Harga Sebuah Nyawa

revin palung
Chapter #5

Seorang Auditor yang Katanya Ditakuti

Baram duduk di kursi mobil bagian depan sambil melipat tangannya. Rambutnya panjang hingga ke punggung dan berwarna putih. Di pipi kanannya terdapat bekas luka tembakan. Hidungnya mancung dan dagunya lancip sehingga bentuk wajahnya segitiga. Dia kurus dan tinggi. Dia memakai seragam Auditor lengkap, entah mengapa kali ini lebih terlihat sesuai dibandingkan Auditor lainnya karena warna rambutnya yang juga putih. Pintu mobil terbuka, Arial masuk ke dalam mobil.

“Halo Pak Brigadir Baram, kuharap Bapak belum lama menungguku,” sapa Arial.

“Cepatlah, tidak perlu formal begitu padaku, cukup panggil aku Baram saja, aku tidak gila hormat,” jawab Baram.

Arial menyentuh layar touch screen yang ada di dashboard mobil. Sebuah suara perempuan muncul dan berasal dari layar tersebut. “Selamat pagi, tentukan tujuan kamu dan oskar autocar akan mengantar kamu tiba dengan tepat dan selamat,” begitu katanya. Sebuah icon mic dan keyboard muncul pada layar touch screen tersebut.

“Jalan Pribadi 16,” kata Arial.

“Tujuan sudah diterima, kami akan mengantarkan kamu ke jalan pribadi 16 yang berjarak sekitar 21 km. Apakah kamu sudah yakin dan siap berangkat?” kata suara mobil dan juga Arial secara bersamaan. Arial sudah hafal dan mengejek mobil tersebut.

“Ya!” kata Arial.

“Kencangkan sabuk pengaman kamu, karena kita akan segera berangkat,” kata mobil dan juga Arial yang menirunya sekali lagi. Mobil mulai melaju.

Baram menengok ke arah Arial dan tersenyum sinis, katanya, “kamu lucu sekali, apakah kamu dulunya seorang badut?”

“Tentu saja bukan, kamu pandai sekali bercanda,” kata Arial.

“Oh, sayang sekali, kamu bisa jadi badut yang hebat, lagipula aku belom pernah melihat robot badut, jadi pasti pekerjaan itu belum pundah,” sahut Baram.

“Robot badut itu sudah ada, kamu bisa melihatnya di taman hiburan, kebun binatang dan sebagainya. Kerjaannya hanya mejeng, melambaikan tangan, dan foto.”

“Aku tidak tahu itu, aku tidak pernah ke tempat-tempat seperti itu.”

“Kamu harus mencobanya, setidaknya sekali sebelum mati, ngomong-ngomong hari ini terik sekali padahal baru jam setengah sebelas. Apakah kamu pernah menjalankan misi Auditorial sepagi ini?” tanya Arial.

“Aku sudah ada di divisi ini sejak dekrit Auditorial pertama berdiri bersama Dubana. Menurutmu?” jawab Baram sekaligus bertanya balik.

“Oh, baiklah. Bagaimana awal-awal dekrit disahkan? Maksudku, apakah kamu menentangnya atau bagaimana?” tanya Arial.

“Kamu penasaran sekali ya. Tentu saja aku langsung menyetujuinya dengan senang hati. Pertama ditawarkan jabatan ini oleh ayahmu, aku langsung menerimanya tanpa berpikir dua kali. Lain halnya dengan Dubana, dia berpikir beberapa kali hingga menerimanya. Kurasa akhirnya batinnya kalah dengan kecanduannya,” jawab Baram.

“Kecanduan? Memangnya Inspektur kecanduan apa?” tanya Arial.

“Kamu memanggilnya Inspektur? Sepertinya kamu sangat menghormatinya. Aku dan Dubana, kita sama-sama kecanduan perang. Kami dari batalion yang sama, Dubana adalah mayornya,” kata Baram.

Arial terkejut mendengar cerita itu. Tanpa sadar, dia sempat membuka mulutnya selama beberapa detik. “Inspektur Dubana dulunya adalah Mayor? Tak heran dia ahli sekali dan tidak pernah meleset dalam menembak,” katanya dengan takjub.

“Benar sekali, dia merupakan ahli tembak dan strategi yang hebat di zona perang. Seakan-akan dia terlahir untuk itu.”

“Lantas mengapa kalian berhenti dan memutuskan untuk bergabung dengan kepolisian?”

 “Itu karena misi terakhir kami di pulau Alea.”

Lihat selengkapnya