Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #4

Siswa yang Berdebat dengan Sistem

Jam digital yang tergantung pada dinding putih yang kotor itu berbunyi ketika angkanya menunjukkan pukul sepuluh. Sebuah robot membersihkan bercak hitam pada dinding tersebut menggunakan magic sponge, sebuah spon yang mampu membersihkan bercak noda hitam pada apapun. Kursi-kursi di kantor tersebut tidak banyak. Monitor komputer yang kini sudah setipis kertas tidak ada yang menyala kecuali milik Arial. Dia sedang bekerja menulis laporan misi kemarin yang dijalaninya bersama Dubana. Rasa bosan menyelimuti dirinya. Sesekali dia melihat ke arah jam, memperbaiki rambut spike-nya, atau membuka game yang dia unduh secara diam-diam di komputer kerjanya untuk membunuh kejenuhannya. Di tengah-tengah bermain game, pintu kantor terbuka, Dubana masuk sambil membawa sebuah kantong plastik hitam. Dia tidak mengenakan seragam dinasnya, melainkan kaos putih dengan jaket coklatnya.

“Inspektur! Bukankah hari ini kamu sedang cuti?” tanya Arial sambil cepat-cepat menutup game di komputernya.

“Aku ada urusan sebentar,” katanya sambil menghampiri Arial. "Aku juga ingin bertanya sesuatu kepadamu.”

“Apa itu?”

“Boneka monyet kemarin malam, apakah kamu membawanya?” tanya Dubana.

“Ya, tentu saja, sekarang ada di rumahku, mengapa Inspektur menanyakannya? Apakah kamu mau mencarikan saudara monyet tersebut?” tanya Arial dengan nada bercanda.

“Tidak, aku hanya bertanya saja,” jawab Dubana.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu, Inspektur?” tanya Arial.

“Ya, ada apa?”

“Tentang anak perempuan kemarin, tidak bisakah kita mengadopsinya saja atau menyerahkannya ke panti asuhan?”

“Tidak bisa.”

“Mengapa?”

“Oh, kamu tidak tahu? Untuk bisa mengadopsi anak ada beberapa aturan. Pertama, anak yang dikategorikan dapat diadopsi atau dirawat di panti asuhan hanyalah anak dari golongan tidak miskin yang kehilangan kedua orang tuanya dan masih di bawah umur tujuh belas tahun. Kedua jika kamu ingin mengadopsi seorang anak, kamu harus sudah menikah dan terbukti mandul secara medis,”

“Mengapa peraturannya sangat menyulitkan?”

“Dengar, Arial. Aku tahu kamu mencoba untuk menyelamatkan anak perempuan kemarin. Tetapi itu bukanlah perbuatan yang benar maupun bijak. Kita di divisi Auditorial bukan untuk menyelamatkan seseorang,” kata Dubana dengan tegas sambil menutup pintu ruangan dan pergi.

Arial masih membayangkan wajah anak perempuan yang tidak berdosa itu. Selain itu, dia merasa aneh terhadap sikap Dubana. Seorang Inspektur dengan jabatan paling tinggi di divisi Auditorial bertanya tentang boneka monyet yang merupakan milik seorang anak perempuan yang dibunuhnya atas nama dekrit. Arial berusaha menebak-nebak untuk apa dia menanyakannya hingga melupakan laporannya, tetapi tidak menemukan jawabannya.

Dubana berjalan menyelusuri lorong kantor polisi. Setiap anggota polisi yang melihat ataupun berpapasan dengannya, dari divisi manapun, pasti memberinya salam hormat militer bahkan sambil menundukkan kepalanya. Untuk setiap salam hormat Dubana hanya membalas dengan anggukan yang sangat kecil sehingga apabila ada lalat yang hinggap dikepalanya, lalat itu tidak akan merasa terancam dan terbang karena anggukannya. Dia menaiki lift menuju lantai B3.

Pintu lift terbuka, Dubana kembali berjalan menyelusuri lorong B3 menuju sebuah ruangan bertuliskan “RUANGAN PEMBUANGAN”. Dubana membuka pintu ruangan tersebut dan di dalamnya terbaris banyak tungku pembakaran dan juga tiga robot yang sedang melemparkan setelan-setelan dan sepatu putih yang berlumuran darah ke dalam tungku tersebut. Sebuah robot datang menghampirinya.

“Selamat siang Inspektur Dubana, apakah Inspektur datang ke sini untuk membuang seragam?” tanya robot tersebut.

“Ya, tentu saja,” kata Dubana sambil menyerahkan kantong plastik hitam kepada robot itu. Setelah itu dia keluar.

