Di depan minimarket, lelaki itu berusaha untuk menyalakan cerutunya. Udara malam itu terasa lebih dingin dari biasanya walaupun dia sudah memakai jaket coklat berbahan kulit. Beberapa orang menyenggolnya karena dia berdiri menutupi jalan ke pintu masuk minimarket. Beberapa dari mereka bahkan mencacinya, tetapi setelah mereka melihat setelan pakaian yang ia kenakan, mereka meminta maaf bahkan ada yang sambil menunduk lalu pergi begitu saja. Namun lelaki itu tidak peduli sama sekali karena yang dia pikirkan hanyalah bagaimana menyalakan cerutunya karena korek apinya enggan untuk bekerja sama walaupun sudah berkali-kali dicoba.
“Ah, sial sekali, mengapa tidak ada yang menjual korek api,” pikirnya.
Dia melihat ke kiri dan kanan jalan dan mendapati bahwa hari ini lebih ramai dari biasanya. Orang-orang berlalu-lalang mengurusi kesibukannya masing-masing. Seorang pria yang sudah berusia berjalan sempoyongan, sepertinya mabuk. Mobil-mobil melintas hendak mengantarkan tuannya masing-masing. Pemulung dan pengemis sudah tidak pernah terlihat beberapa tahun belakangan ini, berkat dirinya. Anak-anak muda sedang menggoda kasir minimarket. Walaupun sebenarnya kasir itu adalah robot, entah mengapa, mereka tidak peduli. Dia jadi teringat wacana pembentukan undang-undang perlindungan untuk robot mengingat banyaknya robot yang dianiaya bahkan dilecehkan. Orang-orang aneh, entah apa yang mereka cari di antara kaki sebuah robot. Mungkin hawa nafsu mereka menutupi fakta bahwa kulit sebuah robot bahwasanya adalah mantel yang menutupi rangkaian mesin. Melecehkan robot, sama saja melecehkan sebuah mesin.
Dia melihat ke atas, mencoba mencari bintang, namun dia tidak menemukannya. Yang terlihat hanyalah lautan cahaya dari gedung-gedung tinggi. Sudah lama sekali bintang tidak terlihat, ditutupi oleh keegoisan pemilik-pemilik gedung yang sok estetik. Di tengah lamunannya, sebuah korek muncul di depan wajahnya. Kuku tangan itu dicat berwarna-warni sehingga sekilas dia mengira bahwa dia melihat pelangi.
“Apakah kamu berniat memakan cerutu itu, tuan?” tanya si pemilik korek yang adalah seorang perempuan.
Ah! Setelah bermenit-menit di depan minimarket melamunkan hal yang tidak penting, pertolongan akhirnya datang. Dia menerima korek itu dengan senang hati lalu menyalakan cerutu miliknya. Kepulan asap membumbung tinggi di atas rambut klimisnya, menutupi lampu neon minimarket, ikut serta menyumbang polusi seperti gedung-gedung tinggi di sekitarnya.
Si perempuan meminta kembali korek apinya lalu menyalakan rokok. Asap rokok mencoba bergabung dengan asap cerutu sebelum akhirnya hilang termakan oleh asap cerutu. Dia merokok sambil memperhatikan lelaki itu dengan seksama, mulai dari rambut hitam klimisnya yang disisir ke belakang, jaket kulit coklat dan kemeja putih di baliknya, celana bahan putih hingga sepatu pantofel oxford putih bersih yang dikenakannya. Wajahnya berwibawa, bersih tanpa janggut maupun kumis dan berbentuk oval. Jika sedang diam, menimbulkan kesan dingin. Usianya mungkin sekitar 38 tahun dengan tinggi badan sekitar 1.75 meter. Perempuan itu sudah tahu kurang lebih siapa lelaki itu sebenarnya.
“Siapa namamu, tuan?” tanya perempuan itu.
Dia menghisap cerutunya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya. “Nama? Apakah itu penting?”
Bicara soal estetik, di hadapannya adalah perempuan yang sepertinya tahu banyak mengenai estetika. Rambut perempuan itu diikat gimbal. Kukunya warna-warni. Dia mengenakan jaket warna-warni yang lecek dan baju putih dengan noda di mana-mana. Celana panjangnya dibiarkan robek-robek dan bagian bawahnya melebar dari lutut hingga ke mata kaki. Aroma cat yang semerbak mengikutinya bagai aura.
“Ayolah, kita tidak akan menjadi kawan merokok tanpa mengetahui nama masing-masing,” kata perempuan itu.
Lelaki itu tidak menanggapinya sambil terus menikmati cerutunya, sehingga membuat perempuan itu mulai menarik-narik ujung lengan pakaiannya. Tapi dia tampak tidak risih sama sekali, membuat perempuan itu semakin penasaran.
