Erina lagi-lagi terdiam ketika ia duduk diantara Santi dan Nala, sedangkan Ardi menyetir dan Ira disebelahnya. Sampai saat ini ia tidak tau apa yang terjadi, ia juga tidak berani bertanya karena melihat ekspresi dari mereka yang begitu tegang. Bodohnya lagi ia tidak bisa menggunakan kemampuannya ketika ia merasa butuh dalam keadaan seperti ini. Satu-satunya cara yang bisa Erina lakukan hanyalah menyentuh mereka, tapi mereka tau Erina bisa membaca pikirannya. Jadi menurut Erina hal itu hanya akan membuatnya semakin bodoh.
Nala duduk bersandar pada pintu, keringat terlihat bercucuran dari pelipisnya. Setelah sekian lama akhirnya ia memecah keheningan, “Nala capek.”
Santi menoleh, “ah aku lupa, maafin kita ya Nal.” Santi berusaha memegang tangan Nala melewati Erina.
“Kenapa?” tanya Erina yang akhirnya bisa mengeluarkan suara.
“Dia bisa rasain semua emosi kita Er, inget itu.”
“Sebentar lagi,” tiba-tiba Ira juga membuka suaranya. “Di depan sana belok kanan.”
“Okey,” jawab Ardi yang bersiap untuk mengarahkan mobilnya sesuai perintah Ira.
Erina yang perhatiannya sempat teralihkan oleh Nala dan Santi akhirnya kembali memerhatikan jalan. Ia mengernyitkan dahi, jalan ini jalan yang dikenalnya. Erina terpaku, ini adalah jalan menuju sekolah adiknya. Sebenarnya mereka mau apa?
“Kita tunggu di sini,” Ardi menghentikan mobilnya di seberang jalan sekolah.
“Kalian mau apa kesini?” akhirnya Erina berhasil melontarkan pertanyaan yang selama perjalanan tadi ingin ia keluarkan.
Ardi menoleh ke belakang memerhatikan Erina. “Maaf Er, kemarin lewat topi itu aku liat sebagian memori adik kamu.”
“Kamu liat memori Gumi!?” Erina meninggikan suaranya. “Jadi mau apa kita kesini?”
“Ya.. ngasih mereka pelajaran lah,” jawab Ira.
“Apa yang akan kalian lakukan ke Gumi?” Erina semakin kebingungan.
“Bukan adik kamu Er, tapi mereka,” Ira menunjuk ke arah gerbang sekolah.
Terlihat sekelompok anak laki-laki keluar dari gerbang sekolah. Salah satunya memegang bola, seragam yang dipakainya juga sudah berantakan.
“Ayo.” Ira terlihat bersemangat dan keluar dari mobil.
Mereka semua pun satu per satu keluar dari mobil. Ardi segera menyeberang jalan menghampiri gerombolan anak laki-laki tersebut. Keringat yang mengalir di dahi dan leher mereka membuat kulitnya seolah mengkilap terkena pantulan sinar matahari.
“Hey!” Ardi menyapa mereka dan memberi kode untuk melempar bola ke tangannya.
Sekelompok anak laki - laki tersebut menengok pada Ardi dan anak yang memegang bola reflek melemparkan bolanya ke arah Ardi. Erina baru saja ikut menyeberang jalan bersama yang lainnya, namun Ardi segera menarik tangan Erina masuk ke sekolah.
“Eh kenapa?” tanya Erina kebingungan.
“Ikut aku,” Ardi terus menarik tangan Erina masuk ke lorong kelas sekolah. Erina melihat ke arah kanan dan kiri memerhatikan suasana sekolah saat ini yang sudah agak sepi karena jam pulang sekolah sudah hampir satu jam yang lalu. Selama ini Erina juga tidak pernah masuk ke dalam sekolah seperti ini ketika ikut menjemput adiknya. Ardi tiba-tiba saja berhenti dan mereka berada tepat di depan kelas yang bertuliskan kelas 2B.
“Ini kan kelas Gumi,” Erina bergumam.
Ardi melepaskan genggaman tangannya pada Erina dan membuka pintu perlahan. “Sepertinya kamu yang harus masuk duluan.”
Erina kembali dibuat bingung oleh perlakuan Ardi, namun ia tetap mengikuti perkataannya masuk ke dalam kelas. Kelas tersebut sepi seperti tidak ada orang sama sekali. Erina melihat sekeliling hampir seluruh bangku kosong, tetapi pada salah satu bangku paling belakang terdapat seorang anak laki-laki yang duduk. Anak laki-laki tersebut melipat kedua tangannya di atas meja dan menundukkan kepala pada kedua tangannya. Terdengar isakkan kecil yang mengejutkan Erina.
“Gumi?!” Erina segera menghampiri anak laki-laki tersebut dengan sedikit berlari.
Tidak salah lagi, itu Gumi tidak mungkin Erina tidak mengenali adik laki-laki satu-satunya. Erina segera memeluknya, ia menengadahkan kepalanya ke atas berusaha untuk menahan air matanya. Walaupun Erina belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tentu saja melihat keadaannya saat ini telah menjelaskan bahwa sudah terjadi hal buruk pada Gumi.
“Aku tadi melihatnya,” ucap Ardi pelan dan ikut duduk di samping Erina. “Lewat bola yang aku pegang.”
Erina menengok ke arah Ardi, mengerutkan dahinya meminta penjelasan.