Dubana berjalan kembali menuju lift. Di perjalanannya, dia teringat akan Arial yang bertanya mengapa diperlukan pemborosan bahan bakar yang begitu besar hanya untuk membuang seragam yang penuh darah. Padahal ruangan itu bukan hanya untuk membakar seragam saja. Lalu dia bertanya kembali mengapa melakukan pemborosan dengan setelan serba putih yang akan dibuang dalam sekali pakai. Tentu saja setelan serba putih itu sangat penting untuk menyebar teror dengan harapan masyarakat menjadi takut dan bekerja dengan benar. Tidak jarang yang malah jadi kriminal. Tetapi ada undang-undang kemiskinan yang mengatasi ini semua yang berbunyi apabila seseorang melakukan tindak kriminal dalam keadaan miskin, hukumannya pasti hukuman mati.

Dubana menaiki lift menuju lantai sembilan lalu mengetuk sebuah pintu di sana yang terletak di paling ujung, bertuliskan “KOMISARIS JENDERAL POLISI” dan di atasnya terdapat nama dari sang empunya pangkat, “WINERSON WINTONO.”

“Silahkan masuk,” kata Winerson dari dalam ruangan kantornya.

Dubana membuka pintu lalu memberikan salam hormat militer. Winerson sedang duduk di mejanya yang megah sambil menghisap cerutu. Kumis dan janggutnya sudah berwarna putih dan begitu lebat sampai-sampai terkadang Dubana membayangkan kalau-kalau Winerson tidak sengaja membakar janggutnya sendiri dengan percikan cerutunya. Matanya berwarna hitam dan skleranya dipenuhi oleh urat-urat berwarna merah. Dia memakai seragam polisi berwarna coklat pada umumnya dengan lencana pangkat di dada kanannya berlambangkan tiga bintang emas. Di belakangnya terdapat banyak sekali piala.

“Kamu ini, tidak usah terlalu formal, lagipula hanya ada kita berdua, duduklah,” kata Winerson sambil mempersilahkan Dubana duduk.

Dubana menurunkan tangannya lalu duduk di hadapan Winerson.

“Apakah ada hal penting yang ingin kamu katakan?” tanya Dubana.

“Ya, tentu saja, kalau tidak aku tidak mungkin memanggilmu pada hari cutimu. Ini tentang anakku, Arial,” jawab Winerson.

“Ah, tentu saja, aku sudah bisa menebaknya, ada apa dengan Arial?” tanya Dubana

“Bagaimana pekerjaannya? Apakah dia sudah melakukannya dengan baik?”

“Membunuh lalat saja dia belum sanggup. Sepertinya dia harus berganti divisi.”

“Kamu selalu menyarankan untuk berganti divisi. Bagiku, dia bisa menjadi polisi yang baik di divisi Auditorial. Almarhum ibunya terlalu memanjakannya sehingga dia menjadi lembek seperti ini. Apakah kamu sudah memaksanya untuk menghukum mati orang-orang hina?”

“Tentu saja sudah. Di setiap misi aku selalu memaksanya untuk membunuh, tetapi dia enggan melakukannya,” jawab Dubana sambil mengeluarkan cerutu dari jaket coklatnya dan korek api besi yang dia peroleh dari misinya kemarin. Tentu saja itu bohong, karena yang dilakukan Dubana biasanya hanya bertanya kepada Arial apabila dia ingin melaksanakan hukuman mati, tetapi Arial selalu menolaknya. Dubana tidak memaksanya sama sekali, itu bukanlah gayanya. Dia hanya membiarkan Arial menyaksikannya saja.

“Aku sudah kehilangan akal bagaimana harus mendidik anak itu. Dia berbeda sekali denganku. Aku tahu banyak orang yang membicarakannya di belakangku, dan itu mencoreng namaku. Bagaimana bisa orang nomor dua di kepolisian mempunyai anak seperti itu,” kata Winerson sambil menghisap cerutunya.

“Ya, terus terang, aku juga tidak tahu lagi. Dalam setiap misi dia bertindak seperti nyamuk saja yang mengikuti kemanapun aku pergi dan memperhatikan apapun yang aku lakukan. Aku jadi ragu apakah dia benar-benar ingin jadi polisi,” kata Dubana sambil menghisap cerutunya. “Apakah dia benar-benar ingin menjadi polisi?”

“Ya, tentu saja. Sudah pasti itu adalah cita-citanya sedari kecil. Apakah kamu lupa? Dia selalu mendapatkan nilai sempurna dalam menembak pada saat latihan kepolisian.” jawab Winerson sambil menghisap cerutunya.

“Sekalipun dia bisa menembak seekor semut dari atas gunung tanpa scope, jika dia tidak berani menghukum mati, sama saja percuma,” balas Dubana.

“Ya, kamu benar. Oleh karena itu, hari ini aku memerintahkannya untuk menjalankan misi bersama Baram Barhandi.”

Lihat selengkapnya