“Baiklah, kalau begitu bagaimana kalau kita bertukar profesi saja?” tawar perempuan itu.
“Kamu adalah seorang pelukis,” jawab lelaki itu.
“Oh, apakah mudah ditebak?”
“Ya, terlihat. Bahkan seorang buta pun bisa mengetahuinya dari aroma cat yang keluar dari tubuhmu.”
Perempuan itu bertepuk tangan. “Aku hampir saja terpesona tuan, tapi jawaban Anda salah. Aku adalah seorang pemahat, dan aroma cat yang kamu hirup bukan kugunakan untuk melukis, melainkan mewarnai patung.”
Lelaki itu melirik si perempuan tanpa menggerakan kepalanya sama sekali. Dia memang tidak tertarik untuk berdialog bersama orang asing. Tapi dia ingat bahwa dia sedang menunggu dan menghabiskan waktu. Tidak ada salahnya meladeni sebentar saja.
“Oh. Kalau begitu aku ucapkan selamat. Tidak banyak orang bisa bekerja sesuai mimpi dan gairah masing-masing,” kata lelaki itu.
“Ya, memang menjadi pemahat patung adalah cita-citaku dari kecil. Keluargaku semuanya seniman. Ayahku seorang musisi, sedangkan ibuku seorang pelukis,” tanggap perempuan itu.
“Apa judul album musik ayahmu?”
“Ayahku tidak punya album musik, beliau hanyalah seorang musisi kafe,” jawab perempuan itu. Dia menatap mata lelaki itu untuk mencari tahu apakah pandangannya berubah menjadi pandangan merendahkan, namun tidak. Pandangannya tetap dingin bergeming.
“Oh.”
“Bagaimana denganmu? Apa pekerjaanmu?” tanya perempuan itu.
Anak-anak muda keluar dari minimarket dan menyenggol si lelaki itu. Beberapa dari mereka hendak menyumpahinya karena menghalangi jalan, tetapi mengurungkan niatnya dan pergi dengan menundukkan kepala.
“Aku? Hanya seorang akuntan biasa,” jawab si lelaki itu sambil disenggol orang lain yang keluar dari minimarket.
“Akuntan? Apakah kamu tidak takut dengan masa depanmu?”
“Mengapa harus takut?”
“Aku dengar mereka sedang menciptakan robot yang bisa menghitung untuk mengganti para akuntan. Dengan begitu, bukankah nyawamu terancam, tuan?”
“Oh,” katanya, “berarti saatnya aku mengganti profesi.”
“Apa yang bisa kamu lakukan selain menjadi seorang akuntan?”
“Kamu sendiri apakah tidak takut?” tanya si lelaki tanpa menghiraukan pertanyaan sebelumnya dari si perempuan.
“Aku? Tidak. Aku tidak takut sama sekali. Mungkin robot bisa menjadi lebih pintar dari manusia dalam beberapa hal. Tapi tidak dengan seni. Mereka bisa mengganti pekerjaan-pekerjaan kasar, menghitung, bahkan menjadi atlet sekalipun, tapi mereka tidak akan pernah memiliki jiwa estetik di dalam diri mereka. Dan mereka tidak punya kehendak bebas. Mereka terikat oleh perintah manusia dan tidak lebih daripada budak. Sedangkan aku, tidak punya majikan,” jawab perempuan itu dengan kepala tegap sambil menghisap rokok.
Si lelaki mulai berpikir bahwa perempuan itu sekilas memang ramah, tetapi ketika disinggung mengenai bidang yang dia ketahui sedikit saja, kesombongannya langsung mencuat. Sama seperti orang-orang lain pada umumnya.
“Jadi menurutmu, apakah manusia merupakan makhluk yang bebas dan tidak terikat?” tanya lelaki itu.
“Ya, tentu saja!” jawab perempuan itu dengan semangat. “Kita tidak butuh perintah untuk menjalankan sesuatu. Kita bisa belajar apapun yang kita mau dan bekerja sesuai kemauan kita. Namun tidak semua orang sadar akan hal ini dan memilih untuk menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak penting.”
“Jawabanmu itu tidak sama dengan pemikiranku,” tanggap lelaki itu dengan santai sambil menghisap cerutunya.
“Lantas bagaimana denganmu?”
“Manusia, tidak punya kehendak bebas. Kamu, aku dan semua orang di dunia ini bebas bermimpi dan berencana. Mempunyai pendidikan yang baik, bekerja, menikah, punya anak, lalu mati. Namun jika tiba-tiba kematian datang di waktu yang tidak terduga, semua mimpi dan rencana itu sirna. Kamu sudah mengerti kan sekarang? Manusia itu tidak pernah bebas. Manusia terikat oleh waktu.”