Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #2

Dekrit Auditorial

Malam itu, di dalam sebuah ruang tamu di rumah satu lantai yang sederhana dengan dinding dan lantai kayu, sebuah keluarga sedang menjalankan aktivitas mereka dengan normal. Ruang tamu rumah tersebut bercampur dengan dapur dan juga ruang makan, tanpa sekat sama sekali. Lili, si anak bungsu yang masih berumur empat tahun sedang bermain dengan ibunya, Siti. Mereka sedang duduk di atas lantai sambil bermain masak-masakan dengan mainan yang ada. Amir sang anak sulung sedang duduk di sofa sambil menonton acara humor.

“Jadi, monyet itu adalah kokinya?” tanya Siti.

“Iya, namanya pipi, bukan monyet. Ibu duduk aja, Lili dan pipi akan memasakkan nasi goreng untuk ibu,” kata Lili.

Lili mengambil mainan panci lalu menempelkan gagangnya pada boneka monyetnya. Dia memasukkan semua mainan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan bahan nasi goreng lalu memasaknya sambil mengeluarkan suara “ssshh”, desisan yang lebih mirip ular ketimbang suara minyak panas yang berbuih.

Tiba-tiba Amran pulang. Dia membawa sebuah kantong plastik hitam. Semua anggota keluarga langsung memandangnya. Hal paling pertama yang dilakukannya adalah mematikan televisi sehingga membuat Amir kesal hingga melompat di atas sofa.

“Ayah! Kenapa televisinya dimatikan?” seru Amir.

“Televisi memakan terlalu banyak listrik, carilah hiburan lain,” kata Amran dengan ringannya.

Amran duduk di kursi meja makan bundar yang terletak di depan dapur dan mengeluarkan beberapa botol minyak kayu putih dari kantong plastik hitam yang dibawanya. Wajahnya tampak tertekan. Tetapi Amir tidak bisa membaca hal itu dari air muka ayahnya. Amir yang kesal beranjak dari sofa, lalu duduk di lantai bersama dengan Lili dan juga Siti.

“Nah, kakak di sini aja, masak nasi goreng ya sama Lili dan juga pipi, sshh,” kata Lili dengan bersemangat.

Amir memperhatikan Lili memasak dan segala macam bahan makanan yang ditaruhnya di atas panci.

“Masa masak nasi goreng pakai mainan robot-robotan sama mobil? Mana bisa,” protes Amir.

“Shh!” redam Lili sambil meletakkan telunjuknya di depan bibirnya. “Kakak mengganggu konsentrasiku, nanti nasi gorengnya gosong loh.”

“Sok tua kamu,” kata Amir sambil tertawa. “Nasi goreng apanya, nasinya saja tidak ada.”

“Emangnya kalo mau masak nasi goreng harus ada nasinya, Bu?” tanya Lili kepada Siti, meminta konfirmasi kepada ibunya.

“Iya sayang, harus ada nasinya, kalau tidak ada namanya bukan nasi goreng dong,” jawab Siti.

“Iya, ini namanya robot goreng sama mobil goreng,” timpal Amir.

“Biarkan saja,” kata Lili, “nanti kalau aku sudah dewasa, aku akan menciptakan alat yang bisa memasak nasi goreng dari bahan apapun, dari robot-robotan, mobil-mobilan, semuanya bisa.”

Mendengar itu, Amir tertawa lalu mengelus kepala adiknya. “Kamu sangat polos ya, menggemaskan sekali,” kata Amir sambil mencubit pipi adiknya yang gembil itu.

“Bagus! Kalau bisa masak semua robot-robotan dan jadikan mereka nasi goreng ya sayang,” kata Siti.

“Iya, betul,” kata Amir. “Robot itu jahat.”

 “Jahat kenapa?” tanya Lili.

 “Mereka yang sudah membuat kita sengsara, gara-gara mereka ayah jadi kehilangan pekerjaannya,” jawab Siti.

“Dasar robot jahat. Kalo gitu sekalian saja aku suruh pipi menghajarnya,” kata Lili sambil menggerakan boneka monyetnya lalu menonjok-nonjok robot-robotan di dalam panci dengan menggunakan tangan monyet itu.

“Ayah tenang aja, siapapun yang jahat sama ayah, aku bakal pukul mereka bersama dengan pipi,” kata Lili kepada ayahnya.

Mendengar itu, wajah ayahnya yang muram jadi sedikit bercahaya. Mereka semua tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku Lili. Namun tiba-tiba, Amran menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

“Diam sebentar!” perintah Amran.

Semuanya diam tidak bergerak secara serentak. Samar-samar sebuah teriakan terdengar dari luar rumah. Amran berdiri dan berusaha mendengarkan teriakan tersebut dengan seksama. Awal-awal terdengar samar dan mustahil untuk mengetahui kalimat yang diteriakan, namun perlahan-lahan mulai menjadi jelas.

“Auditor! Auditor datang! Auditor! Auditor!”

