangan dan berbalik untuk kembali ke rak buku yang tadi.
Berlawanan dari keinginan Laila untuk meninggalkan Dela, Dela malah mengikuti Laila seperti ekor.
“Ngomong-ngomong, La. Aku punya tugas bahasa Inggris yang sama sekali aku gak bisa, bisa tolong liat dulu gak?” Dela merayu. “Kalo kamu yang jawab, lima menit juga pasti selesai, kamu kan hebat,” Dela terus memuji Laila demi meluluhkan hati Laila.
“Kamu mau beliin aku apa sebagai bayaran?” Ucap Laila.
Dela berpikir sejenak. “Bakso deh, mau ya?” rayunya.
Laila menggeleng. “Kebiasaan...” ujarnya. Dia berhenti beberapa langkah dari rak buku yang ia tuju ketika ia melihat sesosok familiar juga sedang mencari buku.
“Hooh, Putra,” bisik Dela ketika melihat sosok familiar dari bintang ekskul basket tersebut. “Ngomong-ngomong, aku gak denger apa-apa lagi soal kalian berdua. Pupus sebelum PDKT ya?” tanyanya.
“Kalau ada yang sudah pupus sebelum apa-apa di dunia ini, itu adalah nalar pikiran kamu yang udah hilang ntah kemana.”
“...” Dela melirik Laila dengan tatapan merenung. Dia merenungi sebenarnya apa yang bisa membuat Laila sepahit ini dengannya. “Kamu suka latihan mencerca aku sama si noni atau apa? Belakangan ini sama-sama pedes kalian berdua. Awas Putra jadi gak suka, lho.”
Laila menoleh kearah Dela dan tersenyum lebar. “Itu alasan kenapa banyak yang pedes sama kamu.”
“Apa?” Dela bertanya balik dengan polosnya, sama sekali tidak merasa berdosa ataupun berbuat salah.
Laila menggeleng lelah. Tiap kali dia berinteraksi dengan Dela diluar masalah ekstrakurikuler Paduan Suara, dia hanya mau menempeleng anak satu ini dan bertaubat supaya keturunannya tidak ada yang seperti Dela.
Ketika Laila sedang berbisik-bisik dengan Laila, Putra menengok sedikit karena penasaran dan berhenti sekejap ketika dia melihat Laila. Dia dengan cepat mengalihkan pandangan untuk menarik nafas dalam.
Akan tetapi selagi dia tidak fokus, tangannya yang sedang meraba-raba buku di rak buku tiba-tiba bersentuhan dengan tangan lain.
“Oh!”
Putra menengok karena kaget, sama dengan Putra, Laila dan Dela juga menoleh dan mendapati sebuah pemandangan yang langka.
“-Ah?” Putra kaget melihat Richa disampingnya, tangan mereka juga saling bersentuhan dengan tangan Putra yang jelas lebih besar menutupi tangan Richa yang feminin.
Richa menutupi wajahnya dengan tangannya yang lain seraya berkata dengan nada malu. “Eh, Putra...”
‘Sejak kapan...???’ Putra berteriak di dalam hati. Dia tidak sadar ada Richa disamping dia sama sekali!
“Oh, wow. Tipikal klise romansa,” Dela berkomentar dengan blak-blakkan.
Laila menyikut temannya yang bermulut besar dan menatap tajam kearah Dela.
Mendengar ucapan Dela yang sebenarnya sama sekali tidak rendah dan menarik perhatian murid-murid lain di perpustakaan. Putra langsung menarik kembali tangannya seolah dia baru saja memegang knalpot panas motor yang baru dipakai, cara dia menyapu tangannya pun seolah dia baru saja memegang barang berdebu- kotor.
Melihat reaksi Putra yang begitu ‘luar biasa’, wajah Richa langsung merah padam dengan malu, tetapi ia tidak menyerah semudah itu. “Nyari buku apa, Put?” Berbeda dari Putra yang langsung menepuk bersih tangannya, Richa memegang tangannya yang tadi bersentuhan dengan Putra dan mengelus permukaan tangan itu dengan perlahan.
Putra menggeleng. “Gak apa-apa, kamu terusin aja nyari.” Dia mundur dengan senyuman canggung dan kembali melirik kearah Laila yang menonton gerak-gerik Putra dan Richa dengan sorot mata bosan.
Dela menyeringai. “Gak apa-apa kalian berdua, lanjutin aja,” ucapnya dengan nada tertawa.
Mendengar ucapan Dela, beberapa gadis di dalam perpustakaan tertawa kecil sambil melempar pandangan kearah Putra.
“Eh, enggak, apaan sih,” Putra langsung menepis mentah-mentah.
Pak Kuncoro, penjaga perpustakaan hari itu, menurunkan kaca matanya dan melirik Putra dengan tatapan sinis. Dia berdecak dan menggeleng. Tingkah pak Kuncoro membuat murid-murid lain semakin tak bisa menahan tawa.
“Aku cuma mau nyari buku Sejarah Dunia,” ucap Putra dengan desahan pasrah.