Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #3

Ironi. Oh Ironi

Bel pintu kaca itu berbunyi. Seorang wanita berkacamata hitam memasuki salon besar yang sedang ramai pengunjung. Sinar matahari sore di belakangnya. Dia menenteng tas tangan merah yang terlihat mahal dan berkelas. Semua mata di dalam salon itu langsung tertuju padanya. Laki-laki yang menunggui pasangannya terpana memandangnya, tetapi tatapan pasangannya membuatnya kembali ke bumi. Lidah-lidah berbisik dan memuji kecantikan wanita tersebut beserta gaun putihnya yang pas dengan lekukan tubuhnya. Hanya robot-robot yang sedang bekerja melayani rambut pelanggan yang tidak menatapnya sama sekali. Wanita tersebut melepaskan kacamata hitamnya dan semua orang ternganga.

“Apa kabar Anatina? Cantik sekali sama seperti yang terlihat di film,” sambut si pemilik salon.

“Baik, Yuni, kamu apa kabar? Salon tambah ramai saja ya sepertinya,” sapa Anatina dengan ramah.

“Aku juga baik. Begitulah salon ini sama seperti yang terakhir kali kamu kunjungi. Apa ada yang bisa dibantu, Ana?” tanya Yuni.

“Aku harus casting lima jam lagi. Rudi Paulo sedang mencari pemain untuk memerankan tokoh utama di film terbarunya.”

“Rudi Paulo? Sutradara ternama itu?”

“Ya, benar.”

“Wah, kamu hebat sekali Ana! Memang artis papan atas.”

“Ah, kamu terlalu berlebihan memuji, aku sudah pernah kok berkolaborasi dengan Rudi Paulo sebagai pemeran utama juga dalam film sebelumnya.”

“Oh ya, aku sudah menontonnya, judulnya “Pudar” bukan? Akting kamu benar-benar natural, aku sampai nangis menontonnya.”

“Benarkah?”

“Ya, benar, ayo kita naik ke lantai dua, di sini ramai, di lantai dua masih belum ada orang karena dibuat khusus untuk tamu-tamu VIP seperti Ana.”

“Baiklah.”

Mereka berdua naik ke lantai dua. Wanita-wanita lain memperhatikan dengan sinis dan iri. Dalam hati wanita-wanita tersebut mengutuki dan menghina Anatina, dan dengan itu mereka merasa diri mereka lebih baik dan tinggi dibandingkan dengan aktris itu.

“Mau dibuat seperti apa dandanan dan juga model rambutnya?” tanya Yuni sambil menaikki tangga.

“Yang seperti biasa saja. Casting ini sebenarnya hanya formalitas. Aku sudah tahu Rudi Paulo pasti akan memilihku sebagai pemeran utama. Jadi aku sudah pasti lolos. Kamu lakukan saja yang terbaik,” kata Anatina.

“Baiklah, aku dan kru pasti akan melakukan yang terbaik.”

Anatina duduk di kursi salon dan menaruh tasnya di kursi di sebelahnya. Dia bercermin dan memuji betapa cantik dan berbakat dirinya dan membandingkan sekaligus mengutuki orang lain. Tidak ada yang secantik ataupun lebih berbakat dibandingkan dengan dirinya, itulah yang selalu dia pikirkan ketika melihat dirinya di cermin.

Tiga orang robot pekerja salon datang membawa peralatan-peralatan make up dan potong rambut. Satu buah robot mulai membasahi kapas menggunakan cleansing, lalu dengan cekatan mengoleskannya ke wajah Anatina.

“Sudah lama aku tidak ke sini, tahu-tahu semua pegawaimu sekarang adalah robot,” kata Anatina.

“Iya. Aku sudah enam bulan memakai robot. Kamu tidak akan menyangka betapa hebat dan cekatan robot-robot ini dalam bekerja, bahkan melebihi manusia loh. Selama ini belum pernah ada kesalahan maupun keluhan yang terjadi di salonku. Malahan pendapatanku meningkat drastis,” kata Yuni.

“Benar! Sesungguhnya ini bukan kali pertamaku didandani oleh robot. Di lokasi syuting juga sudah mulai menggunakan robot untuk make up. Walaupun hanya hal-hal dasarnya saja. Robot-robot ini belum terlalu bisa mempraktekan special effect secara mandiri. Tetapi pekerjaannya benar-benar luar biasa bahkan hasilnya melebihi dari manusia,” ujar Anatina dengan bersemangat.

Sebuah robot yang lainnya membasahi kapas dengan toner lalu mengoleskannya ke wajah Anatina.

“Perkataanmu itu benar! Aku sekarang memilih robot dibandingkan manusia. Bayangkan saja, dari segi pekerjaan robot lebih baik, dari segi kejujuran juga. Ketika aku mempekerjakan manusia, seringkali mereka menaikkan harga diam-diam lalu mengambil untung. Mereka juga sering melakukan pekerjaan tanpa melaporkan transaksinya.”

“Serius?”

“Serius! Barang-barang di salon juga sering ada yang hilang. Dasar orang-orang bodoh! Tentu saja aku mengetahuinya melalui cctv. Beberapa lama aku mendiamkannya karena mendiang ibuku berkata bahwa aku harus baik kepada sesama manusia, tetapi orang-orang ini bukanlah sesama manusia. Mereka sudah miskin, tidak jujur pula. Akhirnya aku mengganti mereka dengan robot. Biarpun harganya mahal tetapi benar-benar sangat menguntungkan. Aku tidak perlu menggaji mereka atau memberi mereka makan, hanya cukup membiarkan mereka menjemur diri mereka sendiri di pagi dan siang hari untuk mengisi baterai.”

“Sejujurnya, aku juga lebih senang dengan robot dibanding manusia. Aku tidak perlu lagi menderita karena pelayanan yang buruk ketika pergi ke restoran. Tempat-tempat umum seperti mal, bioskop bahkan jalan raya pun terlihat lebih bersih dari biasanya,” kata Anatina sambil dioleskan pelembab oleh sebuah robot.

“Iya, betul katamu. Robot-robot itu bekerja dengan baik, belajar dengan lebih cepat, tidak pernah mengeluh dan mencelakakan orang. Walaupun kasihan juga, karena orang-orang yang kehilangan pekerjaan satu demi satu harus menghadapi dekrit Auditor,” timpal Yuni.

“Ah, biarkan saja orang-orang itu mati! Toh tingkat kejahatan menurun. Orang-orang miskin itu berbuat kriminal demi mendapatkan uang, mereka memang pantas mati. Setidaknya jika tidak ingin menghadapi dekrit Auditor mereka harus bekerja keras seperti kamu dan aku.”

“Perkataanmu itu benar adanya,” kata Yuni sambil berpikir dalam hati karena dia tidak menyangka bahwa aktris yang terlihat baik dan ramah di layar kaca, ternyata memiliki pemikiran yang seperti ini.

***

Ruang tunggu itu sangat besar dan sepi. Sofa-sofa telah kosong setelah sebelumnya artis-artis mengantri untuk berjuang mendapatkan peran dalam proyek film Rudi Paulo. Sutradara tersebut telah memenangkan Palme d’Or sebelumnya, membuatnya menjadi sutradara yang paling terkenal dan digemari di Indonesia. Seluruh artis di negeri ini bermimpi untuk bekerja sama dengannya satu kali saja dalam karirnya. Seorang laki-laki terlihat mondar-mandir dengan cemas di ruang tunggu tersebut. Tangan kanannya menggenggam glassphone.

Lihat selengkapnya