Amran menyadari apa yang sedang terjadi. Dia langsung lari ke arah Lili lalu menggendongnya. Lili tidak melepaskan sama sekali boneka monyetnya dari genggaman tangannya.

“Siti, Amir, ambil semua bingkai foto dan sembunyikan!” perintah Amran.

Amran masuk ke dalam kamarnya sambil menggendong Lili. Dia membuka lemari bajunya lalu menurunkan Lili masuk ke dalam lemari tersebut.

“Ada apa ayah?” tanya Lili dengan herannya sambil memeluk boneka monyetnya.

“Lili sayang, kita sedang main petak umpet, kamu sembunyi di lemari ini sampai ayah minta kamu untuk keluar ya, mengerti?” jawab Ayahnya.

“Mengerti!” jawab Lili dengan semangat. “Kalau menang dapat apa yah?”

“Kalau menang, nanti ayah akan belikan kamu saudaranya pipi ya.”

“Pipi punya saudara?

“Punya dong.”

“Ya ampun, kasihan banget pipi selama ini terpisah dengan saudaranya,” kata Lili dengan manjanya sambil memeluk erat boneka monyetnya itu.

Amran mencium pipi anak perempuannya itu. Cukup lama dia tempelkan bibirnya. Dalam hatinya dia menyadari mungkin ini terakhir kalinya dia melihat anak lugunya itu.

“Senyum untuk ayah,” kata Amran, dibalas dengan senyuman Lili yang begitu lucu dan manis, yang selalu membuat ayahnya rindu untuk pulang.

Amran menutup pintu lemari. Dia mencium jari telunjuknya dengan bibirnya, lalu menempelkannya di pintu lemari. Kemudian dia mencari semua foto yang bisa dia temukan di dalam kamar itu dan melemparkannya ke kolong ranjang.

Di saat yang bersamaan, Siti dan Amir bergegas mengambil semua bingkai foto di rumah yang kecil itu. Siti mengambil semua bingkai foto yang terletak di ruang tamu lalu menyembunyikannya di dalam baskom baju kotor yang sedang penuh, terletak di depan kamar mandi. Amir berlari ke dalam kamarnya sendiri lalu menyembunyikan semua foto yang bisa dia temukan di sana ke kolong ranjangnya sendiri.

Setelah selesai menyembunyikan foto-foto tersebut, Amran, Siti dan Amir bertemu kembali di ruang tamu dengan nafas yang engap dan keringat yang membanjir.

“Sekarang waktunya kalian bersembunyi, cepat, kita tidak ada waktu lagi!” perintah Amran.

“Lantas ayah bagaimana?” tanya Amir.

“Ayah harus menghadapi bajingan-bajingan itu,” jawab Amir.

“Tapi..”

Amran menggenggam kedua bahu Amir. “Nak, kamu harus jaga adik dan ibumu, jangan sampai mereka kelaparan atau terkena matahari.”

“Sayang..” kata Siti dengan Lirih.

Amran memegang pipi Siti dengan penuh ketulusan. Air mata mulai mengalir di pipi Siti dan mengenai jari Amran.

“Jaga anak-anak kita,” pinta Amran.

Amran mendorong Siti dan Amir secara perlahan dan meminta mereka untuk bergegas. Tetapi belum mereka melangkah dua kali, tiga buah ketukan yang sangat kencang menggetarkan pintu rumah mereka.

“Jangan bergerak!” seru sebuah suara. "Jika aku mendengar ada lebih dari satu orang yang melangkah, aku akan mendobrak pintu kayu ini dan langsung menembak semuanya.”

Amran, Siti dan Amir langsung gemetar hebat. Mereka terlambat bersembunyi. Amran harus melindungi keluarga mereka. Dia melangkah maju menuju pintu, namun Siti dan Amir menarik-narik tangannya.

“Tidak apa-apa,” kata Amran berusaha menenangkan keluarganya.

Amran berjalan menuju pintu, sedangkan Siti dan Amir diam bergeming. Amran membukakan pintu hanya setengah lalu melongokan kepalanya keluar secara perlahan. Dua polisi berdiri di depan pintu dan menatap Amran dengan tajam. Keduanya mengenakan setelan kemeja, celana bahan dan sepatu oxford, semuanya berwarna putih bersih, bahkan sabuk senjata dan pistolnya juga berwarna putih. Yang satunya mengenakan jaket kulit coklat, yang satunya tidak berjaket.

“Selamat malam, bapak-bapak petugas, ada perlu apa datang ke rumahku?” tanya Amran.

“Kami hanya akan memerika sesuatu, tidak lama,” jawab polisi yang berjaket coklat.

“Baiklah, apa kalian punya surat perintah?”

Polisi tersebut mengeluarkan sebuah token kecil dari dalam jaketnya lalu menekannya, sebuah lencana hologram tiga dimensi muncul. Di dalam lencana tersebut, terdapat sebuah lambang yaitu dua pasang sayap rajawali.

Lihat selengkapnya